Sabtu, 06 Agustus 2011

Qath'i dan Zhanni dalam Al-Qur'an


PENDAHULUAN
Nash nash dalam Al-Qur’an semuanya adalah pasti (qath’i) bila ditinjau dari datangnya, ketetapannya, dan ke-nukilan-nya dari rasulullah saw kepada ummtanya.[1] Artinya kita memastikan bahwa setiap nash al-Qur’an yang kita baca hakikatnya nash al-Qur’an yang diturunkan kepada Allah kepada Rasul-Nya, dan disampaikan oleh Rasulullah saw yang ma’sum kepada umatnya tanpa perubahan atau pergantian. Lantaran Ma’sumnya Rasulullah saw, maka ketika turun surat atau ayat disampaikannya oleh rasulullah saw kepada para sahabat dan dibacakan untuk ditulis (ada pula yang menulis untuk dirinya sendiri) serta untuk dihafal dan dibaca waktu melakukan shalat. Meraka juga beribadah dengan cara membaca pada setiap saat.
Rasulullah saw wafat ketika ayat al-Qur’an telah dita’winkan (dibukukan) menurut kebiasaan penta’winan bangsa arab. Ketika zaman Abu Bakar As-Shiddiq, beliau mengumpulkan al-Qur’an dengan pelantara Zaid bin Tsabit dengan sebagian para sahabat yang dikenal hafalannya. Kemudian Al-Qur’an dihimpun berdasarkan urutan yang pernah dibacakan Rasulullah saw semasa hidupnya. Upaya memelihara Al-Qur’an yang telah dihimpun ini dilakukan oleh Abu Bakar semasa hidupnya, kemudian dilanjutkan oleh umar bin khottob. Sepeninggal Umar, himpunan al-Qur’an itu diserahkan kepada putrinya Hafsah, Ummul mu’minin. ketika utsman menjadi khalifah, kumpulan al-Qur’an itu diambil dan di mushafkan (dibukukan) Pembukuan itu dilakukan melalui Zaid bin Tsabit dibantu beberapa sahabat kemudian dikirim kebeberapa negeri Islam.[2]
Dengan demikian Abu Bakar berhasil memelihara himpunan al-Qur’an, kemudian disebarkan keseluruh umat Islam, sehingga mereka tidak saling berbeda dalam membacanya. Demikianlah keadaan umat Islam yang jumlahnya telah mencapai jutaan manusia yang bermukim diberbagai benua seluruhnya membaca al-Qur’an tanpa ada perselisihan. Maka benarlah janji Allah SWT yang disebutkan dalam surat al-Hajr : 9
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهُ لَحَفِظُوْنَ
Artinya :“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya ،ami benar benar memeliharanya.” (Qs. Al hajr: 9)

Nash-nash Al-Qur’an itu bila ditinjau dari segi dalalah bagi hukum yang ada didalamnya dibagi menjadi dua bagian yaitu
a.   Nash yang Qath’i
b.  Nash yang Zhanni


QATH’I DAN ZHANNI
Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an ada kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif benar)[3]
Istilah qath’i dan zhanni masing masing terdiri atas dua bagian, yaitu yang menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber al-Qur’an. Semua bersepakat meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca kaum muslim diseluruh penjuru dunia adalah sama tanpa sedikit perbedaan dengan yang diterima Nabi Muhammad saw dari Allah melalui malaikat jibril
Al-Qur’an jelas qath’iy al-tsabut. Hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah Ma’lum min al din bi al dharurah (sesuatu yang sudah sangat jelas, aksomatik, dalam ajaran agama). Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qath’i al-tsubutnya al-Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur’an ada yang qath’i dan ada pula yang zhanni. yang menjadi persoalan adalah yang menyangkut kandungan makna redaksi ayat ayat al Qur’an ini.[4]
Ayat yang bersifat Qath’i adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.[5] Dalil-dalil qath’i dapat dipahami begitu saja dan penolakan terhadapnya berarti bentuk kekufuran. Misalnya, masalah akidah, seperti keyakinan terhadap surga dan neraka, serta yaumul hisab, adalah masalah-masalah agama yang tidak dapat dibantah lagi kepastiannya sehingga kita tidak punya alasan untuk tidak meyakininya.
Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafadz lafadz yang dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk di ta’wilkan[6]
Sedangkan menurut syeh Abdul wahab nash qath’i yaitu dalil yang menunjukkan arti yang dapat dipahami dengan jelas, tidak mengandung ta’wil dan tidak ada lapangan untuk memahamkan artinya itu selain dari itu. Sedangkan nash dalil zhanni yaitu apa yang menunjukkan makna tapi mengandung hal-hal untuk menta’wilkan dan menyimpang dari arti ini yang dimaksud olehnya adalah arti lain.[7]
Selain itu beliau juga memberikan pengertian qath’i adalah nash yang menunjukkan makna yang pemahaman makna itu dari nash tersebut telah tertentu dan tidak mengandung ta’wil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu. Sedangkan nash yang zhanni adalah nash yang menunjukkan atas suatu makna akan tetapi masih memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya.[8]
Sedangkan keterangan Quraish Syihab menyebutkan bahwa Qath’i al-dalalah pada hakikatnya adalah yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks) :  tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut)[9]
Menurut syekh Abu Al-‘Ainain badran abu ainan menyatakan Qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya.[10]
Nash al-Qur’an yang qath’i merupakan bagian integral dari dogma, dan orang yang menolak atau mengingkari validitasnya secara otomatis mengingkari Islam. Tetapi pengingkaran terhadap nash zhanni tidak berarti pelanggaran hukum. Mujtahid berhak memberinya suatu penafsiran sehingga penguasa dapat memilih salah satu dari berbagai penafsiran untuk dilaksanakan.[11] Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk dita’wilkan ke makna lain.[12] Dengan adanya nash-nash yang zhanni ini merangsang para mujtahid mengembangkan ilmu-ilmu fiqh sebagai wujud keluasan hukum Islam. Ali Tafi dan Sahal Mahfuzh, menyatakan bahwa sebagian ulama’ Fiqh Indonesia pernah melontarkan pemikiran tentang fiqh social. Fiqh social dimaksudkan untuk menambah khazanah fiqh yang mempunyai orientasi social, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kepada masalah-masalah social. Fiqih bukan saja seperangkap hukum yang mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mahdhah kepada Allah saja, tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan orang lain (muamalah) dengan berbagai macam dimensi: politik, ekonomi, budaya, dan hukum.
Fiqih social dimaksud, mempunyai asumsi bahwa fiqh adalah al-ahkam al-amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggung jawab atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain sehingga kemaslahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fiqh diukur oleh relevansinya dalam membawa masyarakat kearah yang lebih makmur, dinamis, adil, dan beradab (mashlahat), karena prinsip syari’ah Islam diterapkan untuk memberikan kepastian perlindungan dalam lima aspek penting yang perlu dikawal. Pertama, yang paling pokok adalah perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup (Hifz al-nafz). Kedua, perlindungan atas keyakinan (hifzh al-din), sehingga pada hakikatnya menekankan pada ajaran “tidak ada paksaan” dalam memeluk keyakinan. Ketiga, perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-Aql), yang mana islam memuliakan pengetahuan dan menentang pelanggaran terhadap akal sehat. Keempat, perlindungan terhadap hak milik (hifzh al-mal), yang dalam konteks hukum Islam adalah keharaman mencuri dengan segenap variannya, termasuk korupsi tentunya. Kelima, hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik (hifzh al-nasl).
Demikianlah hikmah adanya zhanni dalam aspek syari’ah Islam, yang merangsang munculnya inovasi baru di antara metode fuqaha’ dalam menyikapi kasus-kasus yang berkembang di tengah umatnya.
Muhammad Arkoun menulis tentang ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut : “kitab suci itu mengandung kemungkinan makna yang tidak terbatas, ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat yang dasariyah, eksistensi yang absolut. Ia dengan demikian selalu terbuka, tidak pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna”. Pendapat ini sejalan dengan tulisan Abdullah Darraz. beliau menulis : “Apabila anda membaca al-Qur’an maknanya akan jelas dihadapan anda, tetapi bila anda membacanya selaki lagi maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu, demikian seterusnya. Sampai-sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar. (ayat-ayat al-Qur’an) bagaikan intan, Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”[13]

Sementara itu Al-Syatibhi menulis demikian : ”Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai dengan penggunaan (istilah) yang populer.” yang dimaksudkan adalah istilah yang dinukil diatas, atau yang semakna dengannya, seperti dijelaskan oleh Ali abdul wahhab, mereka merumuskan definisi populer tersebut dengan tidak adanya kemungkinan untuk memahami dari suatu lafadz kecuali maknanya yang dasar itu.
Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara’ (jika berdiri sendiri) ini karena apabila dalil-dalil syara’ tersebut bersifat ahad, maka ia tidak dapat memberi kepastian. Sedangkan bila dalil tersebut bersifat mutawattir lafadznya maka untuk menarik makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqoddimah) yang tentunya harus bersifat pasti (qath’i) pula. Dalam hal ini premis premis tersebut harus bisa mutawatir. Ini tidak mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besar bersifat ahad dalam arti zhanniy (tidak pasti).
Muqaddimat yang dimaksud al-Syatibhi diatas adalah yang dikenal dengan al-ihtimalat al ‘asyrah (sepuluh kemungkinan) yakni
1.      Riwayat riwayat kebahasan
2.      Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan gramatikal (nahw)
3.      Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan perubahan kata (shorof)
4.      Redaksi yang dimaksud bukan kata bertimbal (Ambigu, musytarak)
5.      Redaksi yang dimaksud bukan kata metafonis (majaz)
6.      Tidak mengandung peralihan makna
7.      Sisipan (idhmar)
8.      Pendahuluan dan pengakhiran (taqdim wa ta’khir)
9.      Pembatalan hukum (Nasikh)
10.  Tidak mengandung penolakan yang logis (‘Adam al-mu’aridh al-‘aqliy)
Tiga yang pertama kesemuanya bersifat zhanni, karena riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ahad. Tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui al istiqro’ al-tam (metode induktif yang sempurna) dan hal ini mustahil. Yang dapat dilakukan hanyalah Al-istiqro’ al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan hal ini tidak menghasilkan kepastian. Dengan kata lain yang dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat zhanni.
Dengan demikian menurut al-Syathibhi tidak ada yang qath’i dalam al-Qur’an jika ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri. Kepastian makna (qath’iyah al-dalalah) suatu nash muncul dari sekumpulan dalil zhanni yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sam dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu memberi “kekuatan” tersendiri. Ini pada ahirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat zhanni lagi. Ia telah meningkat semacam mutawatir ma’nawiy, dan dengan demikian dinamailah ia sebagai qath’i al-dalalah.[14]

CONTOH YANG QATH’I
1.      
أَقِيْم الصَّلَاة
Artinya : “ Dirikanlah Shalat”

Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada nash Al-Qur’an yang berbunyi Aqimu Al-Shalah, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat Al-Qur’an yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. kepastian tersebut datang dari pemahaman  terrhadap nash-nash lain (yang walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh diatas, ditemukan selaan banyak ayat atau hadits yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut :
a.       pujian kepada orang-orang yang shalat
b.      celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.
c.       perintah kepada  mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang dalam keadaan berdiri atau –bila udzur– duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat.
d.      Pengalaman-pengalaman yang telah diketahui secara turun temurun dari Rasulullah saw, sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat Aqimu al-Shalah secara pasti atau qath’iy mengandung makna wajibnya shalat. juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya.[15] Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimus shalah, menjadi aksioma. Di sini  berlaku ma’lum min al-din al-dharurah. Biasanya, ulama-ulama Ushul Fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab jika mereka menunjuk kepad nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang  –bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’ itu-  untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Maka, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma’.
2.       QS. An-Nisa’ : 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُم اِن لَّم يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”. (Q.S. An Nisa’ : 12).

Ayat ini adalah qath’i dalalahnya bahwa bagian suami (bila ditinggal mati istri) adalah seperdua atau separuh, tidak bisa lainnya. (yakni yang lain dari seperdua) atau dipahami dengan fersi lain.[16]

3.       QS. An-Nisa’ : 11
يُوصِيكُمُ اللهُ فِى أَوْلدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الآُنْثَيَيْنِ فَاِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اُثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَاكَ وَاِن كَانَتْ وّاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Artinya : “ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian anak perempuan dan jika anak itu semuannya perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta”. ( Q.S. An Nisa’ : 11 ).
     
Menurut ulama’ ushul fiqh ayat diatas mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.[17]
4.       QS. An-Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّنِى فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاْئَةً جَلْدَةٍ
Artinya : “ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduannya seratus kali dera”. (Q.S An Nur : 2)
Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih, dan tidak kurang.[18]

5.       Dalam kafarat sumpah. Allah berfirman (QS. Al-Maidah :89)
فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامٍ
          Artinya : “ Maka berpuasalah selama tiga hari “. (Q.S. Al Maidah : 89)
     
Puasa tiga hari untuk kafarat sumpah, menurut para ulama’ ushul fiqh mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain[19]


6.             QS. An Nur : 4
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتَواْ بِأَرْبَعَةِ ِشُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمنِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لهمْ شَهَادةً أَبَدًا وَأُولئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ

Artinya “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan ia tidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata “delapan puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain, dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah.[20]
CONTOH YANG DZANNIY
1.       QS. Al Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَر بصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (Q.S. Al Baqarah : 228).
     
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih).  Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’. dengan demikian, akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’i. karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu  (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haidh.[21]
2.       Q.S. Al Maidah : 3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ المَيْتَةُ وَالدَّمُ
Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Q.S. Al-Maidah : 3).
         
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.[22]

3.       Q.S. Al Maidah : 38
وَ السَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أيْدِيَهُمَا جَزَاءَ بِمَا كَسَبَا نَكاَلاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزُ حَكِيْمٌ
 Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al Maidah : 38).
   
Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah saw. kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini menurut para ulama’ usul fiqh bersifat zhanni (relatif benar) oleh sebab itu para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.[23]

CONTOH YANG QATH’I DAN ZHANNI
Suatu ayat dapat menjadi qath’iy dan zhanniy pada saat yang sama firman Allah yang berbunyi :
وَامْسَحُوا بِرُئُوسكُمْ
Artinya : “ Dan basuhlah kepalamu ”
         
Adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwudhlu. tetapi ia zhanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. ke qath’iyan dan ke zhanniyan tersebut disebabkan karena seluruh ulama’ ber-ijma’ (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhlu berdasarkan berbagai argumentasi. namun mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafadz biru’usikum. dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’iy bi i’tibar wa zhanniy bi i’tibar akhar (disuatu sisi qot’iy dan disisi lain zhanniy). di suatu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti dan disisi lain ia memberi berbagai alternatif makna.[24]


PENUTUP
          Masalah qath’iy dan zhanni bermuara kepada sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama’ (mujma’ ‘alayh) sehingga tidak mau lagi timbul makna yang lain darinya kecuali makna yang telah disepakati itu. Dalam hal kesepakatan tersebut, kita perlu mencatat beberapa butir masalah :
a.       Walaupun para ulama’ berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sebagai dalil, namun agaknya tidak diragukan bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada abad-abad pertama tentu mempunyai banyak alasan untuk sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya ia menjadi qath’i al-dalalah
b.      Harus disadari bahwa dalam banyak kitab seringkali ditemukan pernyataan-pernyataan ijma’ menyangkut berbagai masalah (aqidah dan syari’ah) namun pada hakikatnya masalah tersebut tidak memiliki ciri ijma’
c.       Tidak semua alim atau pakar dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan kesepakatan (ijma’) tersebut. Ibrahim bin Umar al-Biqa’iy menulis: “Tidak dirujuk untuk mengetahui ijma’ kecuali para pakar yang mendalami riwayat-riwayat”
d.      Umat Islam kerap kali beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi kesepakatan para ulama’. Padahal sesungguhnya hal tersebut baru merupakan kesepakatan antar ulama’ madzbabnya. Hal ini bararti bahwa yang disepakati ke-qath’i-annya haruslah diteliti dengan cermat.[25]
          Dari uraian pembahasan yang sederhana ini, telah tampak jelas bahwa Islam adalah agama yang memiliki keluasan dan keluwesan hukum syar’i, dan tidak mengalami kekakuan, kesempitan dalam ruang dan waktu.
Dalil yang zhanni merupakan karunia rahmat Allah swt guna membuka peluang bagi manusia untuk mengerahkan segala kemampuan nalarnya memecahkan pernik-pernik persoalan keutamaan yang sangat beragam setiap zaman, agar terwujud hal yang paling baik (ashlah) bagi umat, yang paling layak dan pantas dengan zaman dan kondisinya, dengan selalu memperhatikan tujuan (maqasid) syari’ah yang umum serta memedomani jiwanya dan nash-nash yang muhkamat.
Untuk itu ijtihad merupakan instrument penggalian hukum Islam yang memiliki peran yang sangat penting ditelaah dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mencari ridha Allah swt.


[1] Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-kaidah hukum Islam (ushul fiqh), PT Raja Grafindo persada, jakarta, 1996, cet vi, h 43
[2] Abdul wahab khallaf’ ilmu ushul fiqh, Gema risalah press, bandung, 1997, cet II, h 61
[3] Nasrun Haroen, ushul fiqih, PT Lagos wacana ilmu, ciputat, 1997, h 32
[4] Quraissh syihab, membumikan al-qur’an, Mizan, Bandung, 1999, cet XIX, h 137
[5] Nasrun Haroen, op.cit h 32
[6] Nasrun Haroen, op.cit h 33
[7] Abdul wahhab khallaf, ilmu ushul fikih, Rineka cipta, jakarta, 2005, cet v h 34
[8] Abdul wahhab khallaf, almu ushul fiqh, dina utama, semarang, 1994, h 38
[9] Quraisy shihab, op.cit. h 137
[10] ibid, h 139
[11] Syalthut, al-Islam, h. 498-499 (dan lihat juga Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 71)
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Dar al-Kuwaytiyah, Kuwait: 1968, cet. VIII, h. 38
[13] Quraisy Shihab, op.cit, h 138
[14] Ibid, h 139-140
[15] Ibid, h 141
[16] Abdul wahhab khallaf, Dina utama, op.cit. h 36. Lihat pula buku buku ushul fiqh karangan abdul wahhab khallaf lainnya.
Dalam tafsir al-maraghi disebutkan : dan bagian dari kalian setengah dari apa yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, apabila ternyata kalian tidak mempunyai anak, apakah anak tersebut berasal dari hubungan si mayit denganmu, atau hasil perkawinan orang lain. Sama saja apakah anak itu laki-laki atau perempuan, sedikit atau banyak, apakah anak tersebut anak kandung si mayyit, atau atau anak dari anak lelakinya, atau anak lelaki dan anak lelakinya, sama saja. Kemudian sisa tirkah diberikan kepada anak-anak si mayit dan kedua orang tuanya. Dan tidak diisyaratkan bagi pewaris istri , hendaklah sang suami telah menyetubuhinya, tapi cukup dengan akad nikah saja (sudah bisa mewaris)
[17] Chairul umam, Ushul fiqih I, pustaka setia, bandung, 1998, h 54
Dalam tafsir al-maraghi dijelaskan : Al-wasiyyah adalah suatu pekerjaan yang engkau janjikan kepada orang lain, misalnya engkau mengatakan : ” Aku wasiatkan (janjikan) kepada sang guru agar ia mendidik anakku yang masih kecil memberinya pelajaran apabila terdapat hal-hal yang kurang baik pada dirinya.” Pengertian kata itu pada hakikatnya adalah perintah yang ditujukan kepada seseorang agar ia melakukan suatu pekerjaan yang telah dijanjikan sebelumnya.
Makna ayat itu ialah Allah memerintahkan dan mewajibkan kalian tentang anak-anak kamu setelah kamu tiada, atau mengenai warisan mereka sesuai apa yang berhak mereka terima dari harta kamu, apakah mereka laki-laki, perempuan, dewasa, atau anak-anak. Dalam hal ini tidak diperselisihkan lagi bahwa anak laki-laki dan anak laki-laki kedudukannya sama dengan anak laki-laki apabila dia telah tiada, atau ia tidak berhak mewarisi karena adanya penghalang yang melenyapkan hak warisnya. Misalkan ia membunuh orang yang akan diwarisinya. Untuk bagian leleki dari anak-anak mereka sama dengan bagian dua orang dari anak-anak perempuan mereka. apabila mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan sengaja yang dipilih disini adalah kalimat ini, tidak memakai istilah lil unsa nisfu hazziz dzakari, sebagai isyarat bahwa bagian dari anak perempuan itu sudah ditetapkan dan sudah dimaklumi, sedangkan bagian laki-laki dua kali lipat bagian dari bagian tersebut juga mengandung isyarat yang membatalkan tradisi yang sejak zaman jahiliyah. Yaitu melarang kaum wanita mewarisi 
Hikmah yang terkandung dalam bagian lelaki dua kali lipat bagian perempuan adalah bahwa lelaki membutuhkan nafkah untuk diri dan istrinya karena ia diberi dua bagian. Adapun perempuan maka ia hanya membutuhkan nafkah untuk dirinya. dan apabila ia menikah maka nafkahnya ditanggung oleh orang yang menjadi suaminya.
[18] Abdul wahhab khallaf, kaidah-kaidah hukum islam, op.cit. h 45
Dalam tafsir al-maraghi disebutkan barang siapa diantara laki-laki atau perempuan, sedang mereka adalah orang yang merdeka, baligh, berakal, bukan muhsan, dengan mempunyai istri/suami, meka deralah masing-masing seratus kali deraan, sebagai hukuman baginya karena telah melakukan kema’siatan kepada Allah.
[19] Chairul umam, op.cit. h 55
[20] Dalam ayat ini Allah melarang menuduh berzina wanita baik-baik, bahkan mengancam orang yang menuduh itu dengan hukuman yang berat didunia dan akhirat. Hukumannya didunia adalah deraan dan tidak diterima kesaksianya untuk selama-lamanya, sehingga tidak ada harganya dihadapan banyak orang, dan perkataanya tidak akan didengar. Sedang hukuman diakhirat adalah azdab yang pedih dan menyakitkan. Dalam tafsir al-maraghi disebutkan : Sesungguhnya orang-orang yang mencela wanita baik-baik dari kaum muslimin yang merdeka, dan menuduh mereka berbuat zina, lalu tidak menguatkan tuduhannya itu dengan mendatangkan empat orang saksi adil yang menyaksikan bahwa mereka melihat wanita itu berbuat zina, maka deralah mereka delapan puluh kali deraan, sebagai balasan atas perbuatannya yang mengotori kehormatan orang dengan jalan yang tidak benar.
Kemudian tolaklah dan jangan terima kesaksiannya untuk selama-lamanya dalam perkara apapun
Mereka itu adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan terhadap tuhannya, karena mereka melakukan kefasikan dan dosa besar dengan menuduh secara dusta wanita mu’minat baik-baik yang sedang lengah.
[21] Abdul wahhab khallaf, Gema risalah press, op.cit h 62
[22] ibid
[23] Choirul umam, op.cit. h 54. Lihat juga ushul fiqih karangan masrun haroen
[24] Quraisy Shihab, op.cit. h 140
[25] Ibid, h 141-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar