A. Latar Belakang Masalah
Ada banyak persoalan atau masalah tentang wanita, baik persoalan yang juga
biasa dihadapi oleh laki-laki, persoalan persamaan hak atau gender, maupun
persoalan yang hanya dihadapi atau dimiliki oleh kaum hawa seperti hamil, dan
permasalahan tentang darah wanita seperti haid, nifas dan istihadhah, serta
persoalan yang menyangkut organ reproduksi lainnya.
Masalah haid misalnya, merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi kaum
wanita, karena hal tersebut termasuk ajaran yang sangat penting dalam agama
Islam karena menyangkut kesucian jiwa dan jasmani serta menyangkut masalah sah
atau tidaknya ibadah kaum wanita.
Tema haid menjadi tema penting yang menjadi kajian dalam ilmu fiqih, karena
haid seringkali bersentuhan dengan rutinitas ibadah yang notabenenya
harus suci dari hadas dan najis. Kurang tepat ungkapan yang menyatakan setiap
darah adalah haid, dan setiap putus darah adalah suci. Karena sebagaimana
dikaji dalam kitab fiqih bahwa tidak semua darah dapat dihukumi haid atau nifas,
dan tidak setiap putus darah dihukumi suci yang hakiki.
Haid yang merupakan persoalan abadi bagi kaum wanita, adalah peristiwa
rutin nan lumrah yang dialami oleh wanita dan memiliki akibat hukum serta
memiliki konsekuensi boleh-tidaknya wanita tersebut melakukan ‘sesuatu’, karena
sangat terkait dengan ibadah-ibadah fard ‘ayn (mahdah), misalnya salat
dan puasa, maupun ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah, seperti membaca
Al-Qur’an, serta menjadi patokan selesainya iddah bagi seorang wanita.
Karena menyangkut sah dan tidaknya ibadah seorang wanita, maka
mempelajarinya merupakan suatu kewajiban mutlak. Ironisnya, sebagai peristiwa
rutin, persoalan ini jarang diperhatikan dan seringkali diremehkan atau
diabaikan oleh banyak kalangan, terkadang oleh kaum wanita itu sendiri. Padahal
ketidaktahuan terhadap persoalan ini bisa mengakibatkan rusaknya ibadah, dengan
tidak mengetahui kapan saatnya harus bersuci, apakah yang terjadi itu adalah
haid atau istihadhah, bagaimana cara menghitung atau mengqadha’ puasa yang
ditinggalkannya, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang terkait
dengan masalah ini.
Permasalahan ini sebenarnya termasuk rangking atas tingkat kerumitan dan
kesulitannya, mengingat begitu beragamnya peristiwa yang terkait dengannya,
terutama pada masa ahir-ahir ini banyak sekali wanita yang haidnya tidak
teratur (tidak normal).
Permasalahan haid sebenarnya telah banyak dibicarakan oleh para ulama’,
terutama ulama’ pada masa fuqaha’ dahulu. Bahkan seluruh madzhab-pun telah
meneliti permasalahan haid tersebut secara tepat, teliti dan akurat serta tidak
diragukan lagi kredibilasnya yang kemudian mengeluarkan pendapat hukumnya
mengenai persoalan tersebut.
Persoalan haid menjadi lebih rumit karena sebagian wanita terutama wanita masa kini lebih banyak
yang mengalami haid
yang kurang normal (tidak teratur), baik dari segi siklus, maupun lama haid dan
jarak suci. Hal tersebut konon disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya dari
segi makanan, obat, alat kontrasepsi, bahkan kesehatan dan masalah atau
psikologis perempuan. Yang mana hal-hal tersebut pada masa fuqaha’ tidak banyak
terjadi, sehingga mengesankan problematika haid-nya wanita masa kini lebih
banyak dari pada haid-nya wanita pada masa fuqaha’ (dahulu).
Pada dasarnya lama haid, siklus haid yang masih dalam batas wajar ataupun
wanita yang tidak haid sama sekali, sebenarnya tidak terlalu menjadi persoalan.
namun bagi yang siklusnya kacau, akan menjadi masalah tersendiri karena
kerumitan dan kesulitan (dalam menghitung kapan yang dikatakan suci, kapan
istihadhah, dan kapan suci lagi) akan muncul.
Fenomena tentang banyaknya ketimpangan yang menyelimuti terhadap masalah
darah wanita terutama haid beserta hukumnya secara utuh tersebut, membuat
penulis tertarik untuk meneliti permasalahan haid, termasuk landasan atau kitab
yang menjadi pedoman baik dari Al-Qur’an, Sunnah, hasil ijtihat dan istiqra’
para ulama’, maupun sumber dari ilmu kedokteran modern dan
dengan melihat kondisi nyata mengenai haid-nya wanita. Dengan tujuan agar dapat
dipelajari dan diamalkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas keabsahan seorang wanita dalam beribadah kepada Allah.
B. Definisi Haid.
Haid secara lughat (bahasa) berasal dari bahasa arab, yakni mengalir.
Sedangkan haid menurut terminology syar`i adalah darah yang keluar dari pangkal
rahim wanita yang sudah mencapai usia 9 tahun hijriah kurang sedikit pada
waktu-waktu tertentu, dan keluarnya secara alami sebagai tabiat wanita, bukan
karena sakit dan bukan karena setelah melahirkan.[1]
Menurut ahli fiqih,[2] haid berarti darah yang keluar pada diri
seorang wanita pada hari-hari tertentu. Haid ini mempunyai dampak yang
membolehkan/meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya iddah bagi
wanita yang dicerai. Biasanya darahnya berwarna hitam atau merah kental (tua)
dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tetapi kadang-kadang ia keluar tidak
seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haid sesuai dengan
makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.
Haid yang juga
biasa disebut menstruasi atau datang bulan, merupakan perubahan fisiologis
dalam tubuh yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi.
Periode ini penting dalam hal reproduksi, sehingga haid biasanya terjadi setiap
bulan antara usia remaja hingga menopause.
Usia minimal seorang wanita dikatakan haid adalah ketika usia 9 tahun
hijriah kurang dari 16 hari (usia 8 tahun, 11 bulan, 14 hari) tahun hijriyyah,
sehingga tahun masehinya sekitar usia 8 tahun 8 bulan 7 hari 19 jam 13 menit.[3]
Jika seorang wanita yang belum mencapai usia 9 tahun kurang 16 hari,
mengeluarkan darah, atau telah mencapai usia tersebut namun keluarnya karena
sakit, maka hukumnya bukan darah haid,[4] melainkan istihadhah. Sedangkan darah yang
keluar setelah melahirkan dinamakan nifas.[5] Dengan demikian, darah yang keluar dari
pangkal rahim wanita ada 3 macam, yakni haid, istihadhah, dan nifas.
Seorang wanita berusia 9 tahun dikatakan haid apabila memenihi tiga syarat.
Yaitu pertama, tidak kurang dari 24 jam, kedua tidak lebih dari
15 hari, ketiga bertepat pada waktu mungkin / bisa haid.[6] Sedangkan jika tidak memenuhi unsur tersebut
atau ketika dalam keadaan sakit, maka ia disebut istihadhah.
Darah haid merupakan kodrat yang dialami oleh kaum wanita. Umumnya keluar
setiap bulan sampai pada masa tertentu atau yang biasa disebut masa menopause.
Dimana pada umumnya pada usia tersebut kaum wanita sudah tidak mengalami haid
lagi. Namun tidak ada dalil yang memastikan pada usia berapa kaum wanita tidak
mengalami haid lagi. oleh sebab itu, jika pada masa monopause seorang wanita mengeluarkan
darah yang sesuai dengan syarat-syarat darah haid, maka ia tetap dihukumi darah
haid.
C. Haid
dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Ayat al-Qur’an yang menjelaskan hakikat dan hukum haid diantaranya adalah
ويسئلونك عن المحيض قل هو ادى فاعتز لوا النساء فى المحيض
ولا تقر بو هن حتى يطهر ن فاذا تطهر ن فاتو هن من حيث امر كم الله ان الله يحب
التوا بين ويحب المتطهر ين
Artinya :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah kotoran,
oleh sebab itu , hendaklah kamu menjuhkan diri wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri.” (QS. Al- Baqarah : 222)
شئ كتبه الله عل
بئا ت ادم هذا
Artinya : “Haid itu sesuatu yang telah ditakdirkan
Allah kepada cucu-cucu wanita adam” (HR.
Bukhari-Muslim)
D. Waktu dan Siklus Haid.
Minimal masa haid adalah sehari semalam (24 jam) dengan
syarat keluarnya darah tidak putus-putus yakni terus-menerus. Sedangkan
maksimal masa haid adalah 15 hari 15 malam (360 jam) dan tidak disyaratkan darahnya
keluar terus-menerus, tapi bila dijumlah darah yang putus-putus tersebut
mencapai 24 jam atau lebih.[9]
Lamanya haid menurut pendapat ulama’ madzhab,[10]
menurut Imam Hanafi dan Imamiyyah; paling sedikitnya haid adalah tiga hari, dan
paling banyak sepuluh hari. Sedangkan menurut imam Hambali dan Imam Syafi’i;
paling sedikitnya adalah selama satu hari satu malam, dan paling banyaknya
selama lima belas hari. Dan menurut imam
Maliki; paling banyaknya lima belas hari, sedangkan sedikitnya tidak terbatas.
Umumnya, haid berlangsung selama 6 hari 6 malam atau 7
hari 7 malam, maksimal atau paling lamanya haid adalah 15 hari 15 malam.[11]
Oleh sebab itu, jika darah yang keluar lamanya lebih dari 15 hari 15 malam,
baik terus-menerus ataupun terputus-putus, maka hukumnya darah istihadhah atau
sebagian haid sebagian istihadhah.
Sedangkan untuk batas masa suci, semua ulama’ madzhab
sepakat bahwa haid itu tidak ada batas sucinya yang dipisah dengan dua haid.
Namun paling sedikitnya haid menurut imam hanafi adalah tiga belas hari,
menurut imam Syafi’I dan Maliki lima belas hari, dan menurut Imamiyyah sepuluh
hari.
Wanita memiliki siklus haid rata-rata terjadi sekitar 28
hari, tetapi tidak semua wanita memiliki siklus haid yang sama, kadang-kadang
siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Umumnya darah yang hilang akibat
menstruasi adalah 10mL hingga 80mL per hari tetapi biasanya dengan rata-rata
35mL per harinya.
Siklus menstruasi dibagi atas empat fase.[12]
1.
Fase Haid / Fase Menstruasi.
Yaitu luruh dan dikeluarkannya dinding rahim dari tubuh.
Hal ini disebabkan berkurangnya kadar hormone seks. Hal ini secara bertahap
biasanya terjadi pada hari 1-7
2.
Fase Praovulasi.
Yaitu masa pembentukan dan pematangan ovum dalam ovarium
yang dipicu oleh peningkatan kadar estrogen dalam tubuh. Terjadi pada hari ke
7-13
3.
Fase Ovulasi
Adalah Masa subur, yakni suatu masa dalam siklus
menstruasi wanita dimana sel telur yang matang siap untuk dibuahi.
E.
Dampak Hukum (Syar’i) Haid.
Bagi wanita haid diharamkan semua yang
diharamkan bagi orang yang junub, dan beberapa larangan lainseperti mentalak
istri yang sedang haid.[13] Jika
dijabarkan, larangan atau dampak hukum haid adalah:[14]
1)
Shalat.
Seorang wanita yang haid diharamkan untuk melakukan shalat. Begitu juga mengqada’ shalat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat haid
telah gugur kewajibannya untuk melakukan shalat. Sebagaimana sabda Nabi saw yang berbunyi:[15]
اِدا اَقْبَلَتِ الحَيْضَةَ فَدَعِى الصلاَةَ
Artinya :
Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkan shalat” (HR. Muttafaqun alaih)
2)
Puasa.
Wanita yang haid dilarang menjalankan puasa.
Jika puasa tersebut wajib, seperti puasa ramadhan, maka ia wajib menggantinya
di lain hari. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw yang berbunyi:[16]
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رضيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: أَلَيْسَ إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ
لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ،
Artinya : “Dari Abi Said
Al-Khudhri ra. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak boleh shalat dan
puasa” (HR. Bukhari)
3)
Tawaf.
Wanita yang haid dilarang melakukan tawaf,
karena salah satu syarat tawaf adalah suci dari hadas besar. Adapun ibadah haji
yang lain tetap boleh dilakukan. Hal itu sebagaimana sabda Nabi saw yang berbunyi:[17]
وَعَنْ عَائِشةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: لَمَّا جِئْنَا
سَرِفَ حِضْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ
الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي، مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Artinya : “Dari Aisyah ra.
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua
praktek ibadah haji kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.”
(HR. Mutafaqun alaih)
4)
Menyentuh mushaf dan membawanya.
Para ulama’ sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk orang yang haidh
dilarang menyentuh mushaf Al-Quran. Hal itu sebagaimana firman Allah[18]
yang berbunyi:
لا يمسه إلا المطهرون
Artinya :
“Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci” (QS. Waqi’ah : 79)
5)
Melafadzkan ayat-ayat al-qur’an.
Para ulama’ melarang wanita yang haid membaca
ayat-ayat al-Qur’an, kecuali dalam hati atau do’a/dzikir yang lafadznya diambil
dari ayat al-Qur’an secara tidak langsung, sebagaimana dalam hadits marfu’ yang
artinya “Wanita yang tengah haid dan dalam keadaan junub tidak boleh sama
sekali membaca al-qur’an.” (HR. At-Tirmidzi). Namun ada pula pendapat yang
membolehkan wanita yang haid membaca al-Qur’an namun tidak boleh menyentuh
al-Qur’an, dan membacanya disebabkan karena takut lupa akan hafalan Qur’annya
bila masa haidnya terlalu lama, dan membacanya tidak terlalu lama.
6)
Masuk dan berdiam diri masjid
Wanita yang haid dilarang masuk dan berdiam
diri (i’tikaf) di masjid. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi saw[19] yang artinya “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haid.” (At-Taarikh al Khabir, Bukhari dan Irwanul Ghali)
7)
Bersuci (wudhu dan mandi).
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa `wanita yang sedang haid dilarang
berwudu dan mandi janabah. Maksudnya adalah bahwa wanita yang haid dengan darah
masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadas besarnya itu dengan cara
berwudu atau mandi janabah, seolah-olah darah haidhnya sudah selesai, padahal
belum selesai.
Sedangkan mandi biasa dalam arti membersihkan diri dari
kuman, dengan menggunakan sabun, shampo dan lainnya, tanpa berniat bersuci dari
hadats besar, bukan merupakan larangan
8)
Bersetubuh.
Wanita yang haid haram bersetubuh dengan
suaminya.[20] Hal ini sebagaimana firman Allah yang
berbunyi:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu
kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah : 222).
Para ulama’ sepakat bahwa diharamkan mentalak
istri yang sedang haid, tapi kalau sudah terjadi maka sah talaknya, hanya saja
menurut empat madzhab orang yang mentalaknya itu berdosa, namun menurut
Imamiyyah talaknya itu batal jika sang suami masih berada di sisinya, atau
istri itu belum hamil.
10)
Memotong rambut dan kuku.
Sebagian ulama’ melarang wanita yang sedang
haid untuk memotong rambut dan kuku, namun sebagian ulama’ lain menyatakan
bahwa memotong rambut dan kuku saat
haid bukan hal yang terlarang. Sebab landasan syar’i atas larangan hal itu
tidak berlandaskan dalil Quran maupun sunnah.
11)
Iddah
Selain berakibat larangan, haid juga memiliki dampak
hukum lain, yakni tentang perhitungan masa Iddah. Syarat iddah dengan
perhitungan bulan adalah tidak haid, karena haid dapat membatalkan kesucian,
karena keluarnya darah menyebabkan seorang wanita menjadi berhadas dan
berakibat batalnya kesucian, sebagaimana kencing. Masa iddah ini ditentukan
dalam al-qur’an selama tiga kali quru’ atau suci sebagaimana firman Allah dalam
QS. Al-Baqarah : 228 yang artinya : “Hendaklah istri-istri yang di talak,
dapat menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’ (suci)”
F.
Problema Haid.
Haid yang teratur merupakan tanda keseimbangan hormon,
dengan asumsi bahwa seorang wanita tersebut tidak sedang hamil, menyusui, atau
menopause. Masa menstruasi yang teratur menunjukkan bahwa seorang wanita
berada dalam minggu (disebut Venus Week) untuk persiapan menghadapi
ovulasi. Hormon yang dimulai begitu haid hari pertama berlangsung membantu
wanita berada dalam kondisi terbaik. Pada hari ketiga atau keempat haid,
kondisi wanita akan semakin membaik.
Sayangnya, tidak semua wanita dapat merasakan haid yang
teratur. Ada kalanya haid tersebut bertambah, berkurang, maju dan mundurnya
masa haid, ada pula yang darah haidnya yang keluar terputus-putus, misalnya,
hari ini keluar, besok tidak keluar, atau yang sejenisnya. Bahkan ada pula yang
terjadi pengeringan darah, yakni, seorang wanita tidak mendapatkan selain
lembab atau basah saja di pangkal rahimnya. Lebih
detailnya problematika atau gangguan haid dan siklusnya dapat digolongkan
dalam:[22]
a.
Kelainan Siklus
1)
Amonore
2)
Oligomenorea.
3)
Polimenerea
4)
Metroragia
b.
Kelainan dalam banyaknya darah.
1)
Menoragia / Hipermenorea
2)
Hipomenorea.
c.
Haid yang menyakitkan
1)
Dymenerrhea
2)
PSM (sindrom premenstruasi)
G.
Hikmah Haid.
Terdapat beberapa hikmah dibalik haidnya seorang wanita.
Diantaranya:
1.
Sebagai
tanda sayang Allah kepada wanita. Aktifitas wanita sangatlah padat. Dengan
adanya haid, secara tidak langsung Allah memberikan waktu libur bagi seorang
wanita untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
2.
Pengeluaran
darah (haid), berguna sebagai zat makanan bagi janin. Sehingga ketika darah
tidak dikeluarkan, berarti wanita itu sedang hamil, dan darah haid yang tidak
keluar berfungsi sebagai makanan si janin.
3.
Menunjukkan
bahwa wanita tersebut mampu berovulasi, artinya ia bisa hamil dan memiliki anak.
4.
Haid
yang teratur merupakan tanda keseimbangan hormon, dengan asumsi bahwa wanita
tersebut tidak sedang hamil, menyusui, atau menopause.[23]
6.
Dengan
haid, dapat membuat metode Keluarga Berencana (KB) secara alami (metode
kalender).
7.
Haid
melatih kedewasaan suami, sebab ia menjadi bersabar dan berkesempatan memahami
wanita yang sebenarnya.
8.
Haid
membiasakan wanita untuk merawat organ dan menjaga kebersihan reproduksi, serta
melatih kedisplinan dalam mengatur waktu dan memanfaatkan momen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar