Senin, 23 Juli 2012

Haid


A.      Latar Belakang Masalah
Ada banyak persoalan atau masalah tentang wanita, baik persoalan yang juga biasa dihadapi oleh laki-laki, persoalan persamaan hak atau gender, maupun persoalan yang hanya dihadapi atau dimiliki oleh kaum hawa seperti hamil, dan permasalahan tentang darah wanita seperti haid, nifas dan istihadhah, serta persoalan yang menyangkut organ reproduksi lainnya.
Masalah haid misalnya, merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi kaum wanita, karena hal tersebut termasuk ajaran yang sangat penting dalam agama Islam karena menyangkut kesucian jiwa dan jasmani serta menyangkut masalah sah atau tidaknya ibadah kaum wanita.
Tema haid menjadi tema penting yang menjadi kajian dalam ilmu fiqih, karena haid seringkali bersentuhan dengan rutinitas ibadah yang notabenenya harus suci dari hadas dan najis. Kurang tepat ungkapan yang menyatakan setiap darah adalah haid, dan setiap putus darah adalah suci. Karena sebagaimana dikaji dalam kitab fiqih bahwa tidak semua darah dapat dihukumi haid atau nifas, dan tidak setiap putus darah dihukumi suci yang hakiki.  
Haid yang merupakan persoalan abadi bagi kaum wanita, adalah peristiwa rutin nan lumrah yang dialami oleh wanita dan memiliki akibat hukum serta memiliki konsekuensi boleh-tidaknya wanita tersebut melakukan ‘sesuatu’, karena sangat terkait dengan ibadah-ibadah fard ‘ayn (mahdah), misalnya salat dan puasa, maupun ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, serta menjadi patokan selesainya iddah bagi seorang wanita.
Karena menyangkut sah dan tidaknya ibadah seorang wanita, maka mempelajarinya merupakan suatu kewajiban mutlak. Ironisnya, sebagai peristiwa rutin, persoalan ini jarang diperhatikan dan seringkali diremehkan atau diabaikan oleh banyak kalangan, terkadang oleh kaum wanita itu sendiri. Padahal ketidaktahuan terhadap persoalan ini bisa mengakibatkan rusaknya ibadah, dengan tidak mengetahui kapan saatnya harus bersuci, apakah yang terjadi itu adalah haid atau istihadhah, bagaimana cara menghitung atau mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang terkait dengan masalah ini.
Permasalahan ini sebenarnya termasuk rangking atas tingkat kerumitan dan kesulitannya, mengingat begitu beragamnya peristiwa yang terkait dengannya, terutama pada masa ahir-ahir ini banyak sekali wanita yang haidnya tidak teratur (tidak normal).
Permasalahan haid sebenarnya telah banyak dibicarakan oleh para ulama’, terutama ulama’ pada masa fuqaha’ dahulu. Bahkan seluruh madzhab-pun telah meneliti permasalahan haid tersebut secara tepat, teliti dan akurat serta tidak diragukan lagi kredibilasnya yang kemudian mengeluarkan pendapat hukumnya mengenai persoalan tersebut.
Persoalan haid menjadi lebih rumit karena sebagian wanita terutama wanita masa kini lebih banyak yang mengalami haid yang kurang normal (tidak teratur), baik dari segi siklus, maupun lama haid dan jarak suci. Hal tersebut konon disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya dari segi makanan, obat, alat kontrasepsi, bahkan kesehatan dan masalah atau psikologis perempuan. Yang mana hal-hal tersebut pada masa fuqaha’ tidak banyak terjadi, sehingga mengesankan problematika haid-nya wanita masa kini lebih banyak dari pada haid-nya wanita pada masa fuqaha’ (dahulu).
Pada dasarnya lama haid, siklus haid yang masih dalam batas wajar ataupun wanita yang tidak haid sama sekali, sebenarnya tidak terlalu menjadi persoalan. namun bagi yang siklusnya kacau, akan menjadi masalah tersendiri karena kerumitan dan kesulitan (dalam menghitung kapan yang dikatakan suci, kapan istihadhah, dan kapan suci lagi) akan muncul.
Fenomena tentang banyaknya ketimpangan yang menyelimuti terhadap masalah darah wanita terutama haid beserta hukumnya secara utuh tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti permasalahan haid, termasuk landasan atau kitab yang menjadi pedoman baik dari Al-Qur’an, Sunnah, hasil ijtihat dan istiqra’ para ulama’, maupun sumber dari ilmu kedokteran modern dan dengan melihat kondisi nyata mengenai haid-nya wanita. Dengan tujuan agar dapat dipelajari dan diamalkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas keabsahan seorang wanita dalam beribadah kepada Allah.


B.     Definisi Haid.
Haid secara lughat (bahasa) berasal dari bahasa arab, yakni mengalir. Sedangkan haid menurut terminology syar`i adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita yang sudah mencapai usia 9 tahun hijriah kurang sedikit pada waktu-waktu tertentu, dan keluarnya secara alami sebagai tabiat wanita, bukan karena sakit dan bukan karena setelah melahirkan.[1]
Menurut ahli fiqih,[2] haid berarti darah yang keluar pada diri seorang wanita pada hari-hari tertentu. Haid ini mempunyai dampak yang membolehkan/meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya iddah bagi wanita yang dicerai. Biasanya darahnya berwarna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tetapi kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haid sesuai dengan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.
Haid yang juga biasa disebut menstruasi atau datang bulan, merupakan perubahan fisiologis dalam tubuh yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Periode ini penting dalam hal reproduksi, sehingga haid biasanya terjadi setiap bulan antara usia remaja hingga menopause.
Usia minimal seorang wanita dikatakan haid adalah ketika usia 9 tahun hijriah kurang dari 16 hari (usia 8 tahun, 11 bulan, 14 hari) tahun hijriyyah, sehingga tahun masehinya sekitar usia 8 tahun 8 bulan 7 hari 19 jam 13 menit.[3]
Jika seorang wanita yang belum mencapai usia 9 tahun kurang 16 hari, mengeluarkan darah, atau telah mencapai usia tersebut namun keluarnya karena sakit, maka hukumnya bukan darah haid,[4] melainkan istihadhah. Sedangkan darah yang keluar setelah melahirkan dinamakan nifas.[5] Dengan demikian, darah yang keluar dari pangkal rahim wanita ada 3 macam, yakni haid, istihadhah, dan nifas.
Seorang wanita berusia 9 tahun dikatakan haid apabila memenihi tiga syarat. Yaitu pertama, tidak kurang dari 24 jam, kedua tidak lebih dari 15 hari, ketiga bertepat pada waktu mungkin / bisa haid.[6] Sedangkan jika tidak memenuhi unsur tersebut atau ketika dalam keadaan sakit, maka ia disebut istihadhah.
Darah haid merupakan kodrat yang dialami oleh kaum wanita. Umumnya keluar setiap bulan sampai pada masa tertentu atau yang biasa disebut masa menopause. Dimana pada umumnya pada usia tersebut kaum wanita sudah tidak mengalami haid lagi. Namun tidak ada dalil yang memastikan pada usia berapa kaum wanita tidak mengalami haid lagi. oleh sebab itu, jika pada masa monopause seorang wanita mengeluarkan darah yang sesuai dengan syarat-syarat darah haid, maka ia tetap dihukumi darah haid.

C.     Haid dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Ayat al-Qur’an yang menjelaskan hakikat dan hukum haid diantaranya adalah
1.            QS. Al-Baqarah : 222[7] yang berbunyi
ويسئلونك عن المحيض قل هو ادى فاعتز لوا النساء فى المحيض ولا تقر بو هن حتى يطهر ن فاذا تطهر ن فاتو هن من حيث امر كم الله ان الله يحب التوا بين ويحب المتطهر ين
Artinya      : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah kotoran, oleh sebab itu , hendaklah kamu menjuhkan diri wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al- Baqarah : 222)

2.            Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari-Muslim yang  berbunyi:[8]
شئ كتبه الله عل بئا ت ادم هذا
Artinya      : “Haid itu sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada cucu-cucu  wanita adam” (HR. Bukhari-Muslim)

D.     Waktu dan Siklus Haid.
Minimal masa haid adalah sehari semalam (24 jam) dengan syarat keluarnya darah tidak putus-putus yakni terus-menerus. Sedangkan maksimal masa haid adalah 15 hari 15 malam (360 jam) dan tidak disyaratkan darahnya keluar terus-menerus, tapi bila dijumlah darah yang putus-putus tersebut mencapai 24 jam atau lebih.[9]
Lamanya haid menurut pendapat ulama’ madzhab,[10] menurut Imam Hanafi dan Imamiyyah; paling sedikitnya haid adalah tiga hari, dan paling banyak sepuluh hari. Sedangkan menurut imam Hambali dan Imam Syafi’i; paling sedikitnya adalah selama satu hari satu malam, dan paling banyaknya selama lima belas hari. Dan  menurut imam Maliki; paling banyaknya lima belas hari, sedangkan sedikitnya tidak terbatas.
Umumnya, haid berlangsung selama 6 hari 6 malam atau 7 hari 7 malam, maksimal atau paling lamanya haid adalah 15 hari 15 malam.[11] Oleh sebab itu, jika darah yang keluar lamanya lebih dari 15 hari 15 malam, baik terus-menerus ataupun terputus-putus, maka hukumnya darah istihadhah atau sebagian haid sebagian istihadhah.
Sedangkan untuk batas masa suci, semua ulama’ madzhab sepakat bahwa haid itu tidak ada batas sucinya yang dipisah dengan dua haid. Namun paling sedikitnya haid menurut imam hanafi adalah tiga belas hari, menurut imam Syafi’I dan Maliki lima belas hari, dan menurut Imamiyyah sepuluh hari.
Wanita memiliki siklus haid rata-rata terjadi sekitar 28 hari, tetapi tidak semua wanita memiliki siklus haid yang sama, kadang-kadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Umumnya darah yang hilang akibat menstruasi adalah 10mL hingga 80mL per hari tetapi biasanya dengan rata-rata 35mL per harinya.
Siklus menstruasi dibagi atas empat fase.[12]
1.      Fase Haid / Fase Menstruasi.
Yaitu luruh dan dikeluarkannya dinding rahim dari tubuh. Hal ini disebabkan berkurangnya kadar hormone seks. Hal ini secara bertahap biasanya terjadi pada hari 1-7
2.      Fase Praovulasi.
Yaitu masa pembentukan dan pematangan ovum dalam ovarium yang dipicu oleh peningkatan kadar estrogen dalam tubuh. Terjadi pada hari ke 7-13
3.      Fase Ovulasi
Adalah Masa subur, yakni suatu masa dalam siklus menstruasi wanita dimana sel telur yang matang siap untuk dibuahi.

E.           Dampak Hukum (Syar’i) Haid.
Bagi wanita haid diharamkan semua yang diharamkan bagi orang yang junub, dan beberapa larangan lainseperti mentalak istri yang sedang haid.[13] Jika dijabarkan, larangan atau dampak hukum haid adalah:[14]
1)            Shalat.
Seorang wanita yang haid diharamkan untuk melakukan shalat. Begitu juga mengqada’ shalat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat haid telah gugur kewajibannya untuk melakukan shalat. Sebagaimana sabda Nabi saw yang berbunyi:[15]
اِدا اَقْبَلَتِ الحَيْضَةَ فَدَعِى الصلاَةَ
Artinya          : Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkan shalat” (HR. Muttafaqun alaih)
2)            Puasa.
Wanita yang haid dilarang menjalankan puasa. Jika puasa tersebut wajib, seperti puasa ramadhan, maka ia wajib menggantinya di lain hari. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw yang berbunyi:[16]
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رضيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: أَلَيْسَ إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ،
Artinya            : “Dari Abi Said Al-Khudhri ra. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak boleh shalat dan puasa” (HR. Bukhari)

3)            Tawaf.
Wanita yang haid dilarang melakukan tawaf, karena salah satu syarat tawaf adalah suci dari hadas besar. Adapun ibadah haji yang lain tetap boleh dilakukan. Hal itu sebagaimana sabda Nabi saw yang berbunyi:[17]
وَعَنْ عَائِشةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya             : “Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.” (HR. Mutafaqun alaih)

4)            Menyentuh mushaf dan membawanya.
Para ulama’ sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran. Hal itu sebagaimana firman Allah[18] yang berbunyi:
لا يمسه إلا المطهرون
Artinya             : “Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci” (QS. Waqi’ah : 79)
5)            Melafadzkan ayat-ayat al-qur’an.
Para ulama’ melarang wanita yang haid membaca ayat-ayat al-Qur’an, kecuali dalam hati atau do’a/dzikir yang lafadznya diambil dari ayat al-Qur’an secara tidak langsung, sebagaimana dalam hadits marfu’ yang artinya “Wanita yang tengah haid dan dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca al-qur’an.” (HR. At-Tirmidzi). Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita yang haid membaca al-Qur’an namun tidak boleh menyentuh al-Qur’an, dan membacanya disebabkan karena takut lupa akan hafalan Qur’annya bila masa haidnya terlalu lama, dan membacanya tidak terlalu lama.
6)            Masuk dan berdiam diri masjid
Wanita yang haid dilarang masuk dan berdiam diri (i’tikaf) di masjid. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi saw[19] yang artinya “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haid.” (At-Taarikh al Khabir, Bukhari dan Irwanul Ghali)
7)            Bersuci (wudhu dan mandi).
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa `wanita yang sedang haid dilarang berwudu dan mandi janabah. Maksudnya adalah bahwa wanita yang haid dengan darah masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadas besarnya itu dengan cara berwudu atau mandi janabah, seolah-olah darah haidhnya sudah selesai, padahal belum selesai.
Sedangkan mandi biasa dalam arti membersihkan diri dari kuman, dengan menggunakan sabun, shampo dan lainnya, tanpa berniat bersuci dari hadats besar, bukan merupakan larangan


8)            Bersetubuh.
Wanita yang haid haram bersetubuh dengan suaminya.[20] Hal ini sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya            : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah : 222).
9)            Ditalak.[21]
Para ulama’ sepakat bahwa diharamkan mentalak istri yang sedang haid, tapi kalau sudah terjadi maka sah talaknya, hanya saja menurut empat madzhab orang yang mentalaknya itu berdosa, namun menurut Imamiyyah talaknya itu batal jika sang suami masih berada di sisinya, atau istri itu belum hamil.
10)        Memotong rambut dan kuku.
Sebagian ulama’ melarang wanita yang sedang haid untuk memotong rambut dan kuku, namun sebagian ulama’ lain menyatakan bahwa memotong rambut dan kuku saat haid bukan hal yang terlarang. Sebab landasan syar’i atas larangan hal itu tidak berlandaskan dalil Quran maupun sunnah.

11)        Iddah
Selain berakibat larangan, haid juga memiliki dampak hukum lain, yakni tentang perhitungan masa Iddah. Syarat iddah dengan perhitungan bulan adalah tidak haid, karena haid dapat membatalkan kesucian, karena keluarnya darah menyebabkan seorang wanita menjadi berhadas dan berakibat batalnya kesucian, sebagaimana kencing. Masa iddah ini ditentukan dalam al-qur’an selama tiga kali quru’ atau suci sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 228 yang artinya : “Hendaklah istri-istri yang di talak, dapat menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’ (suci)

F.           Problema Haid.
Haid yang teratur merupakan tanda keseimbangan hormon, dengan asumsi bahwa seorang wanita tersebut tidak sedang hamil, menyusui, atau menopause. Masa menstruasi yang teratur menunjukkan bahwa seorang wanita berada dalam minggu (disebut Venus Week) untuk persiapan menghadapi ovulasi. Hormon yang dimulai begitu haid hari pertama berlangsung membantu wanita berada dalam kondisi terbaik. Pada hari ketiga atau keempat haid, kondisi wanita akan semakin membaik.
Sayangnya, tidak semua wanita dapat merasakan haid yang teratur. Ada kalanya haid tersebut bertambah, berkurang, maju dan mundurnya masa haid, ada pula yang darah haidnya yang keluar terputus-putus, misalnya, hari ini keluar, besok tidak keluar, atau yang sejenisnya. Bahkan ada pula yang terjadi pengeringan darah, yakni, seorang wanita tidak mendapatkan selain lembab atau basah saja di pangkal rahimnya. Lebih detailnya problematika atau gangguan haid dan siklusnya dapat digolongkan dalam:[22]
a.       Kelainan Siklus
1)      Amonore
2)      Oligomenorea.
3)      Polimenerea
4)      Metroragia
b.      Kelainan dalam banyaknya darah.
1)      Menoragia / Hipermenorea
2)      Hipomenorea.
c.       Haid yang menyakitkan
1)      Dymenerrhea
2)      PSM (sindrom premenstruasi)

G.          Hikmah Haid.
Terdapat beberapa hikmah dibalik haidnya seorang wanita. Diantaranya:
1.      Sebagai tanda sayang Allah kepada wanita. Aktifitas wanita sangatlah padat. Dengan adanya haid, secara tidak langsung Allah memberikan waktu libur bagi seorang wanita untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
2.      Pengeluaran darah (haid), berguna sebagai zat makanan bagi janin. Sehingga ketika darah tidak dikeluarkan, berarti wanita itu sedang hamil, dan darah haid yang tidak keluar berfungsi sebagai makanan si janin.
3.      Menunjukkan bahwa wanita tersebut mampu berovulasi, artinya ia bisa hamil dan memiliki anak.
4.      Haid yang teratur merupakan tanda keseimbangan hormon, dengan asumsi bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil, menyusui, atau menopause.[23]
5.      Hormon yang dimulai begitu haid membantu wanita berada dalam kondisi terbaik.[24]
6.      Dengan haid, dapat membuat metode Keluarga Berencana (KB) secara alami (metode kalender).
7.      Haid melatih kedewasaan suami, sebab ia menjadi bersabar dan berkesempatan memahami wanita yang sebenarnya.
8.      Haid membiasakan wanita untuk merawat organ dan menjaga kebersihan reproduksi, serta melatih kedisplinan dalam mengatur waktu dan memanfaatkan momen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar