Pasca lulus dari bangku
kuliah, ada beberapa keinginan (jangka pendek/program setengah tahun) terkait
dengan perjalanan dan keluarga. Pertama, saya ingin jalan berdua bersama suami
saja. Kedua, saya ingin jalan bertiga bersama suami dan anak kami. Ketiga, saya
ingin jalan2 bersama keluarga besar ibu kandung saya dari Pasuruan. Keempat, saya ingin jalan2 bersama keluarga
besar ibu yang membesarkan saya dari Sidoarjo. Dan kelima, saya ingin jalan2
bareng bersama keluarga besar dari Abah, keluarga Cepu. Alhamdulillah,
kesemuanya terlaksana dengana baik.
Perjalanan berdua bersama
kak Halim saja, adalah ketika ke Jogja selama 3 hari, serasa berbulan madu saja
(hehe), perjalanan bersama Aida dan kak Halim terjadi ketika ke Surabaya dan
Madura. Perjalanan bersama keluarga ibu, keduanya ke Jakarta, dan perjalanan
bersama keluarga Abah adalah ketika ke Kudus - Moga – Pemalang - Jogja.
Semuanya mengesankan,
semuanya bersejarah. Namun perjalanan ke Jakarta, keduanya mampir pada masjid
Brebes. Yang membuatku tertarik adalah mengenai keindahan dan arah kiblat-nya. Meskipun saya tidak tahu bagamana umara’ di
sana, namun kesan pertama saya langsung memuji Bupati dan perangkatnya yang
‘berani’ membenahi ‘rumah Allah’ sedemikian indah, lengkap dengan arah
kiblat-nya beserta dalilnya, --sayangnya terjemahan ayat Allah kok ditaruh di
lantai ya..--. (wajar saya tertarik, karena tesis saya membahas tentang kiblat,
dan itu masih hangat di pikiran saya. Apalagi ketika ke Jakarta yang ke dua,
juga dalam rangka untuk mengusahakan study lanjut).
Selain itu, saya memiliki
cerita dan catatan ketika berada di masjid dan lesehan yang berada di depannya:
Perjalanan pertama,
adalah cerita kekaguman tentang teh poci, sampai-sampai kami meminta cangkir dan
tekonya pedagang itu untuk dibawa pulang.. untung boleh, walaupun agak geli
karena merasa perbuatan kami adalah konyol. Hehehe.. selain itu kekaguman
tentang tahu mentah yang digoreng
pake tepung seperti tempe mendoan,..
wow, tapi rasanya enak lho.. saat ini aku ingin mengicipinya kembali..
Perjalanan kedua, adalah
catatan. Kebetulan ketika saya keluar dari masjid, di salah satu penjual
lesehan sedang memutar lagu, begini syiirnya “Ku tak bisa menggapaimu, tak kan
pernah bisa.. walau sudah letih aku, tak mungkin lepas lagi.. kau hanya mimpi
bagiku.. dan tak untuk jadi nyata.. dan
s’gala rasa buatmu harus padam dan berahir,,”
Tiba-tiba aku menulis
begini “Ugh.. padahal aku kurang suka
dengan lirik lagu itu, karena menggambarkan punguk yang mengharapkan rembulan.
Karena menggambarkan sikap pesimisme seseorang dalam menghadapi sesuatu.
Padahal manusia itu meskipun kata-kata yang terucap dari bibirnya terucapkan
kerendahan dirinya, tetapi hatinya harus selalu optimis. Ucapan merendah yang
keluar dari bibir adalah untuk menghindari sifat sombong, sedangkan optimisme
harus selalu ditanamkan dalam hati untuk menggapai kehidupan yang lebih baik
dan semakin baik dengan segala kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup.
Bagaimanapun maju itu ke depaan, bukan ke belakang. So, hindari sesuatu yang
membuat hati kita pesimis. Karena dari hati semua berawal, kemudian otak
(dibantu) tubuh yang menjalankan”
Lirik berikut ini mungkin
akan lebih baik.. “Ternyata tanpamu langit tetap biru, ternyata tanpamu
bunga-pun tak layu, ternyata dunia tak berhenti berputar walau kau bukan
miliku..”
Ah,.. lirik, lagu, dan
kata-kata itu saat ini seolah ‘harus’ kuhadapi. Ternyata (benar apa yang pernah
dikatakan pembimbing tesis-ku dulu), ‘Menulis’ jauh lebih mudah dari pada
‘merasakan’.. Tetapi apapun itu, semoga aku dapat menghapi semuanya dengan
bijaksana. Amiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar