Senin, 14 April 2014

Pileg yang Membuat Pilek


Pemilu legislatif baru saja kita lewati. Entah saya yang terlalu bodoh atau bagaimana, yang pasti saya merasa ada banyak ketidak puasan atas terselenggaranya pemilu ini. Saya merasa perlunya pembaharuan dalam cara/sistem pemilu.


Beberapa catatan yang mengganjal di hati adalah; pertama, adanya money politic yang kentara. Entah karena sudah lebih biasa, lebih lama atau memang begitu adanya, pemilu kali ini nuansa ‘uang’ nya lebih terasa. Meski saya tidak pernah sekalipun menjadi ‘korban’ mendapat uang itu, tetapi sudah mutawatir bahwa masyarakat mendapat uang sogokan atau kompensasi dari para calon legislator, bahkan terkadang satu orang bisa mendapat hingga puluhan amplop. Wow.. dapatnya pun bervariasi, ada yang diselipkan dalam rapat, dalam pengajian, H-(x) pencoblosan, maupun pagi hari pencoblosan (serangan fajar) dengan nominal yang bervariasi pula. Seandainya sogokan itu tidak ada dan diganti dengan program yang merakyat, bukankan lebih efisien? Siapa yang harus ‘disalahkan’ atas situasi ini? Rakyat yang mau menerima uang itu, caleg yang memanjakan dengan memberi uang, budaya kita, atau sistem? Yang pasti saya berharap ada sistem, kebijakan atau kekuasaan yang memperbaiki ini.

Kedua, ribet dan bertele-telenya proses perhitungan suara. Perhitungan suara harus dilakukan di TPS, lalu dihitung lagi di desa, di panwas, di KPU,,,, (antara TPS, PPS, KPPS) uh…. Mengapa harus sekian kali hitung dengan alasan ‘kelembagaan?’ bukankan itu sangat melelahkan? Dan hitungan siapa yang harus dipercaya? Kalau hitungan KPPS yang dipercaya dan valid, apa gunanya dihitung di TPS? Tidak bisakah seandainya hitungan suara cukup di TPS saja, disaksikan oleh masyarakat, perwakilan KPU, Panwas, Parpol, dan pihak-pihak yang berkepentingan lalu dilaporkan dan menjadi legalitas? Atau kalau masih kurang puas, manfaatkan teknologi, sertakan media shooting atau perekam sebagai laporan. Banyaknya proses hitung membuat lelah dan celah kecurangan serta penggelembungan suara lebih besar.

Ketiga, banyaknya pilihan. Pemilu kali ini bukan hanya sekedar memilih partai, namun juga calon legislatornya. Hal itu membuat persaingan bukan hanya antar partai, namun ‘musuh dalam selimut’ atau persaingan sesama anggota partai menjadi rawan. Parpol, pimpinan dan pengurusnya bisa menjadi ajang fitnah atau bahkan dapat benar-benar bermain curang di sini. Sehingga pencurian suara antar caleg menjadi sangat mungkin terjadi dan sulit dibuktikan.

Keempat,  tidak adanya kejelasan. Lagi-lagi membuat saya bingung. Ini musuhnya siapa, dan siapa target money politic sebenarnya. Pemilu ini membuat peluang untuk mencurangi teman sendiri menjadi lebih besar, karena harus berebut kursi. Target money politic juga menjadi bias. Masyarakat, atau pemilik kekuasaan (oknum pejabat)? Lagi-lagi uang yang harus berbicara. Sudah terkuras untuk menyogok rakyat, ditambah transfer untuk pengurus pemilu (PPS, aparat, panwas, KPU), plus kontrak politik dengan pejabat parpol ataupun salah satu calon….

Lalu, apa jadinya bangsaku jika dijalankan dengan cara-cara seperti ini? Mungkinkan ada yang benar-benar berkhidmah jika sebelum mengabdi saja sudah mengeluarkan modal yang tak sedikit? Apakah mereka tidak memerluhkan balik modal? Lalu apa tujuan mereka menjadi wakil dan abdi masyarakat?

Terkadang ku merenung,,, mengapa kita tidak kembali seperti dulu? Memilih partai saja, tidak memilih nama calon legislatif. Siapapun yang akan duduk di kursi dewan, biarkan itu menjadi kebijakan parpol dan para pengurusnya. Agar pejabat parpol dan caleg lebih terbuka, lebih transparan tentang siapa yang sebenarnya mereka harapkan untuk masuk di kursi dewan, agar tidak ada lagi ‘permusuhan’ dalam intern parpol, agar lebih tercipta netralitas pengurus parpol, dan agar tidak ada lagi orang yang memiliki harapan tinggi dan mengeluarkan modal yang tak sedikit kemudian jatuh dan menjadi gila.

Selain itu dengan memilih parpol saja tanpa nama legislative, akan lebih memudahkan masyarakat dalam memilih. Memang memilih nama caleg sekaligus menjadi lebih demokratis, namun janganlah kita menutup mata, bahwa masih banyak diantara kita yang bingung dan tidak faham dengan cara ini. Misalnya, banyak suara tidak sah akibat memilih dengan lebih dari satu pilihan. Mungkin maksud hati rakyat ingin amanah, dapat uang dari caleg A dari partai padi dan dapet dari caleg B dari partai jagung, sehingga dicoblos dua-duanya. Bagi dia itu amanah, namun secara yuridis kertas suara itu tidak sah (terlalu banyaknya kertas suara tidak sah, menunjukkan pemilih bukan hanya sengaja golput, tetapi memang tidak mengerti). Banyak pula yang memilih parpol saja. Memang itu sah, namun memberikan peluang kecurangan bagi salah satu oknum untuk mencoblos nama salah satu caleg.

So, adakah pemilu yang lebih minim resikonya? Tidak membunuh kontestannya, tidak membuat konstannya gila, termasuk tidak membuat pilek?


Memory of Apr 12nd 2014, 02.59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar