Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk
mereduksi berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum
laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan berbagai peran,
sementara perempuan memperoleh peran yang terbatas di sektor domestik.
Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan
sebagai makhluk yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki
makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani. Perbedaan-perbedaan ini
kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah tetap yang merupakan pemberian Allah.
Barang siapa berusaha merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang
ketetapan Allah.
Gender adalah perbedaan
yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Allah. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan
kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin
biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yakni suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang konstruksi secara
sosial maupun kultural. Gender adalah perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan
tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender
adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. perbedaan gender dibentuk oleh masyarakat setempat.
Berbeda dengan seks, yang mengkaji perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dari segi fisik tubuh (biologis).
Sedangkan
Islam merupakan agama yang diturunkan
Nabi saw sebagai nabi dan rasul terahir untuk menjadi pedoman hidup
seluruh manuasia hingga ahir zaman. Sebagai pedoman hidup, Islam bukan hanya
mengatur urusan ibadah ataupun urusan manusia dengan Tuhan, Ia mengatur secara kaffah (menyeluruh),
termasuk hubungan manusia dengan manusia, politik, hukum, termasuk persoalan
wanita (yang di dalamnya termasuk gender).
Di
Indonesia, feminism yang kemudian kenyuarakan gender sudah dikenal sejak awal
tahun 1970-an, terutama sejak tulisan-tulisan ilmiah tentang feminism muncul di
jurnal maupun surat kabar. Namun baru tahun 1990-an istilah feminism Islam
dapat diterima terutama sejak terbitnya buku-buku feminism yang ditulis oleh Riffat
Hasan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Asghar Ali Engineer. Bersamaan dengan
itu di kalangan intelektual muslim mulai didengungkan perlunya ijtihad baru
untuk menghasilkan penafsiran yang lebih adil dan sejajar dalam soal perempuan
seperti yang dilakukan Quraish Shihab, Nurcholish Majid, dan lain-lain. Tokoh
lain seperti Harun Nasution, Munawwir Sadzali, dan Masdar F Mas’udi juga tak
ketinggalan.
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa gerakan kaum feminis adalah menciptakan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Untuk mencapai arah tersebut, agenda
kerja yang menjadi sasaran bervariasi dari satu gerakan ke gerakan yang lain,
misalnya; menumbuhkan kesan yang kuat bahwa secara individu perempuan adalah
sama dengan laki-laki. Dasar yang digunakan dalam konteks ini adalah filsafat eksistensialisme
yang dikembangkan Satre yang menyatakan bahwa eksistensi diri manusia bukan
bawaan lahir, melainkan merupakan pilihan, karena itu hak setiap individu lah
untuk menetapkan identitas dirinya. filsafat eksistensialisme ini
menjadi dasar pemikitan aktivis feminism yang percaya bahwa identitas gender
harus direkontruksi oleh individu yang bersangkutan.
Ada
pula feminism liberal yang memberikan landasar teoritis pada persamaan wanita
dalam potensi rasionalitasnya dengan pria. Menurut mereka, perlu dasar hukum
yang kuat agar persamaaan hak antara laki-laki dan perempuan dapat terjamin
pelaksanaannya. Di Indonesia, golongan ini mengkritik undang-undang perkawinan
tahun 1974 yang dianggap tidak sesuai dengan zaman modern. UU tersebut dianggap
terlalu memberikan wewenang yang besar terhadap suami sehingga secara tidak
langsung menjadikan status wanita menjadi inferior, sebab ketergantungan
tersebut akan menjadikan lemah dan rela mengalah pada suami.
Feminis
radikal, memandang keluarga sebagai suatu institusi yang menindas karena dalam
keluarga patriakis, laki-laki juga mengontrol daya kerja wanita secara formal
dan informal; adanya perlawanan dari wanita memiliki konsekuensi ekonomi dan
sosial bagi mereka dan anak-anak mereka.
Feminis
sosialis menawarkan untuk membebaskan wanita dari penindasan keluarga dengan
mengajak perempuan untuk memasuki sektor public. Partisipasi wanita dalam sektor
public dapat membuat wanita produktif, sehingga konsep pekerjaan domestik
perempuan akan berkurang. Dengan mempunyai materi maka posisi tawar-menawar
yang dimiliki perempuan sama kuatnya dengan laki-laki.
Kaitannya
dengan Islam, kesan yang ditimbulkan dari pemahaman Islam adalah kuatnya
hegimoni kaum pria terhadap kaum wanita. Hal itu ditunjukkan dengan institusi
poligami yang didominasi kaum laki-laki, kepemimpinan, warisan, maupun
persaksian. Gambaran seperti inilah yang sering menjadi target sasaran bagi
gerakan gender dalam menuding bahwa Islam
memperlakukan kaum wanita dengan cara yang tidak adil. Tuduhan seperti
inilah yang kemudian dicoba untuk ditepis oleh para pemikir Islam modern
termasuk di Indonesia. Merespon isu tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan,
mereka menerangkan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sejajar sebagaimana
QS al-Hujurat : 13[2],
An-Nisa” : 1[3],
maupun Al-Isra’ : 70[4].
Lebih dari itu, sebagai bukti Islam telah mengangkat harkat wanita, Al-Qur’an
banyak membicarakan wanita, misalnya dalam
al-A’raf : 189[5],
al-Qiyamah : 37[6],
Al-Nahl : 97[7],
Ali-imran : 195[8],
maupun An-Nisa’ : 124[9].
Wanita
dalam pemikiran Islam modern digambarkan sebagai mahluk yang sama kedudukannya
dengan kaum pria secara teologis di hadapan Allah, dan secara sosial dalam
interaksi sesama manusia. Kesetaraan wanita dan pria ini kemudian diwujudkan dalam
bentuk memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam
mengapresiasikan hak dan kewajiban mereka dengan memberikan hak dan kesempatan
yang sama bagi wanita dalam segala aspek kehidupan termasuk hak berpolitik,
dipilih dan memilih pemimpin, bahkan dalam hal fiqh.
Tidak
dapat pula diabaikan bahwa faktanya Islam datang ditengah-tengah masyarakat
yang secara mendasar memandang rendah kaum wanita, kemudian Islam memuliakan
mereka. Tentu dalam suatu hal tidak bisa dilakukan secara langsung, melainkan
secara bertahap. Demikian pula dengan penghargaan dan peran wanita. Seperti diketahui,
Islam
tidak pernah mendiskriminasi keberadaan perempuan. Justru agama Islamlah yang membebaskan perempuan dari kebudayaan
jahiliyah dimasa lampau. Seperti yang kita tahu tentang kondisi perempuan pada
masa jahiliyah. Apabila suatu masyarakat melahirkan seorang perempuan maka itu
merupakan suatu aib sehingga perempuan terkadang harus dibunuh hidup-hidup oleh
orang tuanya sendiri. Berlanjut dengan eksistensi Nabi SAW yang membawa rahmat
bagi seluruh alam. Posisi perempuan menjadi terselamatkan dan dijunjung harkat
dan martabatnya. Ini lah yang patut menjadi refleksi bagi muslimin muslimat
untuk menjaga ajaran yang dilakukan oleh utusan Allah yaitu Nabi SAW yang tidak
pernah melakukan diskriminasi ataupun dikotomi negatif terhadap perempuan
Dasar
pemikiran Islam modern terhadap kesetaraan wanita setidaknya dapat dilihat dari
upaya yang menghaliskan pemahaman bahwa:
-
pintu ijtihat tetap
terbuka
-
melepaskan diri dari
keterkaitan masa lalu (taklid)
-
Perubahan zaman dapat
melahirkan perubahan ajaran
-
Superioritas akal atas
wahyu
-
Maslahat sebagai tujuan
syariat Islam
-
Keadilan sebagai dasar
kemaslahatan
Selain itu dijelaskan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam
bersifat adil (equal). Oleh karena
itu subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang
berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat
keadilan yang diajarkan Islam.
Konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam al- Qur’an,
antara lain:
-
laki laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai hamba.
-
Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi.
-
Laki-laki dan Perempuan menerima perjanjian primordial
-
Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
Menurut Nasaruddin Umar, Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion) antara laki-laki dan
perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination).
Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang
ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak
dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan
laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara
utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural saling
memerlukan dan dengan demikiann antara satu dengan yang lain masing-masing
mempunyai peran. Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh keduanya,
seperti perkerjaan kantoran, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat
dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak, yang
peran ini hanya dapat diperankan oleh wanita. Di lain pihak ada peran-peran
tertentu yang secara manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum laki-laki
seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot lebih besar.
Dengan demikian dalam perspektif normativitas Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Tinggi rendahnya
kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan
ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan penghargaan yang sama dan
setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan
atas semua amal yang dikerjakannya.
Teori dan konsep Gender
memang mudah nampaknya, namun aplikasinya bukan perkara gampang, butuh proses
dan dukungan penuh serta partisipasi langsung dari masyarakat dunia, jika gender
memang menjadi pilihan utama untuk menyeimbangkan peran-peran individu dalam
masyarakat global.
Ada dua faktor yang
menghambat perjuangan gender : Pertama, faktor internal yang merupakan faktor dari dalam diri
perempuan itu sendiri, misalnya perempuan selalu mempersepsikan status dirinya
berada di bawah status laki-laki, sehingga tidak mempunyai keberanian dan
kepercayaan diri untuk maju
Kedua, faktor ekternal yaitu faktor yang berada di luar diri perempuan
itu sendiri, dan hal yang paling dominan adalah terdapatnya nilai-nilai budaya
patriarki yang mendominasi segala kehidupan di dalam keluarga masyarakat,
sehingga menomor duakan peran perempuan
Selain itu, juga interprestasi agama yang bias gender, kebijakan
umum, peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur hukum yang
dikriminatif serta bias gender, baik di pusat maupun daerah. Di samping itu
juga masih kuatnya budaya sebagian besar masyarakat yang menganggap perempuan
kurang berkiprah di ruang publik, ditambah dengan adanya ajaran agama yang dipahami
secara keliru, membuat perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan
kesetaraan gender semakin sulit tercapai.
Mapaba PMII, 10 Desember 2013
[1] Disampaikan dalam Mapaba PMII, Cepu, 10 Desember 2013.
[2] Tentang Kemanusiaan dan kesejajarannya dengan
laki-laki.
[3] Tentang proses penciptaan manusia.
[4] Tentang kemuliaan anak Adam, tanpa menyebut
laki-laki atau perempuan (sama)
[5] Tentang perempuan dan laki-laki diciptakan
dari unsure tanah yang sama dan jiwa yang satu.
[6] Tentang proses dan fase pembentukan janin
laki-laki dan perempuan tidak berbeda.
[7] Tentang Jaminan kebahagiaan di dunia dan
ahirat bagi perempuan bila komitmen dengan iman dan menempuh jalan sholehah,
seperti halnya laki-laki.
[8] Tentang Perbuatan yang dilakukan perempuan
setara dengan apa yang dilakukan laki-laki.
[9] Tentang perempuan adalah mahluk yang
menyertai laki-laki di dunia dan ahirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar