Pemilu
legislatif baru saja kita lewati. Entah saya yang terlalu bodoh atau bagaimana,
yang pasti saya merasa ada banyak ketidak puasan atas terselenggaranya pemilu
ini. Saya merasa perlunya pembaharuan dalam cara/sistem pemilu.
Beberapa
catatan yang mengganjal di hati adalah; pertama, adanya money politic
yang kentara. Entah karena sudah lebih biasa, lebih lama atau memang begitu
adanya, pemilu kali ini nuansa ‘uang’ nya lebih terasa. Meski saya tidak pernah
sekalipun menjadi ‘korban’ mendapat uang itu, tetapi sudah mutawatir bahwa
masyarakat mendapat uang sogokan atau kompensasi dari para calon legislator,
bahkan terkadang satu orang bisa mendapat hingga puluhan amplop. Wow.. dapatnya
pun bervariasi, ada yang diselipkan dalam rapat, dalam pengajian, H-(x)
pencoblosan, maupun pagi hari pencoblosan (serangan fajar) dengan nominal yang
bervariasi pula. Seandainya sogokan itu tidak ada dan diganti dengan program
yang merakyat, bukankan lebih efisien? Siapa yang harus ‘disalahkan’ atas
situasi ini? Rakyat yang mau menerima uang itu, caleg yang memanjakan dengan
memberi uang, budaya kita, atau sistem? Yang pasti saya berharap ada sistem,
kebijakan atau kekuasaan yang memperbaiki ini.
Kedua,
ribet
dan bertele-telenya proses perhitungan suara. Perhitungan suara harus dilakukan
di TPS, lalu dihitung lagi di desa, di panwas, di KPU,,,, (antara TPS, PPS,
KPPS) uh…. Mengapa harus sekian kali hitung dengan alasan ‘kelembagaan?’
bukankan itu sangat melelahkan? Dan hitungan siapa yang harus dipercaya? Kalau
hitungan KPPS yang dipercaya dan valid, apa gunanya dihitung di TPS? Tidak
bisakah seandainya hitungan suara cukup di TPS saja, disaksikan oleh
masyarakat, perwakilan KPU, Panwas, Parpol, dan pihak-pihak yang berkepentingan
lalu dilaporkan dan menjadi legalitas? Atau kalau masih kurang puas, manfaatkan
teknologi, sertakan media shooting atau perekam sebagai laporan. Banyaknya
proses hitung membuat lelah dan celah kecurangan serta penggelembungan suara lebih
besar.
Ketiga,
banyaknya pilihan. Pemilu kali ini bukan hanya sekedar memilih partai, namun
juga calon legislatornya. Hal itu membuat persaingan bukan hanya antar partai,
namun ‘musuh dalam selimut’ atau persaingan sesama anggota partai menjadi
rawan. Parpol, pimpinan dan pengurusnya bisa menjadi ajang fitnah atau bahkan
dapat benar-benar bermain curang di sini. Sehingga pencurian suara antar caleg
menjadi sangat mungkin terjadi dan sulit dibuktikan.
Keempat,
tidak adanya kejelasan. Lagi-lagi membuat saya
bingung. Ini musuhnya siapa, dan siapa target money politic sebenarnya. Pemilu
ini membuat peluang untuk mencurangi teman sendiri menjadi lebih besar, karena
harus berebut kursi. Target money politic juga menjadi bias. Masyarakat, atau
pemilik kekuasaan (oknum pejabat)? Lagi-lagi uang yang harus berbicara. Sudah
terkuras untuk menyogok rakyat, ditambah transfer untuk pengurus pemilu (PPS,
aparat, panwas, KPU), plus kontrak politik dengan pejabat parpol ataupun salah
satu calon….
Lalu,
apa jadinya bangsaku jika dijalankan dengan cara-cara seperti ini? Mungkinkan
ada yang benar-benar berkhidmah jika sebelum mengabdi saja sudah mengeluarkan
modal yang tak sedikit? Apakah mereka tidak memerluhkan balik modal? Lalu apa
tujuan mereka menjadi wakil dan abdi masyarakat?
Terkadang
ku merenung,,, mengapa kita tidak kembali seperti dulu? Memilih partai saja,
tidak memilih nama calon legislatif. Siapapun yang akan duduk di kursi dewan,
biarkan itu menjadi kebijakan parpol dan para pengurusnya. Agar pejabat parpol
dan caleg lebih terbuka, lebih transparan tentang siapa yang sebenarnya mereka
harapkan untuk masuk di kursi dewan, agar tidak ada lagi ‘permusuhan’ dalam
intern parpol, agar lebih tercipta netralitas pengurus parpol, dan agar tidak
ada lagi orang yang memiliki harapan tinggi dan mengeluarkan modal yang tak
sedikit kemudian jatuh dan menjadi gila.
Selain
itu dengan memilih parpol saja tanpa nama legislative, akan lebih memudahkan
masyarakat dalam memilih. Memang memilih nama caleg sekaligus menjadi lebih
demokratis, namun janganlah kita menutup mata, bahwa masih banyak diantara kita
yang bingung dan tidak faham dengan cara ini. Misalnya, banyak suara tidak sah
akibat memilih dengan lebih dari satu pilihan. Mungkin maksud hati rakyat ingin
amanah, dapat uang dari caleg A dari partai padi dan dapet dari caleg B dari
partai jagung, sehingga dicoblos dua-duanya. Bagi dia itu amanah, namun secara
yuridis kertas suara itu tidak sah (terlalu banyaknya kertas suara tidak sah,
menunjukkan pemilih bukan hanya sengaja golput, tetapi memang tidak mengerti).
Banyak pula yang memilih parpol saja. Memang itu sah, namun memberikan peluang
kecurangan bagi salah satu oknum untuk mencoblos nama salah satu caleg.
So,
adakah pemilu yang lebih minim resikonya? Tidak membunuh kontestannya, tidak
membuat konstannya gila, termasuk tidak membuat pilek?
Memory
of Apr 12nd 2014, 02.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar