A.
PENDAHULUAN
Islam
mengakui bahwa baik matahari maupun bulan bisa dijadikan alat penentu waktu.
Tetapi dalam praktek ibadah, islam menggunakan kalender bulan qamariyah yang
ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit purnama) sesaat setelah
matahari terbenam. Alasan dipilihnya kalender qamariyyah nampaknya karena alasan
kemudahan dalam dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali
tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dengan kalender
syamsiyah yang menekankan pada keajegan
(konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan
hariannya.
Dalam
perkembangan saat ini, dari segi teknis ilmiyah, penentuan awal bulan dapat
dikatakan mudah, karena merupakan bagian dari ilmu eksata. Tetapi dalam
penetapannya susah, karena menyangkut factor non eksata, seperti peerbedaan
madzhab hukum (eg. Wujud al-hilal,
ru’yah, dan madzhab lain), perbedaan mathla’
(daerah berlakunya kesaksian hilal) dan kepercayaan kepada pemimpin ummat yang
tidak tunggal.
B.
HISAB-RUKYAH
1.
Pengertian
Hisab.
Hisab secara harfiyah bermakana perhitungan. Di
dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk
memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Ilmu hisab (falak) [1]
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit seperti
matahari, bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya, dengan tujuan untuk
mengetahui posisi dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari
benda-benda langit yang lain.
B.
Pengertian
Rukyah
Sedangkan rukyah[2]
secara harfiah berarti melihat. Arti yang paling umum adalah melihat dengan
mata kepala. Yang dimaksud di sini adalah ru’yah al-hilal, yakni melihat
atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan
qomariyyah dengan mata atau teleskop. Dalam astronomi dikenal dengan observasi.
Dengan demikian, rukyah adalah aktivitas
mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit untuk pertama
kalinya setelah ijtima’ (konjungsi), yaitu saat matahari, bulan, dan
bumi berada dalam posisi sebidang.
Aktivitas rukyah dilaksanakan pada saat menjelang
terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtima’[3]
atau tanggal 29 pada bulan-bulan qomariyah. Jika hilal berhasil di
ru’yah (dilihat), maka pada petang maghrib waktu setempat telah memasuki
tanggal satu atau bulan baru, namun jika tidak terlihat, maka malam itu dan
keesokan harinya masih merupakan bagian dari penanggalan bulan yang sedang
berlangsung, atau bulan itu genap berjumlah 30 hari.
3.
Pengertian
Hilal.
Karena peredarannya mengelilingi
bumi, ada kalanya bulan berada di antara bumi dan matahari. Saat itu terjadi,
kita di bumi melihat bulan tak bercahaya yang disebut dengan bulan mati atau
bulan baru.
Tak
lama setelah terjadi bulan baru, bulan bergeser dari posisinya. Jika dilihat
dari bumi, bulan mulai tampak sebagai sabit tipis. Hilal adalah bulan sabit
paling tipis yang bisa dilihat mata setelah bulan baru.
Hilal adalah bulan. Namun yang
dimaksud hilal di sini adalah bulan sabit pertama yang bisa diamanati. Dalam
bahasa Inggris disebut cresent, yaitu
bulan sabit yang tampak pada beberapa saat setelah ijtima’.
Ada tingkat-tingkatan penamaan
orang Arab untuk bulan, yaitu:
a.
Hilal,
sebutan bulan yang nampak seperti sabit, antara tanggal sampai menjelang
terjadinya rupa semu bulan pada terbit awwal.
b.
Badr,
sebutan
pada bulan purnama.
c.
Qamr,
sebutan bagi bulan pada setiap keadaan.
Perubahan yang jelas dari hari ke-hari
menjadikan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. bukan hanya ummat
Islam yang menggunakan bulan sebagai penentu waktu kegiatan keagamaan, ummat
Hindu menggunakan bulan mati sebagai penentu hari Nyepi. Ummat Budha
menggunakan bulan purnama sebagai penentu waktu waisak, umat kristiani menggunakan
purnama pertama setelah vernal equinox
(21 Maret) sebagai penentu paskah.
Islam mengakui matahari dan bulan
sabagai penentu waktu, karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur
dan dapat dihitung. Matahari digunakan penentu pergantian tahun yang
berhubungan dengan misim. Sedangkan untuk keperluan ibadah menggunakan kalender
bulan (qamariyyah).
Pergantian hari pada kalender bulan
mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada saat
maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat maghrib menunjukkan
tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilal). Dan bulan purnama menunjukkan
tanggal 14 atau 15 (tergantung
pengamatan hilal). Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit
sampai kembali ke sabit lagi. Sehingga Rasulullah member petunjuk praktis
tentang penggunaan hilal sebagai penentu waktu melalui sabdanya: “berpuasalah bila melihatnya dan beridul
fitrilah bila melihatnya”.
4.
Hisab
dan Rukyah
Hisab dan rukyah pada dasarnya adalah dua sistem
perhitungan dalam Islam untuk menetapkan berbagai momentum. Keduanya berjalan
bersama, hampir tidak dapat dipisahkan, karena keduanya bersifat saling
membantu, saling melengkapi, saling menutupi kekurangan satu sama lain,
sehingga keduanya sama-sama dapat digunakan untuk penentuan awal bulan karena
hisab dan rukyah dapat saling membantu (simbiosis mutualis). Umat Islam
menggunakan hisab untuk menghitung kapan terjadinya konjungsi dan kapan hilal
dapat dilihat, kemudian mereka melakukan rukyah untuk melihat bulan dan
membuktikan, atau sebagai koreksi apakah saat itu hilal telah benar-benar
nampak, untuk kemudian dapat disimpulkan kapan dimualainya bulan baru.
Hisab dan rukyah terkesan terjadi perbedaan
dikarenakan perbedaan sistem perhitungan hisab dan atau perbedaan kriteria
visibilitas hilal dapat terlihat. Hal ini mengesankan praktik keduanya
terkadang tidak sejalan atau tidak bertepatan satu sama lain dalam persoalan
penentuan awal bulan yang menyangkut ibadah.
5.
Ijtihadiyyah
Hisab-Rukyat dalam Penetapan Awal Bulan.
Dalam terminology hukum islam, ijtihat adalah usaha
sungguh-sungguh para ulama’ dalam menggunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu
yang belum ditetapkan secara qath’I (pasti) dalam al-qur’an dan as-sunnah.
Hisab, kesaksian melihat hilal (rukyah al-hilal) dan ahirnya keputusan penetapan awal ramadhan dan
hari raya oleh pemimpin ummat, semuanya adalah bentuk dari ijtihat. Keberaran
hasil ijtihad relative, kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang
yang berijtihat dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu
keputusan ijtihat itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bulti empimerik yang
diperolehnya.
Kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata
manusia bisa salah lihat. Bisa jadi obyek yang dikira hilal sebenarnya obyek
lain (eg. Venus). Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus
disukung pengetahuan dan poengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat
redup dan sulit mengidentifikasikannya, karena bisa jadi hanya tampak seperti
garis tipis. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain tentang
kesaksian hilal adalah sumpah yang dipertanggung jawabkan kepada Allah. Jaminan
kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan kepada pengamat yang kadang-kadang
tidak bisa diulangi oleh orang lain.
Hisab-pun hasil ijtihat yang didukung bukti-bukti
pengamatan yang sangat banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab
dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran
bulan dan matahari. Makin lama, hasil perhitungannya semakin akurat dengan
memasukkan makin banyak factor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung
bukti-bukti kuat tentang ketepatannya.
Keputusan penetapan awal bulan (eg. Ramadhan) pun
merupakan hasil ijtihad. Berdasarkan kesaksian rukyah al hilal atau
hisab yang dianggap sah, pemimpin ummat (pemerintah, ketua organisasi islam,
atau imam masjid) kemudian menetapkannya. Karena pemimpin ummat di dunia ini
tidak tunggal, keputusannya pun bisa beragam.
6.
Akar
Perbedaan.
Sifat ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan
terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan
salah. Bulan dan matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu.
Hukum alam yang mengatur gerakannya pun satu, sunatullah. Tetapi interprestasi
orang atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan
pengamatan juga tidak mungkin disamakan.
Semula para ulama’ mempertentangkan hisab dengan
rukyat saja. Kini hisab pun dipertentangkan dengan hisab. Di Indonesia saat
ini, setidaknya ada dua kreteria hisab yang dianut, yaitu yang berdasarkan
kreteria wujudul hilal, asalkan bulan
telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru,
criteria ini digunakan oleh Muhammadiyyah. Criteria lainnya adalah imkanur ru’yah, berdasarkan perkiraan
mungkin tidaknya hilal dirukyat, criteria ini digunakan oleh kemenag RI.
Dengan demikian penyebab utama perbedaan dalam
penetapan awal bulan adalah adanya perbedaan kriteria tentang hilal dapat di
rukyah. Yakni 2º, 6º, 8º bahkan 12º atau lebih. Ormas NU maupun ormas yang
beraliran madzhab rukyah sebenarnya memiliki kriteria di atas 4º, dan
Muhammadiyah yang lebih dikenal dengan aliran hisab saat ini lebih cenderung
menggunakan wujudul hilal. Sistem wujudul hilal ini menjadikan kriteria itu
bisa jadi kurang dari 2º, padahal kriteria kurang dari 2º menyebabkan hilal
tidak dapat dirukyah meskipun dengan menggunakan alat bantu optik sekalipun.
Praktis hal ini membuat aliran ini tidak dapat bertemu paham dengan aliran
rukyah yang mensyaratkan masuknya bulan adalah hilal dapat dirukyah.
Sebenarnya
selama ini pemerintah RI cq Kementrian Agama telah berusaha untuk menyatukan
perbedaan penetapan awal bulan dengan mengakomodir semua prinsip yang ada,
diantaranya dengan selalu mengajak ormas-ormas, para ahli hisab, astronomi,
dari berbagai lembaga dan instansi untuk memusyawarahkan adanya kesatuan
penentuan awal bulan khususnya ramadhan, syawwal, dan dzulhijjah dengan
mengajak sidak isbat bersama dalam menetapkan awal bulan. Upaya
penyatuan pemerintah dengan prinsip Imkanurrukyah dengan format hak isbat hanya
ada pada pemerintah merupakan upaya yang akomodatif.
Diharapkan kaidah yang menyatakan Hukmul
hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf (keputusan hakim atau pemerintah itu
mengikat dan menyelesaikan pendapat) dapat benar-benar terealisasi. Semoga!!!
C.
RU’YAH
19 JULI 2012
1.
DATA
SEPUTAR HILAL BULAN SYA’BAN 1433 H
Gambar di
atas merupakan Hilal Sya'ban 1433 H diamati di Pantai Pondok Bali, Subang, Jawa
Barat tanggal 20 Juni 2012 jam 18.05.58 wib. Usia bulan 19 jam 21 menit
(dihitung sejak bulan baru) dengan ketinggian bulan 9,5o dari
matahari dan fase kecerlangan 0,7%. Foto oleh Dr. Dhani Herdiwijaya dengan
alat bantu teleskop berdiameter 8 cm (f/6.8), telextender 2x, kamera Nikon
D90. Waktu bukaan 3 detik dan ISO-400, 300dpi.
2.
LETAK
GEOGRAFIS WONOCOLO.
Wonocolo
terdapat pada kecamatan kedewan Bojonegoro. Yang mana kecamatan Kedewan
merupakan pemekaran wilayah kecamatan Kasiman pada tahun 2000, kecamatan ini
memiliki 5 kecamatan yaitu:
1.
Desa Kawengan
2.
Desa Wonocolo
3.
Desa Hargomulyo
4.
Desa Kedewan
5.
Desa Beji
Kecamatan
kedewan merupakan salah satu wilayah Kabupaten Bojonegoro yang terletak di
bagian paling barat dan paling utara, dan merupakan daerah perbatasan dengan
propinsi jawa tengah.
kecamatan kedewan dibatasi oleh :
Bagian
Utara : Kabupaten Tuban (Kecamatan senori dan Kec. jatirogo)
Bagian
Barat : Kabupaten Blora (Kecamatan Jiken dan Cepu)
Bagian
Selatan : Kecamatan Kasiman
Bagian
Timur : Kabupaten Tuban
Dengan demikian, data astronomis yang diperoleh adalah:
Lintang : 7° 10′
Bujur : 111° 53′
Kiblat : 294° 12′
3.
DATA
HILAL PADA 19 JULI 2012.
a.
Data
dari Observatorium Bosscha Lembang-Bandung
Bulan baru terjadi pada tanggal 19 Juli 2012 jam 11.24 WIB.
Sehingga pengamatan hilal akan dilakukan pada tanggal 19 dan 20 Juli 2012 jam
16.00 waktu setempat hingga bulan terbenam.
Adapun data hilal pada tanggal 19
Juli 2012, ketinggian bulan kurang dari 2 derajat di atas cakrawala pada saat
matahari terbenam. Bulan akan terbenam 8 menit setelah matahari terbenam.
Probabilitas melihat hilal pada saat itu diperkirakan sangat kecil baik dengan
mata telanjang maupun dengan bantuan peralatan. Sedangkan di tanggal 20
Juli 2012, peluang melihat hilal lebih besar.
Data astronomis untuk pengamat hilal
di Observatorium Bosscha (6o 49’ 30” LS & 107o 36’
59” BT) adalah sebagai berikut:
|
Posisi bulan (toposentris) saat matahari terbenam tanggal 19
Juli 2012 (atas)
dan tanggal 20 Juli 2012 (bawah)
dan tanggal 20 Juli 2012 (bawah)
b.
Data dari RHI untuk Wilayah
Yogyakarta
-
Ijtima’ ahir bulan Sya’ban 1433H terjadi pada Kamis, 19 Juli
2012 jam 11.26.
-
Matahari terbenam pukul 17.36 WIB.
-
Azimuth 290° 48′ atau 20° 8′ di utara titik barat.
-
Tinggi hilal
saat matahari terbenam 1°40′ atau 1° 7′ di atas ufuk mar’I di atas
matahari.
-
Bulan terbenam
pada jam 17.45 WIB pada azimuth 285°6′
c.
Data dari Mawaqiit untuk Wilayah
Bojonegoro.
Matahari terbenam :
17j 31m 23d
Azimuth :
290° 47′ 21,5″
Bulan terbenam :
17j 39m 06d
Azimuth :
286° 5′ 15,3″
Saat Matahari Terbenam
-
Umur bulan :
6, 12 jam
-
Fase Pencerahan :
0,21%
-
Tinggi dari Horizon :
1° 18′ 16,4″
-
Azimuth :
286° 20′ 45,3″
-
Bright Limb :
336° 40′ 25,8″
-
Elongasi :
5° 11′ 30,8″
d.
Data dari Walhisab untuk Wilayah
Bojonegoro.
Matahari terbenam :
17j 31m 30d
Azimuth :
290° 47′ 08″
Bulan terbenam :
17j 39m 04d
Azimuth :
286° 5′ 17″
Saat Matahari Terbenam
-
Umur bulan :
6, jam 07 menit 28 detik
-
Tinggi dari Horizon :
1° 52′ 24″
-
Azimuth bulan :
286° 30′ 32″
-
Kecemerlangan
(iluminasi) : 0,21%
-
Elongasi :
5° 12′ 16″
-
Beda azimuth matahari & bulan saat tenggelam : -4° 26′ 36″
-
Beda waktu bulan tenggelam & matahari terbenam : 00.07.34
D.
PROYEKSI
RAMADHAN 1433 H
Awal
Ramadhan 1433 H sangat besar kemungkinannya untuk berbeda. Karena hilal pada
saat matahari terbenam masih dibawah 2 derajat. Sehingga mustahil untuk dapat
dirukyah. Untuk itu bagi aliran madzhab imkanur
rukyah tanggal 20 Juli 2012 masih tanggal 30 sya’ban. Sedangkan bagi madzhab wujudul hilal, menyatakan bahwa tanggal 20 Juli 2012 merupakan
tanggal 1 Ramadhan, karena maulidul hilal
atau new moon terjadi pada 19
Juli 2012 sekitar pukul 11.24 WIB sehingga pada saat maghrib tanggal 19 Juli
2012 bulan telah wujud.
Sedangkan
untuk syawwal 1433 H kemungkinan akan beridul fitri bersana-sama. Karena ketika
maghrib tanggal 18 Agustus ketinggian hilal sekitar 6° 40′ 11,4″ sehingga Idul
fitri diperkirakan jatuh pada 19 Agustus 2012.
E.
KESIMPULAN
Pada kondisi
seperti ini, secara astronomis Hilal mustahil bisa diru'yah, baik menggunakan
mata telanjang maupun teleskop. Namun, kegiatan ru'yah mesti tetap
dilaksanakan, karena perintah ru'yah memang harus dilakukan setiap tanggal 29
bulan berjalan dan kegiatan tersebut sebagai pembuktian di lapangan atas
tampak/tidak tampaknya Hilal dan sekaligus sebagai pengembangan sains.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar