Sabtu, 28 Juli 2012

Menulis lebih Mudah dari pada Merasakan


Pasca lulus dari bangku kuliah, ada beberapa keinginan (jangka pendek/program setengah tahun) terkait dengan perjalanan dan keluarga. Pertama, saya ingin jalan berdua bersama suami saja. Kedua, saya ingin jalan bertiga bersama suami dan anak kami. Ketiga, saya ingin jalan2 bersama keluarga besar ibu kandung saya dari Pasuruan.  Keempat, saya ingin jalan2 bersama keluarga besar ibu yang membesarkan saya dari Sidoarjo. Dan kelima, saya ingin jalan2 bareng bersama keluarga besar dari Abah, keluarga Cepu. Alhamdulillah, kesemuanya terlaksana dengana baik.

Senin, 23 Juli 2012

Problematika Hisab-Rukyah dalam Penetapan Awal Bulan



A.           PENDAHULUAN
Hampir setiap tahun umat Islam disibukkan dengan masalah “Kapan puasa, kapan lebaran, dan kapan idul adha, mengapa hampir selalu berbeda, tidak hanya berbeda dengan Arab saudi sebagai negara lain, tetapi juga berbeda dengan sesama saudara muslim di dalam negeri, Indonesia.” Pada dasarnya perbedaan dalam berhari raya atau  ‘hari raya kembar’ bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia saja, namun juga menjadi fenemonena kebanyakan negara di dunia.
Penentuan awal bulan terutama Ramadhan dan Syawwal sampai saat ini memang masih banyak cara yang dianut, sehingga wajar jika sering terjadi perbedaan. Kuantitas madzhab dalam wacana hisab dan rukyah di Indonesia lebih banyak dibanding dengan kuantitas madzhab yang berkembang di masa fuqoha’ (masa awal-awal Islam) terdahulu. Adanya perbedaan ini dasar muaranya sama, yaitu perbedaan pemahaman terhadap dalil-dalil tentang hisab dan rukyah. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena adanya sentuhan Islam sebagai “great traditional” dan budaya lokal atau “little traditional” yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri yang terkadang di luar dugaan.
Perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya di Indonesia sangatlah beragam. Sehingga ini berimbas pada tidak samanya suatu golongan dengan golongan lain dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya. Fenomena ini membuat banyak orang sibuk mendiskusikan ide-ide untuk menyatukan umat Islam terutama dalam hal puasa Ramadhan dan hari raya.
Oleh karenanya, tinjauan fiqih dan ilmu pengetahuan, termasuk dalam hal ini ilmu astronomi, perlu dimunculkan, dikaji, dan ditemukan titik kesepakatan, yang tidak melenceng dari maqasidus syari’ah-nya tentang pergantian bulan.

Awal Bulan Ramadhan 1433 H



A.    PENDAHULUAN
Islam mengakui bahwa baik matahari maupun bulan bisa dijadikan alat penentu waktu. Tetapi dalam praktek ibadah, islam menggunakan kalender bulan qamariyah yang ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit purnama) sesaat setelah matahari terbenam. Alasan dipilihnya kalender qamariyyah nampaknya karena alasan kemudahan dalam dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dengan kalender syamsiyah yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
Dalam perkembangan saat ini, dari segi teknis ilmiyah, penentuan awal bulan dapat dikatakan mudah, karena merupakan bagian dari ilmu eksata. Tetapi dalam penetapannya susah, karena menyangkut factor non eksata, seperti peerbedaan madzhab hukum (eg. Wujud al-hilal, ru’yah, dan madzhab lain), perbedaan mathla’ (daerah berlakunya kesaksian hilal) dan kepercayaan kepada pemimpin ummat yang tidak tunggal.

Haid


A.      Latar Belakang Masalah
Ada banyak persoalan atau masalah tentang wanita, baik persoalan yang juga biasa dihadapi oleh laki-laki, persoalan persamaan hak atau gender, maupun persoalan yang hanya dihadapi atau dimiliki oleh kaum hawa seperti hamil, dan permasalahan tentang darah wanita seperti haid, nifas dan istihadhah, serta persoalan yang menyangkut organ reproduksi lainnya.
Masalah haid misalnya, merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi kaum wanita, karena hal tersebut termasuk ajaran yang sangat penting dalam agama Islam karena menyangkut kesucian jiwa dan jasmani serta menyangkut masalah sah atau tidaknya ibadah kaum wanita.
Tema haid menjadi tema penting yang menjadi kajian dalam ilmu fiqih, karena haid seringkali bersentuhan dengan rutinitas ibadah yang notabenenya harus suci dari hadas dan najis. Kurang tepat ungkapan yang menyatakan setiap darah adalah haid, dan setiap putus darah adalah suci. Karena sebagaimana dikaji dalam kitab fiqih bahwa tidak semua darah dapat dihukumi haid atau nifas, dan tidak setiap putus darah dihukumi suci yang hakiki.  
Haid yang merupakan persoalan abadi bagi kaum wanita, adalah peristiwa rutin nan lumrah yang dialami oleh wanita dan memiliki akibat hukum serta memiliki konsekuensi boleh-tidaknya wanita tersebut melakukan ‘sesuatu’, karena sangat terkait dengan ibadah-ibadah fard ‘ayn (mahdah), misalnya salat dan puasa, maupun ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, serta menjadi patokan selesainya iddah bagi seorang wanita.
Karena menyangkut sah dan tidaknya ibadah seorang wanita, maka mempelajarinya merupakan suatu kewajiban mutlak. Ironisnya, sebagai peristiwa rutin, persoalan ini jarang diperhatikan dan seringkali diremehkan atau diabaikan oleh banyak kalangan, terkadang oleh kaum wanita itu sendiri. Padahal ketidaktahuan terhadap persoalan ini bisa mengakibatkan rusaknya ibadah, dengan tidak mengetahui kapan saatnya harus bersuci, apakah yang terjadi itu adalah haid atau istihadhah, bagaimana cara menghitung atau mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang terkait dengan masalah ini.
Permasalahan ini sebenarnya termasuk rangking atas tingkat kerumitan dan kesulitannya, mengingat begitu beragamnya peristiwa yang terkait dengannya, terutama pada masa ahir-ahir ini banyak sekali wanita yang haidnya tidak teratur (tidak normal).
Permasalahan haid sebenarnya telah banyak dibicarakan oleh para ulama’, terutama ulama’ pada masa fuqaha’ dahulu. Bahkan seluruh madzhab-pun telah meneliti permasalahan haid tersebut secara tepat, teliti dan akurat serta tidak diragukan lagi kredibilasnya yang kemudian mengeluarkan pendapat hukumnya mengenai persoalan tersebut.
Persoalan haid menjadi lebih rumit karena sebagian wanita terutama wanita masa kini lebih banyak yang mengalami haid yang kurang normal (tidak teratur), baik dari segi siklus, maupun lama haid dan jarak suci. Hal tersebut konon disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya dari segi makanan, obat, alat kontrasepsi, bahkan kesehatan dan masalah atau psikologis perempuan. Yang mana hal-hal tersebut pada masa fuqaha’ tidak banyak terjadi, sehingga mengesankan problematika haid-nya wanita masa kini lebih banyak dari pada haid-nya wanita pada masa fuqaha’ (dahulu).
Pada dasarnya lama haid, siklus haid yang masih dalam batas wajar ataupun wanita yang tidak haid sama sekali, sebenarnya tidak terlalu menjadi persoalan. namun bagi yang siklusnya kacau, akan menjadi masalah tersendiri karena kerumitan dan kesulitan (dalam menghitung kapan yang dikatakan suci, kapan istihadhah, dan kapan suci lagi) akan muncul.
Fenomena tentang banyaknya ketimpangan yang menyelimuti terhadap masalah darah wanita terutama haid beserta hukumnya secara utuh tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti permasalahan haid, termasuk landasan atau kitab yang menjadi pedoman baik dari Al-Qur’an, Sunnah, hasil ijtihat dan istiqra’ para ulama’, maupun sumber dari ilmu kedokteran modern dan dengan melihat kondisi nyata mengenai haid-nya wanita. Dengan tujuan agar dapat dipelajari dan diamalkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas keabsahan seorang wanita dalam beribadah kepada Allah.

Gender



The differences in men and women nothing discussed biologically. But we need discussed non biological. Gender is discussed not biologically. Gender is an attempt for understand the interpretation culture for differences sex (or gender).