Selasa, 09 Agustus 2011

Argumentasi Al-Biruni bahwa Bumi Berbentuk Bulat (Ellips)


 
A.      PENDAHULUAN
Orang barat menyebut filsafat sebagai induk dari segala ilmu.  Hal ini karena filsafat dianggap kajian yang sangat mendasar menyangkut eksistensi, pengetahuan, kebenaran, keelokan, keadilan, kepatutan, pikiran dan bahasa.  Filsafat berasal dari Bahasa Yunani kuno yakni philosophía, yang berarti "kecintakan pada kebijaksanaan."
Namun, tidak semua ilmuwan dan orang bijak sepakat dengan itu.  Ketika filsafat semakin sering lepas dari dunia empiris, serta disinyalir justru digunakan untuk mengacau keimanan, orang mencoba mencari “induk” yang baru.  Dan salah satu induk baru itu ternyata adalah geografi.
Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hidup mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.  Dan yang lebih penting geografi termasuk ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita.
Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama. Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Dia menemukan gnomon, alat sederhana untuk menentukan posisi lintang.  Ada perdebatan tentang siapa penggagas mula bentuk bulat bumi: Parmenides atau Phytagoras.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun, dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu. Pada awal milenia, penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.
Selama zaman pertengahan dan kejatuhan Romawi, terjadi evolusi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan penjelajahan demi penjalajahan (QS Ar Ruum [30]: 9).  Para geografer muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al-Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406),  menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.[1]
Sedangkan dari segi keilmuan, salah satunya adalah pendapat orang zaman dahulu yang menyatakan bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar besar yang memiliki permukaan datar. Di tempat yang sangat jauh, yaitu di ujung bumi yang merupakan tempat matahari terbit dan tenggelam, terdapat jurang yang sangat dalam. Pandangan tersebut mungkin timbul karena permukaan bumi yang kita amati sehari-hari memang terlihat datar.
Bagaimanakah sebenarnya bentuk bumi itu? Berdasarkan peristiwa dan gejala alam yang dialami manusia, dapat dibuktikan bahwa bentuk bumi adalah bulat.

B.      BIOGRAFI AL-BIRUNI
Nama lengkapnya adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni. Beliau lahir pada 15 September 973[2] dan wafat pada 13 Desember 1048. Beliau merupakan matematikawan Persia, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, ahli farmasi dan guru, yang banyak menyumbang kepada bidang astronomi/falak, matematika, filsafat, dan obat-obatan.
Abu Raihan Al-Biruni dilahirkan di pinggir kota Kyat, ibukota pemerintahan feodal Khawarazmi, Turkmenistan atau Khiva di kawasan Danau Aral di Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran Persia.[3] Dia belajar matematika dan astronomi/Falak/pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur ibnu Ali ibnu Irak. beliaulah yang memperkenalkan muritnya ini tentang unsur-unsur geometri Euclides dan astronomi Ptolemeus
Abu Raihan Al-Biruni merupakan teman filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina atau yang dikenal dengan Ibnu Sina, sejarawan, filsuf, dan pakar etik Ibnu Miskawaih, di universitas dan pusat sains yang didirikan oleh putera Abu Al Abbas Ma'mun Khawarazmshah. Abu Raihan Al-Biruni juga mengembara ke India dengan Mahmud dari Ghazni dan menemani beliau dalam ketenteraannya di sana, mempelajari bahasa, falsafah dan agama mereka serta menulis buku mengenainya. Dia juga menguasai beberapa bahasa diantaranya bahasa Yunani, bahasa Suriah, dan bahasa Berber, bahasa Sansekerta.
Masa kanak-kanak dan remaja Al-Biruni banyak dihabiskan di kota Kyat, sebuah ibukota Dinasti Khorezmishyah. Dan situasi pada masa itu telah berperan penting dalam pembentukan pandangan sosio-politik dan pandangan dunia ilmiyah Biruni
Pemikiran ilmiah dan budaya Khorezemi yang tinggi semasa itu membina penggembangan Biruni. Setelah mendapat pendidikan yang luas, mempelajari matematika, filsafat, georafi, ia mulai tertarik untuk terjun dalam bidang astronomi. Pada masa itu hampir disemua pemerintahan feodal[4] timur telah tumbuh minat pada ilmu Astronomi dan telah banyak didirikan sekolah bagi para astronom dan dibangun observatorium.[5]
Al-Biruni pernah akan diberi penghargaan berupa ribuan mata uang perak yang dibawa tiga ekor unta oleh Sultan yang berkuasa saat itu, akan tetapi ia menolak. Menurutnya, ia mengabdi kepada ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi uang. Melalui jawabannya tersebut, secara tidak langsung ia mengatakan bahwa ilmu tidak dapat diukur dengan uang. Ia antusias mencari ilmu sebanyak-banyaknya hanya karena Allah.
Dalam melakukan penelitian ilmiah terhadap alam semesta, Al-Biruni memiliki metode yang khas. Menurutnya, ilmuwan adalah orang yang menggunakan setiap sumber yang ada dalam bentuk aslinya, kemudian melakukan pekerjaan dengan penelitian melalui pengamatan langsung dan percobaan. Metode ini kemudian banyak dijadikan pegangan oleh para ilmuwan selanjutnya.
Dengan tekad mendedikasikan dirinya pada ilmu pengetahuan, Al-Biruni melakukan penelitian terhadap semua jenis ilmu yang ada. Karenanya, banyak ahli sejarah yang menganggap ia sebagai ilmuwan terbesar sepanjang masa. Selain itu, setiap terjun ke masyarakat dan melakukan penelitian, Al-Biruni sangat mudah menyatu dengan lingkungan. Ia pun dikenal sebagai sosok yang penuh toleransi.
Selama perjalanan hidupnya sampai dengan tahun 1048, Al-Biruni banyak menghasilkan karya tulis. Diantaranya adalah Tarikh Al-Hindi (sejarah India) sebagai karya pertama dan terbaik yang pernah ditulis sarjana muslim tentang India. Kemudian buku Tafhim li awal Al-Sina’atu Al-Tanjim, yang mengupas tentang ilmu Geometri, Aritmatika dan Astrologi. Sedangkan khusus Astronomi Al-Biruni menulis buku Al-Qanon al-Mas’udi fi al-Hai’ah wa al-Nujum (teori tentang perbintangan). Disamping itu, ia juga menulis tentang pengetahuan umum lainnya seperti buku Al-Jamahir fi Ma’rifati al-Juwahir (ilmu pertambangan), As-Syadala fi al-Thib (farmasi dalam ilmu Kedokteran), Al-Maqallid Ilm Al-Hai’ah (tentang perbintangan) serta kitab Al-Kusuf wa Al-Hunud (kitab tentang pandangan orang India mengeanai peristiwa gerhana bulan). Itu hanya sebagian kecil dari buku-buku karya Al-Biruni yang beredar. Selain itu masih banyak buku lainnya yang dapat dijadikan rujukan. Namun berbeda dengan seperti Ibnu Sina, yang pemikirannya telah merambah Eropa. Karya-karya besar Al-Biruni tidak begitu berpengaruh di wilayah barat, karena buku-bukunya baru di terjemahkan ke bahasa-bahasa barat baru pada abad ke 20.

C.      PEMBAHASAN TENTANG BENTUK BUMI
Kepastian bahwa bumi berbentuk bola (bulat) sudah diketahui sejak ilmuwan yunani purba. Pitagoras (6 abad sebelum masehi) berbicara tentang bentuk bola pada benda-benda langit dan bumi. Aristiteles (4 abad sebelum masehi) juga menganggap semua benda langit dan bumi berbentuk bola; sebagai salah satu bukti bentuk bola ini, bumi menunjukkan bayangannya yang bundar pada permukaan rembulan sewaktu terjadi gerhana bulan. Penjelasan tentang bentuk bola rembulan dari ilmuwan Yunani ternyata cukup kokoh.[6]
Sedangkan dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam surat Az-Zumar : 5 yang berbunyi
خلق السموات والارض باالحق يكور اليل على النهار ويكور النهار على اليل وسخر السمش والقمر كل يجرى لاْجل مسمى ألا هو العزيز الغفور
Artinya :  “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah yang maha perkasa lagi maha pengampun”
Dalam Al-Qur’an kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata arab yang diterjemahkan sebagai “menutupkan” dalam ayat diatas adalah takwir. Dalam kamus bahasa arab misalnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu diatas yang lain secara melingkar, sebagaimana surban dipakaikan di atas kepala. Keterangan yang disebut dalam ayat tersebut tentang siang dan malam yang saling menutup satu sama lain, berisi keterangan yang tepat tentang bentuk bumi. Karena pernyataan ini hanya benar jika bumi berbentuk bulat.[7]
Kemudian dalam surat An-Naziyat : 30 yang berbunyi
والاْرض بعد ذلك دحاها
Artinya :  “Dan bumi sesudah itu dihamparkannya”
Dalam terjemahan lain, ayat di atas diartikan “dan sesudah itu bumi berbentuk telur (Dhahaha)”.  Kata Arab dahaha berasal dari kata “duhya” yang berarti berbentuk telur, dan itu tidak mengacu pada semua telur, itu mengacu secara spesifik adalah “telur burung unta”. Dan sekarang kita ketahui bahwa Bumi tidak Bundar seperti Bola tapi bumi berbentuk geosferical. Dan jika dianalisa, Telur Burung Unta berbentuk “Geosferikal” yaitu sedikit menyempit dari puncaknya dan menonjol dari pusatnya.
Selain ayat diatas, penunjukan bumi berbentuk bulat juga terdapat pada surat Luqman :29.[8] Kebenaran bumi adalah bulat juga diutarakan oleh Ptolemeus yang berpendapat bahwa perbedaan waktu penduduk bumi ketika melihat gerhana matahari dan bulan merupakan argumentasi bahwa bumi itu berbentu bulat[9]
Meskipun demikian, (terutama pada masa lalu), banyak yang percaya bahwa bumi itu datar. Salah satunya adalah dalam Al-Qur’an yang penafsirannya berbeda sehingga seolah-olah bumi itu datar. Salah satunya adalah dalam surat al-Baqarah: 22
الذى جعل لكم الاْرض فراشا والسماء بناء ...
Artinya :  “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai sebagai atap…”
Selain ayat diatas juga terdapat dalam QS. An-Naba’ [78]: 6-7, QS. Thaha [20]: 53, dan QS. Nuh[71]: 7 pada penafsiran ayat-ayat di atas, menurut penafsiran Quraish Shihab menjelaskan bahwa dijadikannya bumi ‘terhampar’[10] bukan berarti Dia (Allah) menciptakan bumi itu datar. Bumi diciptakan oleh Allah memang berbentuk bulat, lalu Ia menciptakan yang bulat itu terhampar bagi manusia, yakni kemanapun melangkahkan kaki mereka akan mendapatkan bumi terhampar. Dan itu dijadikan Allah agar manusia dapat meraih manfaat sebanyak mungkin. Furman Allah diatas juga member kesan betapa bumi dijadikan Allah begitu mudah dan nyaman untuk dihuni, sehingga kehidupan tidak ubahnya bagaikan kasur yang terhampar dan siap untuk dipakai tidur.[11]
Dalam hal ini biruni mengkritik orang-orang yang meyakini atau berpendapat bahwa bumi itu datar. Biruni menyatakan seandainya saja bumi ini tidak bulat, maka siang dan malam tidak berbeda, apakah itu pada musim dingin atau musim panas, kenampakan planet dan gerakannya akan sama sekali lain, dari pada apa yang terlihat.[12]
Dalam Qanun Al-Mas’udi, Biruni berpendapat tidak akan terjadi suatu perkara kecuali perkara tersebur berkaitan dengan perkara yang lain. Adapun dalam masalah teori bentuk bumi adalah bulat (Ellips) ada dua argumentasi yang bisa dipaparkan. Yaitu
1.      Masalah Gerhana[13]
Gerhana matahari adalah terhalangnya sinar matahari yang menuju bumi oleh bulan.  Akan tetapi sisi bulan yang menghadap matahari tetap bercahaya karena terkena pantulan sinar matahari, dan sisi bulan yang menghadap bumi gelap. Bagian bulan yang gelap dan bersinar akan berubah-ubah tergantung jauh dekatnya bulan dan matahari.
Adapun gerhana bulan adalah terhalangnya sinar matahari yang menuju bulan oleh bumi, sehingga bayangan bumi yang menuju bulan menjadi suram atau gelap sehingga menyebabkan terjadinya gerhana bulan.
Dari paparan ini bisa disimpulkan bahwa gerhana bulan adalah keadaan di mana piringan bulan terhalang dari sinar matahari. Sehingga piringan bulan terjadi secara bersamaan waktunya bagi penduduk bumi yang bisa melihat bulan.[14] Tetapi kalau gerhana matahari hanya terhalangnya pengelihatan kita dari sinar matahari sehingga proses gerhana matahari tidak sama waktunya dan lamanya jika dilihat penduduk bumi.[15] Sehingga menurut syeh Ahmad bin Muhammad al-Biruni gerhana juga bisa dijadikan hujjah bentuk bumi adalah bulat.
2.      Hasil pengamatan bahwa bumi tidak datar
Hasil pengamatan mengenai dataran bumi yang tidak sama, ada yang tinggi ada yang rendah, ini menandakan bahwa bentuk bumi adalah elips dari sisi bujur tempat-tempat dibumi. Garis bujur itu ada yang lurus ada yang cekung, ada yang berupa dataran tinggi dan rendah. Adapun tempat yang garis bujurnya lurus, maka penduduk tempat itu akan mengetahui proses terjadinya terbit dan tenggelamnya matahari dalam waktu yang sama sepanjang masa. Sementara untuk dataran rendah terjadinya terbit dan tenggelamnya matahari dari waktu ke waktu bisa berubah. Sehingga bisa dimungkinkan bagian barat sisi bagian rendah bisa melihat matahari terbit lebih dahulu dan pada sisi timurnya. Dan adanya garis bujur kita akan menemukan perbedaan atau pergantian waktu malam dan siang. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa bentuk bumi itu bundar (ellips) dari garis bujur dan lintang bumi.
Perihal arah antara garis bujur dan lintang tempat di bumi akan  berpengaruh pada lamanya siang dari suatu negara. Seperti contoh Bulgaria dibelahan utara bumi dan kota adn dibagian selatan, dimana kondisi kota adn lama siangnya tidak lebih dari 12 jam sementara Bulgaria lama siangnya kurang dari 17 jam padahal selisih waktu antara Bulgaria dan Adn hanya 2 jam. Hal ini dikarenakan ketika matahari baru terbit di ufuk jika dilihat dari Adn maka dari Bulgaria matahari sudah terlihat tinggi.
Kesimpulannya ketika musim kemarau matahari bisa dilihat dengan jelas dari Negara Bulgaria baik di ufuk barat maupun timur, tapi tidak bisa dilihat dari Adn dan ketika musim penghujan matahari bisa dilihat dengan jelas di ufuk timur dan barat Adn, dan tidak bisa dari Bulgaria. Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa garis lintang dibumi ada yang lurus, cekung, berupa dataran tinggi dan rendah. Dan matahari akan mudah terlihat dari belahan bumi yang lintang tempatnya lurus.
Adapun puncak gunung yang tinggi yang ada pada permukaan bumi yang ada pada permukaan bumi dianggap hal yang kecil dibanding permukaan bumi yang lain, sehingga hal seperti gunung dikatagorikan sebagai tempat kasar dipermukaan bumi.[16]
Pernyataan Biruni diatas senada dengan Ilmuwan, astronom dan ahli geografi, Abu Fida (1273-1331) Ia menyatakan bahwa bentuk bulat keseluruhan bumi tidak terusik oleh adanya gunung dan jurang; itu hanyalah tak-rataan tanah, hanya kecil dibandingkan dengan ukuran bola bumi. Para astronom telah membuktikan bahwa gunung setinggi setengan mil dibandingkan dengan bola bumi hanyalah sesuai dengan sepertiga puluh lima tebal biji gandum barli dibandingkan dengan ukuran bola seukuran lokti[17]
Demikianlah biruni menjelaskan dua argumentasinya. Namun jika muncul keraguan dihati seseorang dan punya pemikiran bahwa bentuk ellips hanya tertentu bagi belahan bumi yang ada penduduknya, maka Biruni mempunyai alternatif lain untuk hujjah hal ini, yaitu teori bayang-bayang bumi. Sudah sama-sama kita fahami bahwa bentuk bayangan cahaya lampu pada tembok berbentuk persatuan yang terpisah antara perkara yang bersinar dan gelap, Jika bendanya bulat bayangannya juga bulat, jika bendanya segitiga maka bayangannya segitiga, jika bendanya segi empat maka bayangannya juga segi empat, jika bendanya panjang maka bayangannya juga panjang. Dan jika kita cermati terjadinya gerhana bulan maka kita merasakan tepi bulan berbentuk bulat, lebih-lebih ketika kita mengqiaskan permulaan dan akhir gerhana maka kita akan melihat bahwa bentuk bayangan bulan itu bulat.[18]
Teori bayang-bayang bumi juga dapat dibukikan dengan lintasan atau fase fase rembulan tiap bulannya dengan uji coba sederhana sebagai berikut
·           Arahkan senter kedinding, pasti ada bayangan berbentuk bulat
·           Taruh bola di atas meja, lalu sorot dengan senter. Geser-geser posisi sorotan dari luar kiri, terus ke arah kanan. Maka anda akan mendapatkan bayangan pada dinding berupa cahaya senter bulat penuh, bentuk sabit dengan berbagai ukuran yang terbuka ke kanan, lalu berubah lagi menjadi sabit  terbuka kekiri, lalu kembali cahaya senter berbentuk bulat utuh (jika anda sudah sampai menyorot pada sisi kanan luar bola).
·           Ganti bola dengan kotak, lalu sorot seperti langkah sebelumnya. anda tidak akan pernah  mendapatkan  bentuk sabit
·           Ganti bola dengan pelat tebal, lalu sorot, anda juga tidak akan menemukan bentuk sabit
Sekarang, kita anggap matahari sebagai senter dan bulan sebagai dinding. Ketika bumi berada di tengah (antara matahari dan bulan), sebagian cahaya matahari terhalang oleh bumi, dan bayangannya mengakibatkan bentuk sabit pada bulan (seperti yang sering kita lihat di malam hari), maka menurut percobaan sederhana kita di atas,  bentuk bumi yang paling mungkin adalah  ” bulat “, bukan kotak atau hamparan seperti pelat.
D.      PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa bentuk bumi adalah bulat. dan hal itu sebenarnya telah diketahui sejak zaman dahulu. Hanya saja pada zaman dahulu terdapat perbedaan tentang bentuk bumi. Ada yang menyatakan berbentuk bulat, ada yang menyatakan berbentuk kotak. Sebenarnya bagi orang zaman dahulu (kuno) ada beberapa cara untuk mengetahui bumi itu bulat. Antara lain menganggap kalau bulatnya bola adalah bentuk paling sempurna, Menganggap kalau bumi seperti bulan dan bulan mengalami fase-fase yang menunjukkan ia bulat, Pengamatan bedanya ketinggian bintang di berbagai lokasi, Pengamatan bedanya bayangan benda di berbagai lokasi, Pengamatan bayangan bumi saat gerhana matahari dan bulan, dan Pengamatan kapal yang datang dan pergi di cakrawala pelabuhan.
Dan akhirnya penulis menyadari terdapat banyak kesalahan dan kekurangan karena keterbatasan penulis. Namun penulis berharap semoga makalah yang singkat ini bermanfaat dan berkembang menjadi suatu keilmuan yang luar biasa. amiin



[1] Fahmi Amhar, Ketika geografi induk segala ilmu, dalam internet, diakses tangal 28 november 2010
[2]  Dalam referensi lain dinyatakan ia lahir pada 4 Oktober 973
[3]  Pada tahun 1953 daerah tersebut berada diwilayah Republik Soviet Sosialis Uzbek, yang saat ini menjadi wilayah Republik Uzbekistan
[4] Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord). Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.
[5]  Kh. U. Sadykov,  Abu Raihan Al-Biruni dan karyanya dalam Astronomi dan Goegrafi Matematika, Suara Bebas, Jalarta, 2007, h 12
[6] Kh. U. Sadykov,  Abu Raihan … Opcit, h 57
[7]  Dyayadi  MT, Alam Semesta Bertawaf keajaiban sains dalam Al-Qur’an, Lingkaran, Yogyakarta, 2008 h 272
[8] Yang artinya “… sesungguhnya Allah menyatukan malam ke dalam siang dan menyatukan siang ke dalam malam …” Penyatuan adalah proses yang lambat dan bertahap, malam secara perlahan dan bertahap berubah menjadi siang dan Siang secara lambat dan bertahap menjadi malam. Fenomena ini hanya mungkin terjadi apabila bumi bulat dan tidak mungkin apabila bumi datar. Apabila bumi datar maka akan sebuah terjadi perubahan yang mendadak
[9]  Al-Biruni, Al-Qanon al-Mas’udi fi al-Hai’ah wa al-Nujum, 1048, h 31
[10] Menurut Thomas Djamaluddin Penghamparan, dapat diartikan sebagai pembentukan superkontinen Pangaea di permukaan Bumi yang kemudian terpisah-pisah menjadi beberapa benua.
[11]  Dayat MT, Alam semesta …. Opcit, h 284
[12]  Kh. U. Sadykov, Abu Raihan …. Opcit, h 58
[13]  Al-Biruni, Al-Qanon … Opcit
[14] Maksudnya siapapun yang mendapatkan malam pada waktu itu atau siapapun yang dapat melihat bulan ketika itu, akan melihat proses gerhana. Proses gerhana adalah terhalangnya sinar bulan oleh bumi. Kita melihat proses gerhana bulan, kita akan melihat bayangan itu muncul bagaikan bola yang sedikit demi sedikit masuk hingga bayangan bola itu menutup secara penuh/tampak bayangan bola yang bundar kemudian bayangan bola itu keluar, itulah gamaran bumi. Sehingga dapat disimpulkan kalau bumi itu bulat
[15] Maksudnya tidak semua wilayah dipermukaan bumi yang bisa mengamati gerhana, hanya daerah yang tergelapi oleh bayangan bulan yang akan melihat gerhana matahari. Dan bagi yang dapat melihat gerhana, waktu dan lamanya gerhana akan berbeda-beda dari satu tempat dan tempat yang lain. Pada tempat yang menjadi pusat gerhana, akan melihat gerhana secara utuh dan lebih lama, semakin jauh tempat dari pusat gerhana, waktu gerhanapun semakin singkat bahkan tidak dapat melihat secara utuh. hal Ini menunjukkan bahwa bumi berbentuk bulat.
[16] Al-Biruni, Al-Qanon … Opcit
[17] Kh. U. Sadykov, Abu Raihan …. Opcit, h 58
[18]  Al-Biruni, Al-Qanon … Opcit

3 komentar: