Selasa, 09 Agustus 2011

Argumentasi Al-Biruni bahwa Bumi Berbentuk Bulat (Ellips)


 
A.      PENDAHULUAN
Orang barat menyebut filsafat sebagai induk dari segala ilmu.  Hal ini karena filsafat dianggap kajian yang sangat mendasar menyangkut eksistensi, pengetahuan, kebenaran, keelokan, keadilan, kepatutan, pikiran dan bahasa.  Filsafat berasal dari Bahasa Yunani kuno yakni philosophía, yang berarti "kecintakan pada kebijaksanaan."
Namun, tidak semua ilmuwan dan orang bijak sepakat dengan itu.  Ketika filsafat semakin sering lepas dari dunia empiris, serta disinyalir justru digunakan untuk mengacau keimanan, orang mencoba mencari “induk” yang baru.  Dan salah satu induk baru itu ternyata adalah geografi.
Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hidup mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.  Dan yang lebih penting geografi termasuk ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita.
Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama. Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Dia menemukan gnomon, alat sederhana untuk menentukan posisi lintang.  Ada perdebatan tentang siapa penggagas mula bentuk bulat bumi: Parmenides atau Phytagoras.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun, dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu. Pada awal milenia, penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.
Selama zaman pertengahan dan kejatuhan Romawi, terjadi evolusi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan penjelajahan demi penjalajahan (QS Ar Ruum [30]: 9).  Para geografer muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al-Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406),  menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.[1]
Sedangkan dari segi keilmuan, salah satunya adalah pendapat orang zaman dahulu yang menyatakan bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar besar yang memiliki permukaan datar. Di tempat yang sangat jauh, yaitu di ujung bumi yang merupakan tempat matahari terbit dan tenggelam, terdapat jurang yang sangat dalam. Pandangan tersebut mungkin timbul karena permukaan bumi yang kita amati sehari-hari memang terlihat datar.
Bagaimanakah sebenarnya bentuk bumi itu? Berdasarkan peristiwa dan gejala alam yang dialami manusia, dapat dibuktikan bahwa bentuk bumi adalah bulat.

Tawaran Syahrur tentang Teori Hudud


A.    PENDAHULUAN
Saat ini banyak cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Pertama, problem modernitas. Poin ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau-tidak mau meniscayakan sebuah rekontruksi, bahkan disaat-saat tertentu dekontruksi, atas pemahaman yang telah dibawa sejak abad VII masehi dan mengalami taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, Kesadaran internal muslim akan adanya anamoli dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks Al-Qur’an, entah itu mengarah pada ranah hukum, (fiqih), aqidah, ataupun masalah-masalah yang terkait dengan IPTEK.[1]
Disamping hal diatas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada arab, tradisi yang dipakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh arab.[2]
Berbicara mengenai hudud, (terutama mengenai syahrur) biasanya terdapat kajian tentang tirani. Tirani dalam kamus bahasa Indonesia adalah kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang. Atau didefinisan Suatu Negara yang diperintah seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sesuka hatinya.[3]
 Lalu Menurut syahrur manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan suatu bentukan dari masa lalu yang penuh dengan hiruk-pikuk polemik politik.  Dengan kata lain gagasan ini muncul karena melihat narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkemal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah umayyah dan abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqih. Syahrur melihat tirani terjadi dalam enam ranah.[4]
Disini syahrur berpendapat perlunya sebuah konstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, syahrur membayangkan bahwa jika Al-Qur’an itu diturunkan saat ini. Ketiga bahwa kontruksi konsep Negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya Negara Islam. Keempat, Perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh Negara Islam.[5]

Senin, 08 Agustus 2011

Menentukan Arah Kiblat dengan Bayangan Matahari


Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Hal ini bisa dilihat dari beberapa dalil syar’i baik dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Telah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa orang yang dapat melihat ka’bah diwajibkan menghadap tepat ke bangunan ka’bah tersebut dengan yakin (menghadap ain ka’bah). Sementara itu, jika tidak melihat Baitullah, maka dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kekurangtepatan arah kiblat tersebut tidak mengurangi keabsahan shalat. Namun Islam sendiri menganjurkan kita untuk mencari cara yang paling baik dan benar kemudian mengamalkannya dalam rangka mendapatkan kesempurnaan ibadah.
Terlepas dari perbedaan ulama’, menghadap kiblat adalah merupakan bentuk ketaatan umat Islam kepada Tuhan-Nya. Kemanapun umat Islam menghadap, sesungguhnya yang dinilai dalam hal menghadap Allah adalah hati serta mengikuti perintah-Nya, sehingga dalam berkiblat bagi orang yang tidak melihat ka’bah yang perlu dilakukan adalah ketepatan dalam ijtihat mencari arah kiblat, sehingga umat Islam dalam beribadah berusaha agar arah yang dipergunakan mendekati arah yang sebenarnya, menjadi hal yang perlu untuk dilakukan, agar mendapat keutamaan dalam beribadah.
Untuk itu, mari kita melakukan penyempurnaan arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlunya penyempurnan atau pemeriksaan ulang karena sebagian besar masjid atau mushalla arah kiblatnya ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar arah kiblat masjid yang sudah ada, maupun persoalan teksis yang lain.

Waktu Shalat


A.           PENDAHULUAN

Rasulullah bersabda: “Shalat itu adalah tiangnya agama, barang siapa yang mendirikannya maka berarti ia telah mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia telah meruntuhkan agama” (Al-Hadits).
Hal ini dipertegas oleh firman Allah swt
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوتِ وَالصَّلوةِ الْوُسْطَ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَنِتِيْنَ.
Artinya: “Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah [2]: 238).
Dengan hujjah di atas, dapat dipahami betapa pentingnya melaksanakan dan memelihara shalat (shalat fardhu). Karena melaksanakan shalat merupakan salah satu ciri bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah swt dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Allah berfirman
وَاَقِمِ الصَّلَاةَ لِلذِّكْرِيْ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha [20]: 14)
Jelas sekali, bahwa dengan shalat kita dituntut untuk bisa mengingat-Nya, mengingat kebesaran-Nya dan mengakui kerendahan diri di hadapan-Nya. Namun, ada sebagian orang yang salah mengartikan makna ayat ini, mereka beranggapan tidak wajib shalat kalau kita bisa mengingat-Nya tanpa melakukan gerakan shalat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka hanya melihat esensi shalat semata, tidak melihatnya sebagai syari’at yang harus dilaksanakan oleh orang yang beriman.
Para ulama’ mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib dilaksanakan pada tiap-tiap waktunya.
Shalat itu dibagi pada yang wajib dan yang sunnah. Shalat yang paling penting adalah shalat lima waktu yang wajib dilakukan setiap hari. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban ini atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun islam. Kewajiban menegakkan shalat pada waktunya berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula taqlid.
Karena begitu berartinya shalat dilaksanakan pada waktunya, kiranya hal itu bisa dijadikan salah satu alasan dan latar belakang dibuatnya makalah ini dengan tema “SHALAT”

Sabtu, 06 Agustus 2011

Transformasi Koordinat Bola Langit

A.      PENDAHULUAN
Allah menciptakan alam semesta ini dalam keadaan yang teratur dan rapi. Keteraturan gerakan bintang termasuk matahari, planet, satelit, komet, dan benda langit lainnya menyebabkan gerakan benda-benda tersebut dapat dipelajari dengan seksama. Dengan memahami gerakan benda-benda langit tersebut, manusia dapat memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa depan dengan akurat. Kapan terjadi matahari terbenam, kapan terjadi bulan purnama, kapan terjadi gerhana matahari dapat dihitung dengan ketelitian tinggi.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 30-34 menunjukkan bahwa salah satu potensi yang dimiliki manusia adalah berpengetahuan tentang benda-benda dialam semesta. Eksistensi benda-benda dibumi dan dilangit memiliki daya tarik bagi manusia. Daya tarik itu berfariasi, ada yang menimbulkan rasa takut dan kagum,  ada juga  yang menimbulkan rasa ingin tahu untuk mengkaji dan menggali lebih jauh  tentang hukum alam (Sunatullah)
Untuk memudahkan pemahaman terhadap posisi benda-benda langit, diperkenalkan beberapa system koordinat. Setiap system koordinat memiliki koordinat masing-masing. Posisi benda langit seperti matahari dapat dinyatakan dalam system koordinat tertentu. Selanjutnya nilai dapat diubah kedalam system koordinat yang lain melalui suatu transformasi koordinat.

QS. An-Nisa': 34-35


A.    PENDAHULUAN
Manusia lahir kedunia tanpa dibekali ilmu pengetahuan, baik untuk kepentingan dirinya maupun pihak lain seperti masyarakat dan alam sekitarnya. Namun Allah yang maha bijaksana tidak menyia-nyiakan manusia dan mahluk lain yang telah diciptakannya. Dari itu diturunkannya Al-qur’an untuk menuntun mereka kejalan yang benar sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah : 185 yang berbunyi
شهر رمصان انزل فيه القران هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان
Artinya :  (beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”

Jadi fungsi Al-Qur’an sangatlah penting bagi manusia di dunia ini untuk menuntun kehidupan mereka kejalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan yang benar demi memperoleh kebahagiaan yang abadi kelak di akhirat. Barang siapa yang berpegang teguh kepadanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya sebagaimana disabdakan Nabi saw yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ...
Artinya :    Saya telah meninggalkan dua pusaka kepadamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan sunnahku”

Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman diperlukan pemahaman yang benar. Padahal memahami Al-Qur’an tidaklah mudah. Sejarah mencatat ada kosakat Al-Qur’an yang tidak difahami sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab. Padahal sahabat langsung menerima al-Qur’an dari Nabi saw dan menyaksikan situasi dan kondisi yang melatar belakangi turunnya Al-Qur’an. Apalagi sahabat Umar telah diakui kemampuan dan keluasan pengetahuannya
Ada dua hal yang dapat dipetik dari peristiwa Umar ini, antara lain: pertama, menolak pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa semua bangsa arab dapat memahami dan mengetahui makna kosakata  dan susunan kalimat Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab dan sesuai dengan gaya sastra mereka. Kedua tidak mudah memahami ayat-ayat Al-Qur’an, karenanya diperlukan penafsiran. Untuk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup dengan menguasai Bahasa Arab secara baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang konfrehensif tentang kaedah-kaedah yang berhubungan dengan Ilmu Tafsir. Selain itu musafir harus membebaskan dirinya dari segala bentuk keyakinan dan sifat-sifat tercela.
Salah satu yang disinggung dalam Al-Qur’an adalah mengenai hubungan rumah tangga, yakni surat An-Nisa’ ayat 34-35. yang mana dipaparkan tentang pemimpin, istri yang nusyuz dan cara menyelesaikan masalah rumah tangga. Nah, lalu bagaimana dengan tafsir nya? Bagaimana tafsir menurut tafsir klasik dalam hal ini tafsir Ibnu Katsir, dan bagaimana tafsir modern dalam hal ini Tafsir al-Misbah? Apakah ada perbedaan? Untuk itu mari kita pelajari bersama.

Qath'i dan Zhanni dalam Al-Qur'an


PENDAHULUAN
Nash nash dalam Al-Qur’an semuanya adalah pasti (qath’i) bila ditinjau dari datangnya, ketetapannya, dan ke-nukilan-nya dari rasulullah saw kepada ummtanya.[1] Artinya kita memastikan bahwa setiap nash al-Qur’an yang kita baca hakikatnya nash al-Qur’an yang diturunkan kepada Allah kepada Rasul-Nya, dan disampaikan oleh Rasulullah saw yang ma’sum kepada umatnya tanpa perubahan atau pergantian. Lantaran Ma’sumnya Rasulullah saw, maka ketika turun surat atau ayat disampaikannya oleh rasulullah saw kepada para sahabat dan dibacakan untuk ditulis (ada pula yang menulis untuk dirinya sendiri) serta untuk dihafal dan dibaca waktu melakukan shalat. Meraka juga beribadah dengan cara membaca pada setiap saat.
Rasulullah saw wafat ketika ayat al-Qur’an telah dita’winkan (dibukukan) menurut kebiasaan penta’winan bangsa arab. Ketika zaman Abu Bakar As-Shiddiq, beliau mengumpulkan al-Qur’an dengan pelantara Zaid bin Tsabit dengan sebagian para sahabat yang dikenal hafalannya. Kemudian Al-Qur’an dihimpun berdasarkan urutan yang pernah dibacakan Rasulullah saw semasa hidupnya. Upaya memelihara Al-Qur’an yang telah dihimpun ini dilakukan oleh Abu Bakar semasa hidupnya, kemudian dilanjutkan oleh umar bin khottob. Sepeninggal Umar, himpunan al-Qur’an itu diserahkan kepada putrinya Hafsah, Ummul mu’minin. ketika utsman menjadi khalifah, kumpulan al-Qur’an itu diambil dan di mushafkan (dibukukan) Pembukuan itu dilakukan melalui Zaid bin Tsabit dibantu beberapa sahabat kemudian dikirim kebeberapa negeri Islam.[2]
Dengan demikian Abu Bakar berhasil memelihara himpunan al-Qur’an, kemudian disebarkan keseluruh umat Islam, sehingga mereka tidak saling berbeda dalam membacanya. Demikianlah keadaan umat Islam yang jumlahnya telah mencapai jutaan manusia yang bermukim diberbagai benua seluruhnya membaca al-Qur’an tanpa ada perselisihan. Maka benarlah janji Allah SWT yang disebutkan dalam surat al-Hajr : 9
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهُ لَحَفِظُوْنَ
Artinya :“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya ،ami benar benar memeliharanya.” (Qs. Al hajr: 9)

Nash-nash Al-Qur’an itu bila ditinjau dari segi dalalah bagi hukum yang ada didalamnya dibagi menjadi dua bagian yaitu
a.   Nash yang Qath’i
b.  Nash yang Zhanni

Kamis, 04 Agustus 2011

Puasa di Bulan Sya'ban


A.    Pendahuluan
Ketika Nabi melihat perhatian manusia terhadap bulan Rajab pada masa jahiliyah, mereka sangat mengagungkan dan melebihkan atas seluruh bulan. dan tatkala nabi melihat kaum muslimin, mereka berambisi untuk mengagungkan bulan al-Qur`an (Ramadhan), maka nabi berkeinginan untuk menjelaskan kepada mereka keutamaan bulan-bulan dan hari-hari yang lain,[1] termasuk bulan sya’ban. Rosulullah bersabda, “Sya’ban adalah bulanku, barang siapa berpuasa sehari saja dibulanku ini, ia berhak mendapatkan surga.[2] Dan salah satu kebiasaan beliau adalah berpuasa dibulan ini. Kebiasaan atau perbuatan yang dilakukan oleh Rosulullah dikenal oleh para ahli hadits sebagai hadits fi’li. Artinya apa yang beliau lakukan patut dan layak untuk kita laksanakan sepanjang itu bukan kekhususan yang hanya boleh dilakukan nabi, misalnya menikahi istri lebih dari 4 istri. Dan salah satu perbuatan beliau yang layak untuk diikuti adalah kebiasaan beliau untuk puasa pada bulan sya’ban, seperti diungkapkan Aisyah ra: “Saya tidak pernah melihat Rosulullah SAW berpuasa dalam waktu sebulan penuh kecuali pada bulan romadhon, dan tidaklah saya melihat beliau memperbanyak puasa dalam suatu bulan seperti banyaknya beliau berpuasa pada bulan sya’ban.” (HR. Bukhori dan Muslim).[3]
Selain hadits diatas, terdapat pula hadits yang berbunyi
عن أبي سلمه, قل : سألت عائشة رضي الله عنها عن صيام رسول الله؟ فقلت : كان يصوم حتى نقول : قد صام, ويفطر حتى نقول : قد أفطر, ولم اراه صائما من شهر قظ أكثر من صيامه من شعبان, كان يصوم شعبان كله, كان يصوم شعبان إلا قليلا
Artinya : “Diriwayatkan abu salamah, ia berkata : Aku pernah bertanya pada Aisyah ra tentang puasa Rosulullah saw, lalu dia menjawab : Rosulullah saw pernah berpuasa (sunnah) sehingga kami mengatakan bahwa beliau berpuasa, dan aku tidak mengetahui beliau berpuasa sunnat dibulan-bulan lain yang lebih banyak dari pada puasa beliau dibulan sya’ban. Beliau pernah berpuasa penuh dibulan sya’ban, juga pernah berpuasa sya’ban tidak penuh (dengan tidak berpuasa dihari-hari yang sedikit jumlahnya” (HR. Muslim)[4]


 Pada bulan inilah, sebagaimana diutarakan hadits tadi, bahwa Rosulullah paling banyak berpuasa didalamnya. Maka tentu puasa pada bulan ini merupakan hal yang istimewa.
B.     Puasa
Puasa (shaum) pada dasarnya berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan, baik makan, minum, bicara, maupun berjalan. Arti puasa menurut agama adalah bentuk menahan yang khusus pada waktu yang khusus dengan cara yang khusus pula.[5] Sedangkan dalam bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an serta catatan hadits nabi Muhammad SAW, kata shaum berarti pemantangan nafsu badani secara sadar dengan cara berpantang dari makanan, minuman, serta persetubuhan dengan penuh keikhlasan dari merekahnya fajar hingga terbenamnya matahari demi menjaga kedisiplinan spiritual serta pengendalian diri.[6]