Rabu, 28 Desember 2011

Kepemimpinan Wanita dalam Tinjauan Hukum Islam


Abstrak
Islam dalam al-Qur’an dan hadits mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini juga berdampak menimbulkan kesan bahwa Islam melarang adanya pemimpin perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ seperti dalam QS. An-Nisa’: 1, dan 34, QS Ali imran: 195, dan sebagainya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki.
Maka dari itu perempuan berhak beraktivitas termasuk menjadi pemimpin. Sebab syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta, demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, ijtihad, politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki dalam ranah publik, termasuk menjadi pemimpin. Sebab kepemimpinan bukan sesuatu yang given namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Keyword  : Kepemimpinan, Wanita, Hukum Islam

A.           PENDAHULUAN
Islam dalam al-Qur’an dan Hadits mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Di beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara.
أَنِّى لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beriman diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan” (QS. Ali Imran :195)
Namun pada ayat lainnya al-Qur’an memberi kesan adanya subordinasi terhadap kaum perempuan misalnya ayat mengenai warisan, kepemimpinan lelaki atas perempuan, kesaksian, poligami, dan lain-lainnya. Ayat-ayat tipe kedua ini pula yang sering diangkat oleh kitab-kitab fiqih ataupun teks-teks keagamaan ketika pembicaraan tentang hubungan laki-laki dan perempuan diangkat ke permukaan. Akibatnya steteotype perempuan Islam secara sociokultural adalah apa yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih dan teks-teks keagamaan tersebut, yakni sebagai mahluk kelas dua yang mempunyai peran dan status yang berbeda dari laki-laki. Hal ini juga berdampak menimbulkan kesan bahwa Islam melarang adanya pemimpin perempuan.
Hal ini didasarkan pula pada cerita ketika Rasulullah saw mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran,[1] beliau bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i.[2]
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran[3] : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, bahwa Allah SWT telah berfirman kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT  QS. Al-A’raaf: 158 dan QS. An-Nisa’: 1. Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Kaidah Ushul Fiqih menetapkan : Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.yang artinya Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.[4] Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana  laki-laki, termasuk menjadi pemimpin diantara mereka. Sebab syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

B.            TINJAUAN TENTANG KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan atau leadership adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang lain agar bekerjasama sesuai dengan rencana demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam manajemen, bahkan dapat dinyatakan, kepemimpinan adalah inti dari managemen.
Pemimpin adalah  penanggungjawab untuk menyusun tugas, menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan. Pemimpin merupakan inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sam. Memimpin berarti terlibat dalam suatu tindakan memulai pembentukan struktur dalam interaksi sebagai bagian dari proses pemecahan masalah-masalah bersama.
Seorang pemimpin memiliki beberapa peran. Menurut Henry Mintzberg, Peran Pemimpin adalah sebagai berikut:
1.    Peran hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2.    Peran informal sebagai monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3.    Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator
Mengingat pentingnya peran pemimpin, maka sudah barang tentu ia harus memiliki sifat-sifat yang lebih dari orang-orang yang dipimpinnya. Berikut ini akan diuraikan sifat-sifat atau syarat-syarat kepemimpinan.[5] Menurut Dr. Roeslan Abdul gani seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dalam 3 hal dari orang-orang yang dipimpinnya, diantaranya :
1.    Kelebihan dalam bidang rasio. Artinya seseorang pemimpin harus memiliki pengetahuan tentang tujuan dan asas organisasi yang dipimpinnya. Memiliki pengetahuan tentang cara-cara untuk menjalankan organisasi secara efisien. Dan dapat memberikan keyakinan kepada orang-orang yang dipimpin ke arah berhasilnya tujuan.
2.     Kelebihan dalam bidang rohaniah. Artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang memancarkan keluhuran budi, ketinggian moral, dan kesederhanaan watak.
3.    Kelebihan dalam bidang lahiriah/jasmaniah. Artinya dengan kelebihan ketahanan jasmaniah ini seorang pemimpin akan mampu memberikan contoh semangat dan prestasi kerja sehari-hari yang baik kepada orang-orang yang dipimpin.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, namun bukan berarti seorang wanita tidak dapat memiliki kriteria-kriteria seperti tang disebutkan di atas. Dalam kenyataannya, dewasa ini banyak wanita yang menjadi pemimpin dan memiliki kreteria di atas.

C.           HAK-HAK WANITA
Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar de-ngan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda, karena pria dan wanita hakikatnya adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.”
Islam menempatkan wanita pada tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Jika diperinci, hak seorang wanita dapat dijelaskan sebagai berikut:[6]
1.             Pada Masa Kanak-kanak
Seorang anak wanak perempuan, memiliki hak untuk diperlakukan secara baik oleh orang tuanya. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Nabi saw memberikan anjuran dalam sabda-Nya:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِه الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَاَحْسَنَ اِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
 “Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)
2.             Dalam Masalah Pernikahan
Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Nabi saw bersabda:
لاَ تُنْكِحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ اِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
 “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah ra)
Dengan demikian, apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak. Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah.
3.             Sebagai seorang Ibu
Allah swt mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah terutama ibu. Sebagaimana sabda Nabi saw
يَا رَسُولَ اللهِ, مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيِ ؟ قَالَ : أُمُّكَ. قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : أُمُّكَ. قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : أُبُوْكَ  
 “Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Hadits di atas menunjukkan bahwa hak ibu lebih tinggi dari pada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya.[7] Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Nabi saw dalam sabdanya:
اِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عَقُوقَ اْلأُمَّهَاتِ...
 “Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Dikhususkannya penyebutan para ibu dalam hadits ini karena untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.[8]
4.             Sebagai Istri
Allah swt memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
 “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa`: 19)
5.             Dalam ranah Publik
Pada dasarnya kedudukan lelaki dan wanita adalah sama. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, walaupun ada tugas dan fungsi yang dimiliki oleh masing-masing  jenis kelamin, namun diluar tugas, hak dan fungsi pokok laki-laki dan perempuan, meraka sama-sama merupakan pelaku yang akan diminta untuk mentaati hukum dan mempertanggung-jawabkannya di kemudian hari. maka kedudukan fungsi dan peran mereka sama.
Hal itu dapat terlihat karena ada sejumlah ayat dalam al-Qur’an yang secara exspilit memberikan isyarat kemitra sejajaran At-Tahrim: 10-11 untuk berperan dalam kehidupan dan akan mendapat balasn yang setimpal sesuai dengan prestasi masing-masing.
Namun, selama ini ada sebagian kalangan yang melarang wanita untuk berkiprah di dunia politik dan lingkup di luar rumah tangganya, apalagi menjadi pemimpin pada suatu lingkup. Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka, yakni[9]
a.    Ayat Ar-rijalu qawwamuna 'alan nisa' (Lelaki adalah
pemimpin bagi kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34)
b.    Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas
dibandingkan dengan akal lelaki.
c.    Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum
imra'at
(Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan).
Menurut mereka ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki.

D.           KEPEMIMPINAN WANITA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
1.             KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RUMAH TANGGA
Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’: 34 yang berbunyi
الرِّجَلُ قَوَّمُوْنَ عَلَى النٍّسَاءِ بِمَا فَضَّل اللهُ بَعْضَهَمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أمْوَالِهِم
 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.”

Kata qawwam sebenarnya merupakan kata yang multi interpretable. Dalam kamus bahasa Arab kata itu bisa menjadi kata asli dan kata jadian. Sebagai kata asli, ia bisa berarti orang yang mampu mengurus dan bisa pula berarti pemimpin. Dan sebagai kata jadian, ia merupakan bentuk mubalaghah dari qaim yang arti asalnya adalah orang yang berdiri. Ketika digabungkan dengan harf al-jarr, ‘ala, maka ia menjadi idiom yang bisa berarti memimpin, melindungi, menjaga, dan mencukupi kebutuhan. Dalam penafsiran yang pada umumnya diterima oleh umat Islam, arti yang dipilih untuk memahami kata itu adalah pemimpin.[10] Sehingga sebagian dari mereka beranggapan bahwa seorang perempuan dilarang menjadi pemimpin.
Dalam ayat tersebut menyebutkan nafaqah. Apalagi kalau ayat itu diteruskan sampai titik, maka seluruhnya berbicara masalah rumah tangga atau yang hubungan rumah tangga. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam konteks rumah tangga (suami-istri),  suami dapat melindungi dan menjadi pengayom dalam keluarganya.
Rumah tangga dipahami sebagai lingkup yang paling kecil dibandingkan dengan apapun termasuk urusan agama termasuk shalat berjamaah. Barangkali karena itulah Allah mengatur mekanisme tentang pemimpin di dalamnya. Karena bisa dibayangkan, jika setiap sebelum terjadi pernikahan atau berumahtangga harus ada pemilihan tentang siapa yang akan menjadi pemimpin (suami atau istri), bisa dipastikan akan ada perebutan kekuasaan dan adu kekuatan atau pengaruh selama kehidupan pernikahan. Bisa jadi selama menjalani kehidupan rumah tangga pasangan itu akan selalu bertengkar yang ujung-ujungnya saling merasa menang karena sama-sama merasa memiliki otoritas dan tidak ada yang dapat menjadi pengayom dan menghargai.
Padahal jika seorang manusia menikah sekitar usia 20-30an tahun dan memiliki usia sekitar 40-60an tahun berarti mereka akan menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama pasangan (suami/istrinya), artinya sebagian besar hidup manusia adalah hidup dalam pernikahan. Jika sebagian hidupnya diwarnai dengan hal yang demikian, maka tidak ada ketentraman di dunia ini, karena rumah tangga adalah lingkup terkecil yang menjadi penentu bagaimana keadaan lingkungan sekitarnya bahkan keadaan dunia.
Dengan demikian, sudah menjadi sunatullah atau hukum alam bahwa suami adalah penanggung jawab dalam rumah tangganya. Maka, perempuan yang bersuami secara otomatis tidak  menjadi kepala rumah tangga. Meskipun wanita lebih unggul dari segi apapun dari pada suaminya.

2.    KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH AGAMA DALAM HAL INI SEBAGAI IMAM SALAT
Terdapat hadis yang melarang wanita untuk menjadi imam shalat adalah hadis yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah yang berbunyi
أَلاَلاَ تَؤُمَّن امْرَأَةٌ رَجَلٌ
 “Ingatlah, jangan sekali-kali ada wanita menjadi imam shalat untuk lelaki”

Menurut Imam al-Busyari,[11] hadis diatas adalah dhaif (lemah), karena di dalam sanadnya terdapat dua rawi yang lemah periwayatannya. Oleh karena itu hadis ini tidak banyak disebut sebagai dalil untuk masalah ini. Namun, tidak selamanya hadis dhaif musti terlempar. Masalahnya substansi hadis itu telah diterima dan diamalkan oleh para ulama’ sepanjang masa. Oleh karena itu hadis ini tetap diterima dan dijadikan dalil untuk mengharamkan wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki.
Hadis seperti ini adalah hadis yang diterima karena faktor-faktor eksternal. Karena hadis yang substansinya telah diterima dan diamalkan para ulama’ tidak perlu lagi diteliti sanadnya.[12] Karenanya, sebagian ulama’ tetap menggunakan hadis ini sebagai sebagai dalil diharamkannya wanita menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki.
Kemudian juga terdapat hadis yang membolehkan wanita menjadi imam shalat berjamaah, yaitu hadis dari Ummu Waraqah. Ada kisah yang melatarbelakangi Ummu Waraqah diizinkan menjadi imam shalat, yakni
Ketika Nabi hendak berperang melawan orang-orang musyrik di Makkah di suatu tempat yang bernama Badr, Ummu waraqah berkata kepada Nabi saw “Wahai Rasulullah, bolehkah saya berperang bersama anda? Saya nanti akan merawat dan mengobati orang-orang yang sakit dan tentara-tentara anda. Mudah-mudahan Allah swt menganugerahi saya pahala orang yang mati syahid” kemudian Nabi saw menjawab “kamu tidak perlu ikut berperang. Diamlah dirumah,  karena Allah swt akan menganugerahi kamu pahala orang yang mati syahid.”
Ummu Waraqah akhirnya memang akrab dipanggi syahidah yang berarti wanita yang mati syahid, atau mendapat pahala orang yang mati syahid. Nabi saw juga sering menjenguknya. Beliau juga berkata kepada para sahabat “Mari kita pergi ke rumah syahidah” Ummu Waraqh juga dapat membaca bahkan hafal al-Qur’an. Ia pernah minta izin kepada Nabi saw agar dirumahnya ada orang-orang yang selalu beradzan. Dia juga meminta izin kepada Nabi saw untuk mengimami shalat jamaah di rumahnya. Nabi saw pun mengizinkan.

Beberapa ulama’ yang menyatakan bahwa hadis Ummu Waraqah ini shahih. Alasannya ialah hadis ini ririwayatkan oleh Abu Dawud dan beliau tidak memberi komentar apapun terhadap hadis tersebut. Apabila beliau tidak memberikan komentar apa-apa terhadap hadis yang beliau riwayatkan dalam kitab sanahnya, meka hadis itu kualitasnya sahih. Dalam penelitian ali mustafa yaqub,[13] hadis itu memang diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya delapan ahli hadis dan sebelas sanad, sebelas sanad itu menyatu pada rawi yang bernama al-Walid bin Juma’i. Dan ternyata ada banyak rawi yang tidak kredibel, bahkan Abdurrahman bin Khallad adalah seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul al-hal). Sedangkan rawi yang bernama al-Walid bin Abdullah bin Jumai adalah seorang yang ‘adil (kredibel) tetapi kedhabitannya diragukan. Sedangkan dari segi matan, hadis ini mengandung keganjilan.[14]
Dalam Ilmu Hadis terdapat kaidah  bahwa apabila terdapat ta’dil (penilaian kredibel) dan jarh (penilaian tidak kredibel) padaseorang rawi, maka penilaian yang dikedepankan adalah penilaian tidak kredibel jarh secara mutlak. Dengan demikian, maka hadis ini termasuk hadis dinyatakan dhaif dan gugur, karenanya tidak dapat dipakai sebagai dalil.
Pada masa klasik ada wacana tentang imam perempuan.[15] Wacana ini timbul dari beberapa ulama’ seperti Imam Abu Tsaur, Imam al-Muzani, dan al-Tabari. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat, diantaranya
Pertama, pendapat-pendapat seperti ini sulit dilacak otoritasnya. Imam Abu Tsaur tidak meninggalkan kitab yang berisi pemikiran madzhabnya. Pendapat beliau hanya dapat dilihat dari kitab orang lain yang terkadang terdapat kesimpang siuran dalam penukilannya. Misalnya dalam kitabnya Ibnu Rusyd dan Ibnu Qudamah yang menukil pendapat Abu Tsaur yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat berjamaah dengan makmum laki-laki secara mutlak, dengan posisi imam dibelakang kaum laki-laki. Mutlak disini artinya dalam shalat wajib maupun shalat sunnah seperti tarawih.sedangkan yang digunakan dalil adalah hadis Ummu Waraqah diatas.
Sedangkan imam al-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Authar menukil bahwa al-Muzani,  Abu Tsaur, dan al-Tabari membolehkan wanita menjadi imam shalat berjamaah dengan makmum lelaki, hanya untuk shalat tarawih saja. Dengan syarat tidak ada makmum laki-laki yang hafal al-Qur’an. Kesimpangsiuran penukilan ini sulit ditemukan karena ulama’ yang berpendapat tidak menulisnya dalam kitab atau karya mereka, pendapat mereka dinukil dan dipaparkan dari kitab dan karya ulama’ lain
Kedua, pemikiran tentang imam perempuan hanya sebatas wacana dan tidak pernah dipraktekkan dalam perbuatan yang nyata. Sekiranya hal itu benar sebagai bagian dari ajaran Islam, tentunya sejak dahulu shalat dengan imam perempuan yang makmumnya laki-laki sudah dipraktekkan. Dengan tidak adanya catatan sejarah yang menyatakan bahwa perempuan pernah menjadi imam shalat jamaah dengan makmum laki-laki, hal itu menunjukkan bahwa imam perempuan untuk makmum laki-laki memang tidak ada dalam sejarah Islam. Yang ada hanyalah imam perempuan untuk mammum perempuan.
Acuan dalam beribadah adalah mengikuti contoh yang diberikan Nabi saw. Dalam kaidah ushuliyah disebutkan bahwa “Pada dasarnya, dalam ibadah kita mengikuti contoh dari Nabi saw.” Dengan demikian dalam beribadah tidak dibenarkan adanya inovasi, tidak ada demokrasi, dan tidak ada kesetaraan gender. Semuanya harus tunduk terhadap ketentuan dan bimbingan dari nash. Karena shalat adalah dalam wilayah ibadah yang tidak dapat berkembang, bukan wilayah mu’amalah yang dapat berkembang sesuai dengan perkembanngan zaman.
Ketidakbolehan wanita menjadi imam dengan makmum laki-laki ini dikuatkan oleh fatwa MUI no 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Shalat yang dalam keputusannya menetapkan yang isinya “Wanita menjadi imam shalat berjamaah yang diantara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.” Fatwa ini dikeluarkan tertanggal 28 Juli 2005 bertepatan dengan 21 Jumadil akhir 1426 H.
Dengan demikian dalam ibadah, wanita tidak dapat menjadi pemimpin / imam dalam shalat dimana ada laki-laki sebagai makmum. Wanita hanya dapat menjadi imam ketika makmumnya semuanya juga wanita. Atas dasar ini pula sampai hari ini tidak ada kepala diwilayah kementrian agama (baik Kandepag, Kakanwil maupun Menteri) yang perempuan, karena jabatan ini sering harus berfungsi memimpin upacara doa yang diikuti pula oleh laki-laki. Tetapi meskipun demikian, kita memiliki hakim wanita, bahkan sejarah telah mencatat adanya beberapa rektor wanita pada perguruan tinggi.
3.             KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH PUBLIK
Pada prinsipnya kepemimpinan menurut al-Qur’an adalah tugas harus dilaksanakan oleh orang yang ‘palang cocok’. Orang itu adalah orang yang paling cocok berdasarkan kualifikasi atau karakteristik yang dibutuhkan untuk menunaikan tugas itu, baik secara biologis, psikologis, pendidikan, keuangan, pengalaman, dan sebagainya.
Sistem patriarkal bangsa arab memberikan beberapa keunggulan bagi laki-laki. Sehingga dengan memiliki hak istimewa di depan publik, pengalaman, dan keunggulan lainnya, laki-laki menjadi yang paling cocok dan ahirnya menjadikan mereka yang paling sesuai untuk memegang kepemimpinan. Namun menurut al-Qur’an keunggulan ini tidak terbatas untuk laki-laki. Asalkan wanita mempunyai motivasi, dan peluang, serta kemampuan untuk menjadi yang paling ’cocok’, meraka pun pasti bisa. Bahkan dalam konteks negeri Arab yang patriarkal, al-Qur’an memberikan contoh seorang pemimpin wanita, yakni Bilqis.[16]
Setidaknya ada dua pendapat mengenai kepemimpinan wanita dalam Islam. Pendapat pertama mengatakan bahwa wanita dalam Islam tidak dapat menjadi pemimpin dalam kehidupan publik, sedangkan pendapat kedua menyatakan sebaliknya, bahwa sejalan dengan konsep kemitrasejajaran yang diajarkan Islam, maka wanita boleh menjadi pemimpin dalam masyarakat atau dalam kehidupan publik. Pendapat pertama bersifat konservatif, sedangkan pendapat yang kedua bersifat liberal.
Ada beberapa alasan bagi orang-orang yang berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam kehidupan masyarakat atau dalam ranah publik. Diantaranya
a.         Mereka menganalogikan dengan persoalan kepemimpinan wanita dalam beribadah, yakni shalat. Keabsahan mengaitkan kepemimpinan dalam masyarakat dengan kepemimpinan dalam shalat dapat dipahami apabila melihat bahwa kedudukan Abu Bakar sebagai pelanjut kepemimpinan Nabi saw sebagai khalifah pertama salah satunya adalah karena Abu bakarlah yang diminta oleh Nabi saw untuk menjadi imam shalat berjamaah di Madinah ketika Nabi sakit pada hari-hari terakhirnya.[17] Padahal shalat dan kehidupan publik di sini, adalah sesuatu yang konteksnya berbeda

b.        Penafsiran tentang awal penciptaan wanita. Dalam QS. An-Nisa’ [4]: 1[18] Allah berfirman
يَأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
 “Wahai manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Nafsin Wahidatin) dan dari padanya Allah menjadikan pasangannya (istrinya), dan dari keduanya kemudian Allah menjadikan  laki-laki dan perempuan yang banyak”

Kata kunci yang menjadi sumber perdebatan adalah “Nafsin Wahidatin” yang kemudian ditafsirkan bahwa wanita (Siti Hawa) terbuat dari tulang rusuk Adam. Penafsiran ini-lah yang kemudian mengantarkan kepada pemahaman bahwa sejak saat penciptaannya, wanita memang sudah inferior dari laki-laki. Kalau wanita itu inferior mana mungkin ia dapat menjadi pemimpin laki-laki yang lebih superior.
Penafsiran ini ternyata sangat lemah.[19] Sedikitnya ada dua alasan. Pertama, tidak ada satu kata pun dalam ayat al-Qur’an tersebut yang menunjukkan bahwa Siti Hawa terbuat dari bagian tubuh, yakni tulang rusuk Nabi Adam, karena baik Nabi Adam maupun Siti Hawa keduanya tidak disebut dalam ayat tersebut. Dengan demikian, kata Nafsin wahidin lebih tepat diartikan sebagai “spesies” yang sama. Artinya laki-laki dan perempuan diciptakan dari spesies yang sama, yakni sama-sama homo sapien.
Kedua, kata “Anfus” yang merupakan bentuk plural dari “Nufus” digunakan di banyak tempat di dalam al-Qur;an dan kesemuanya tidak harus berarti badan atau diri, sebagaimana berarti jenis, kaum atau bangsa. Dalam QS. Ar-Ruum: 21[20] Allah berfirman yang artinya “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri (anfusikum), supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya kamu cenderung dan tentram kepadanya”. Kemudian dalam QS. At-Taubah: 128[21] yang artinya “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, (anfusakum) berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu..” kemudian QS. Ali Imran: 164[22] yang artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri (anfusakum) yang membacaakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah...” Selanjutnya dalam QS. An-Nahl: 72[23] yang artinya “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri (anfusikum) dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizeki yang baik-baik..”
Dalam semua ayat di atas, Allah menggunakan kata “anfus” (bentuk plural dari nafsun) dalam arti jenis atau bangsa. Karena itu kata “nafsin” dalam QS. An-Nisa’: 1 tersebut tidak harus berarti “diri” atau “badan”. Dalam ayat ini arti yang lebih tepat adalah jenis atau bangsa. Dengan kata lain tidak ada dasar doktrinalnya jika dikatakan bahwa penciptaan wanita itu inferior laki-laki.

c.         Alasan lain adalah QS. An-Nisa’: 34[24] yang berbunyi
الرِّجَلُ قَوَّمُوْنَ عَلَى النٍّسَاءِ بِمَا فَضَّل اللهُ بَعْضَهَمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أمْوَالِهِم

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.”

Ayat ini dianggap paling ekspilit berbicara mengenai supremasi laki-laki bahwa hal itu adalah sebagai sesuatu yang given, sesuatu yang ascribed, sudah diberikan sejak lahir.
Al-Hibri mengatakan,bahwa jika dicermati dari segi Bahasa arab, maka akan nampak, bahwa, pertama, kata “Qowwamun” tidak harus berarti “pemimpin” tetapi arti lain seperti “pelindung” atau “penanggung jawab” dan kedua, bahwa “Qiwam” atau “Qowwamun” itu sebagian memang acquired (diperoleh). Kerena kepemimpinan atau tanggung jawab itu juga lahir sebagai akibat pria membelanjakan harta bendanya untuk perempuan. Hal yang harus diingat adalah peranan menafkahkan harta itu secara acquired bukan ascribed. walaupun laki-laki kalau tidak memiliki harta maka ia tidak dapat berperan sebagai pemimpin, demikian sebaliknya.
Ini artinya bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dilatih dan diupayakan, bukan sesuatu yang sudah melekat sejak lahir. Ini berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak kepemimpinan dalam kehidupan. Tergantung siapa yang berhasil memperoleh kualitas itu.

d.        Alasan lain adalah QS. An-Nisa’: 11[25] tentang bagian wanita dalam warisan. Yang artinya
 “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian) pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dua untuk dua orang Ibu bapak, bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, dan ia diwarisi oleh ibu-baaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian) tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak akan mengetahui siapa diantara meraka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”

Dari ayat ini maka sebagian kalangan menganggap perempuan tidak layak memimpin seorang laki-laki yang memiliki hak warisan lebih banyak. Namun tidak selamanya mufassir menafsirkan bahwa laki-laki memiliki lebih banyak bagian dari pada perempuan. Namun karena ayat ini tidak mengandung unsur kepemimpinan maka tidak dibahas lebih lanjut.

e.    Alasan lain adalah QS. Al-Baqarah: 282[26] tentang kedudukan wanita dalam persaksian yang artinya
 “... Dan pastikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang engkau ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”

Dari ayat ini maka sebagian kalangan menganggap perempuan tidak layak memimpin seorang laki-laki, karena satu orang laki-laki kualitasnya sama dengan dua orang perempuan. Artinya derajat laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Namun tidak selamanya mufassir menafsirkan demikian. Terlebih saat ini ilmu dan keahlian lebih diprioritaskan dalam hal apapun, tidak perduli apakah ia laki-laki atau perempuan. Dan derajat tidak dilihat dari jenis kelaminnya. Namun karena ayat ini tidak mengandung unsur kepemimpinan maka tidak dibahas lebih lanjut lagi

f.     Alasan dari sisi hadits. Bahwa Nabi saw perbah bersabda
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ ولَوْ أَمَرَهُمْ امْرَأَةً
 “Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”

Selain itu terdapat hadis misogyny serupa yang redaksinya berbeda, misalnya hadis dari Abu Bakar yang artinya: “Mereka yang mempercayakan urusannya kepada seorang wanita tidak akan pernah merasakan kamakmuran”. Hadis ini dimasukkan kedalam kitab Jami’ as-shahih, sehingga hadis tersebut secara apriori dipandang benar dan asli. Oleh sebab itu tidak dapat dibantah tanpa pembuktian yang valid.[27] Dalam kehidupan nyata masyarakat Islam umumnya berpegang pada pendapat dari hadis yang sangat populer ini untuk mencegah adanya pemimpin wanita.
Namun Quraish Syihab, menyatakan bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Buktinya hadis ini merupakan respon Nabi terhadap masyarakat Persia, bukan keepada masyarakat secara keseluruhan dan dalam semua aspek. Lebih lanjut beliau juga menyimpulkan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama yang membatasi kepemimpinan. Banyak ayat yang membolehkan keterlibatan baik dalam bidang politik maupun yang lain.
Selain itu dalam referensi lain disebutkan bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau menyabdakan itu. Dengan demikian hadis di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan suatu ketentuan yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentun agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki.
Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah ayat 71[28] yang artinya
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,sebagian mereka adalah auliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha bijaksana."

Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan. Pengertian kata auliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) agar bermusyawarah.
QS. Al-Syura [42]: 38 yang menyatakan "Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah,” ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik termasuk untuk menjadi pemimpin adalah hak bagi setiap lelaki dan perempuan. Yakni hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan tanpa kecuali terlibat
dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah: 12.
Sementara pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan sebagai bukti kebebasan untuk menentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Saw sendiri, yakni Aisyah r.a, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Hal ini menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi. Dalam beberapa kitab hukum Islam, ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain.
Atas dasar kaidah di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang. Wanita adalah syaqaiq Ar-Rijal (saudara sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Allah kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan daripada yang lain.
Dari dirkursus diatas, terdapat perbedaan interprestasi antara sebagian ummat Islam (kelompok Islam tradisional) dan sebagian yang lain  (kelompok Islam modern) dalam melihat soal kepemimpinan wanita dalam Islam.[29] Bagi kelompok Islam tradisional kepemimpinan tersebut berada di tangan laki-laki dengan asuimsi bahwa Allah telah melebihkan laki-laki dan wanita secara fisik maupun mental yang merupakan prasyarat mutlak bagi kepemimpinan yang baik. Pembebanan kewajiban nafkah kepada laki-laki menambah kesan yang kuat bahwa Allah mempercayakan laki-laki sebagai pemimpin.
Sebaliknya, bagi kelompok Islam modern, ajaran Islam diklasifikasikan dalam dua bagan besar, yakni ajaran dasar dan ajaran bukan dasar (sesuatu yang mutlak dari Allah, dan sesuatu yang manusia dapat berijtihat sesuai dengan perkembangan zaman). Masalah kepemimpinan dimasukkan kedalam bagian ajaran bukan dasar, yang bersifat  interpretatif dan karenanya sangat mungkin berubaah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan manusia.
Kepemimpinan dalam Islam, bukan sesuatu yang given namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Ayat-ayat al-Qur’an tentang kepemimpinan merupakan ayat yang bersifat kondisional. Dan merupakan cerminan dari masyarkat Arab ketika ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat-ayat itu tidak merupakan ayat yang mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di berbagai tempat dipelosok dunia. Jadi dalam soal ajaran yang bukan dasar dan  merupakan mu’amalah seperti kepemimpinan ini, Islam tidak memberikan aturan yang ketat dan kaku, namun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat.

E.            PENUNUTUP
1.             SIMPULAN
a.    Laki-laki dan perempuan merupakan pelaku yang akan diminta untuk mentaati hukum dan mempertanggung-jawabkannya dihari kemudian. Kewajiban, kedudukan, serta hak antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin
b.    Dalam ranah rumah tangga, perempuan yang bersuami secara otomatis tidak  menjadi kepala rumah tangga. Meskipun wanita lebih unggul dari segi apapun dari pada suaminya.
c.    Dalam hal shalat berjamaah, tidak dibenarkan adanya inovasi, tidak ada demokrasi, dan tidak ada kesetaraan gender. Untuk itu wanita tidak dapat menjadi imam yang didalamnya terdapat makmum lakki-laki.
d.   Dalam ranah publik, kepemimpinan bukan sesuatu yang given namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
2.             SARAN
Kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dilatih dan diupayakan, bukan sesuatu yang sudah melekat sejak lahir. Ini berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak kepemimpinan dalam kehidupan. Tergantung siapa yang berhasil memperoleh kualitas itu.
Sejalan dengan konsep kemitrasejajaran yang diajarkan Islam, maka wanita boleh menjadi pemimpin. Oleh karenanya untuk masa yang akan datang mestinya tidak ada lagi hambatan buat para wanita muslim untuk menjadi pemimpin masyarakatnya jika mereka memiliki kemampuan/ keahlian dan memenuhi persyaratan yang diperluhkan.


[1] Muh. Halimi, Kepemimpinan wanita dalam Perspektif Agama, dalam internet dengan alamat http://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/05/14/kepemimpinan-wanita-dalam-perspektif-agama/ diakses tanggal 3 Februari 2011

[2] Kepemimpinan Perempuan Dalam pandangan Islam, Dalam internet dengan alamat http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam diakses tanggal 3 Februari 2011
[3]  Ibid
[4]  Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318
[5]  Asmar Riyadi, Persyaratan menjadi pemimpin, dalam internet alamat http://referensi-kepemimpinan.blogspot.com/2009/03/persyaratan-seorang-pemimpin.html

[7]  Ibnu Baththal, Fathul Barri, t.th, 10/493
[8]  Ibid 5/86
[9] Hak-hak dalam Bidang Politik,  dalam internet alamat http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25804
[10]  Hamim Ilyas, “Islam dan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan” dalam Potret Perempuan, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001, h 156
[11] Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawaid Ibnu Majah ‘Ala Khamsah, Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1993, h 167
[12] Ismail al-anshari, Otoritas hadis shalat tarawih 20 rakaat, sanggahan terhadap al-Bani, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, h 28
[13]  Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2007, h 36
[14]  Dalam riwayat ibnu Juraid disebutkan bahwa nabi saw selalu mengunjungi Ummu Waraqah setiap hari jum’at. Lalu apakah mungkin Nabi yang sangat sibuk memiliki waktu untuk mengunjungi orang yang sama setiap hari jum’at
[15] Ali mustafa Yaqub, Imam .... op.cit, h 57
[16]  Amina Wadud, Qur’an menurut Perempuan, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001, 156
[17]  Atho Mudzhar, “Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Agama dan Sejarah” dalam Potret Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001,  h 22.
[18] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Wakaf dari pelayan dua tabah suci raja Fahd bin Abdul Aziz al-Su’ud,  h. 114
[19]  Atho Mudzhar, Kepemimpinan.. Op. Cit. h 23
[20]  Al Qur’an ........ Loc.Cit, h. 644
[21]  Ibid,  h. 303
[22]  Ibid, h. 104
[23] Ibid, h. 412
[24] Ibid, h. 123
[25]  Ibid, h 116
[26]  Ibid, h. 70
[27]  Fatima Mernisi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik,  Surabaya: Dunia Ilmu offset, 1997, h 54.
Terhadap hadis ini Fatima Mernisi telah melakukan penelitian tentang siapa yang mengutarakan, dimana, kapan, mengapa, dan kepada siapa. Kesimpulannya hadis ini tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mencegah seorang wanita menjadi pemimpin di ranah publik.
[28] Ibid, hlm. 291
[29]  Faisal Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, h 111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar