Sabtu, 28 Juli 2012

Menulis lebih Mudah dari pada Merasakan


Pasca lulus dari bangku kuliah, ada beberapa keinginan (jangka pendek/program setengah tahun) terkait dengan perjalanan dan keluarga. Pertama, saya ingin jalan berdua bersama suami saja. Kedua, saya ingin jalan bertiga bersama suami dan anak kami. Ketiga, saya ingin jalan2 bersama keluarga besar ibu kandung saya dari Pasuruan.  Keempat, saya ingin jalan2 bersama keluarga besar ibu yang membesarkan saya dari Sidoarjo. Dan kelima, saya ingin jalan2 bareng bersama keluarga besar dari Abah, keluarga Cepu. Alhamdulillah, kesemuanya terlaksana dengana baik.

Perjalanan berdua bersama kak Halim saja, adalah ketika ke Jogja selama 3 hari, serasa berbulan madu saja (hehe), perjalanan bersama Aida dan kak Halim terjadi ketika ke Surabaya dan Madura. Perjalanan bersama keluarga ibu, keduanya ke Jakarta, dan perjalanan bersama keluarga Abah adalah ketika ke Kudus - Moga – Pemalang - Jogja.
Semuanya mengesankan, semuanya bersejarah. Namun perjalanan ke Jakarta, keduanya mampir pada masjid Brebes. Yang membuatku tertarik adalah mengenai keindahan dan arah kiblat-nya.  Meskipun saya tidak tahu bagamana umara’ di sana, namun kesan pertama saya langsung memuji Bupati dan perangkatnya yang ‘berani’ membenahi ‘rumah Allah’ sedemikian indah, lengkap dengan arah kiblat-nya beserta dalilnya, --sayangnya terjemahan ayat Allah kok ditaruh di lantai ya..--. (wajar saya tertarik, karena tesis saya membahas tentang kiblat, dan itu masih hangat di pikiran saya. Apalagi ketika ke Jakarta yang ke dua, juga dalam rangka untuk mengusahakan study lanjut).
Selain itu, saya memiliki cerita dan catatan ketika berada di masjid dan lesehan yang berada di depannya:
Perjalanan pertama, adalah cerita kekaguman tentang teh poci, sampai-sampai kami meminta cangkir dan tekonya pedagang itu untuk dibawa pulang.. untung boleh, walaupun agak geli karena merasa perbuatan kami adalah konyol. Hehehe.. selain itu kekaguman tentang tahu mentah yang digoreng pake tepung seperti tempe mendoan,.. wow, tapi rasanya enak lho.. saat ini aku ingin mengicipinya kembali..
Perjalanan kedua, adalah catatan. Kebetulan ketika saya keluar dari masjid, di salah satu penjual lesehan sedang memutar lagu, begini syiirnya “Ku tak bisa menggapaimu, tak kan pernah bisa.. walau sudah letih aku, tak mungkin lepas lagi.. kau hanya mimpi bagiku.. dan tak untuk jadi nyata..  dan s’gala rasa buatmu harus padam dan berahir,,”
Tiba-tiba aku menulis begini “Ugh.. padahal aku kurang suka dengan lirik lagu itu, karena menggambarkan punguk yang mengharapkan rembulan. Karena menggambarkan sikap pesimisme seseorang dalam menghadapi sesuatu. Padahal manusia itu meskipun kata-kata yang terucap dari bibirnya terucapkan kerendahan dirinya, tetapi hatinya harus selalu optimis. Ucapan merendah yang keluar dari bibir adalah untuk menghindari sifat sombong, sedangkan optimisme harus selalu ditanamkan dalam hati untuk menggapai kehidupan yang lebih baik dan semakin baik dengan segala kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Bagaimanapun maju itu ke depaan, bukan ke belakang. So, hindari sesuatu yang membuat hati kita pesimis. Karena dari hati semua berawal, kemudian otak (dibantu) tubuh yang menjalankan
Lirik berikut ini mungkin akan lebih baik.. “Ternyata tanpamu langit tetap biru, ternyata tanpamu bunga-pun tak layu, ternyata dunia tak berhenti berputar walau kau bukan miliku..”
Ah,.. lirik, lagu, dan kata-kata itu saat ini seolah ‘harus’ kuhadapi. Ternyata (benar apa yang pernah dikatakan pembimbing tesis-ku dulu), ‘Menulis’ jauh lebih mudah dari pada ‘merasakan’.. Tetapi apapun itu, semoga aku dapat menghapi semuanya dengan bijaksana. Amiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar