Selasa, 09 Agustus 2011

Tawaran Syahrur tentang Teori Hudud


A.    PENDAHULUAN
Saat ini banyak cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Pertama, problem modernitas. Poin ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau-tidak mau meniscayakan sebuah rekontruksi, bahkan disaat-saat tertentu dekontruksi, atas pemahaman yang telah dibawa sejak abad VII masehi dan mengalami taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, Kesadaran internal muslim akan adanya anamoli dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks Al-Qur’an, entah itu mengarah pada ranah hukum, (fiqih), aqidah, ataupun masalah-masalah yang terkait dengan IPTEK.[1]
Disamping hal diatas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada arab, tradisi yang dipakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh arab.[2]
Berbicara mengenai hudud, (terutama mengenai syahrur) biasanya terdapat kajian tentang tirani. Tirani dalam kamus bahasa Indonesia adalah kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang. Atau didefinisan Suatu Negara yang diperintah seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sesuka hatinya.[3]
 Lalu Menurut syahrur manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan suatu bentukan dari masa lalu yang penuh dengan hiruk-pikuk polemik politik.  Dengan kata lain gagasan ini muncul karena melihat narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkemal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah umayyah dan abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqih. Syahrur melihat tirani terjadi dalam enam ranah.[4]
Disini syahrur berpendapat perlunya sebuah konstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, syahrur membayangkan bahwa jika Al-Qur’an itu diturunkan saat ini. Ketiga bahwa kontruksi konsep Negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya Negara Islam. Keempat, Perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh Negara Islam.[5]

B.     BIOGRAFI DR. Ir. MUHAMMAD SYAHRUR
1.   Riwayat Hidup
Prof. DR. Ir. Muhammad Syahrur, seorang cendekiawan asal syiria dilahirkan di Syuriah, Damaskus pada 11 April 1938.[6] ayahnya bernama Daib. pendidikan dasar dan menengahnya adalah Obtidaiyyah, I’dadiyah, dan tsanawiyah dijalaninya di Al-Midan pinggiran kota sebelah selatan Damaskus. Beliau menyelesaikan dan memperoleh ijasah dari madrasah Abdur Rahman Al-Kawakibi tahun 1957.[7] Kemudian dikirim oleh pemerintah ke Uni Soviet untuk menempuh pendidikan teknik sipil di Moskow dan memperoleh ijasah diploma tahun 1964. Di sana Syahrur sempat berteman dengan Ja’far Dek Al-Bab yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran linguistiknya.[8] kemudian Syahrur ditunjuk menjadi asisiten dosen dan mengajar pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus. Tidak lama setelah mengajar di Universitas Damaskus, dia diutus Universitas damaskus ke Irlandia untuk menempuh program Magister dan Doktor bidang teknik sipil khususnya dalam hal pedologi dan agrologi (ada juga yang menyebut dengan soil mechanics dan foundation engineering) pada University College di Dubin. Pada waktu di Irlandia inilah syahrur mulai menyusun buku al-Qur’an wa al-kitab; Qiroah Mu’asharah.[9] Syahrur lalu diangkat menjadi Profesor jurusan teknik sipil di Universitas Damaskus dan mengajar mata kuliah Mekanika pertahanan dan geologi. Dengan demikian, Syahrur sebenarnya bukan seorang ulama maupun pakar di bidang ilmu tafsir, fiqih maupun linguistik. Latar belakang studinya adalah teknik sipil (handasah madaniyah) dan teknik pertanahan (handasah al-turbah) dan bangunan. Meskipun begitu, Syahrur sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syariat dan dekonstruksi tafsir Al-Quran. Beberapa hukum Islam dan kaedah Ilmu Tafsir pun dirombaknya dengan berbekal Ilmu Teknik dan mengandalkan asal-usul ke-Arabannya. Beliau juga pernah menjadi salah satu tenaga ahli pada Al-Saud Consult kerajaan Saudi Arabia.  Karyanya yang berhubungan dengan teknik adalah Handasah al-asasiyah (tiga juz), handasah al-Turabiyah (satu juz). Sedangkan karyanya dibidang keislaman adalah Al-Quran wal Kitab, Qira’ah Mu’ashirah (Al-Qur’an dan al-Kitab, pembacaan kontemporer) (1990) yang ditulisnya selama 20 tahun, Dirasat Islamiyah mu’ashirah fil-daulah wal-mujtama (Wawasan Islam kontemporer tentang Negara dan masyarakat), Nahwa Ushul jadidah lil-fiqh al-mar’ah (2000, 400 hal) Al-Dawlah wa al-Mujtama’ (1994, 375 hal), Al-Islam wa al-Iman (1996, 400 hal), serta Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008, 300 hal), Al-Islam wa Al-Iman: Manzumat Al-Qiyam, dan Masyru’ Misaq Al-Amal Al-Islami. yang sangat dikagumi kalangan liberal, dan lain-lain. Disamping bentuk buku, syahrur juga banyak menuangkan buah pikirannya lewat karya-karya lain yaitu dalam bentuk makalah baik yang dipresentasikan dalam seminar, maupun yang dipubikasikan melalui internet, jurnal, dan majalah.[10] Pengaruh latar belakang pendidikannya sebagai insinyur teknik, syahrur terlihat memanfaatkan ilmu alam; khususnya matematika dan fisika. Hasil kajiannya merupakan sesuatu yang unik khususnya bagi usaha penafsiran kembali Al-Qur’an dan As-Sunnnah. Meskipun dengan rendah hati syahrur menyatakan bahwa bukunya hanya sebuah “pembacaan kontemporer” terhadap Al-Qur’an, sama sekali bukan sebuah karya dalam bidang penafsiran atau hukum. Tetapi menurut Wael B. Hallaq, buku Syahrur memiliki kedalaman dan keluwesan yang tak tertandingi oleh tulisan modern lain dalam pembahasan topik hukum.[11]
Syahrur tergolong pemikir yang gigih. Ia harus menghadapi berbagai kecaman dan ancaman yang ditujukan pada dirinya karena ide-idenya yang sangat orisinal dan berani. Saat ini ia tengah menjadi objek kritikan di dunia arab. Sekitar 15 buku ditulis untuk menyerang pemikirannya. Dalam berbagai kesempatan ia dituduh oleh para syeh dan ulama’ sebagai seorang murtad, kafir, setan, komunis, pencipta agama baru, dan sebagainya. Hal itu masih ditambah lagi dengan larangan secara resmi beredarnya buku-buku Syahrur dari pemerintah Negara-negara timur tengah. Karena tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun lembaga pendidikan Islam, maka Syahrur harus berjuang sendiri dari kantor kecilnya di perempatan Muhajirin Damaskus.  Syahrur hanya mengandalkan dukungan dari sejumlah kecil pribadi dan sokongan tak resmi dari pemerintah Syiria yang tidak menginginkan terulangnya kasus Nashr Hamid Abu Zayd diMesir.[12]

2.   Kondisi Sosial dan Politik Syiria
Syria merupakan negara yang kurang lebih 90% penduduknya adalah muslim, terdiri dari mayoritas Sunni, lainnya pengikut ‘Alawi (Syi’ah) dan Druze. Selebihnya adalah penganut agama lain, seperti Kristen Ortodoks (Yunani, Armenia dan Suriah) dan Yahudi. Agama, khususnya Islam menjadi suatu kekuatan politik dan sosial di Syria.
Seperti umumnya yang dialami oleh negara-negara Timur Tengah, Syria pernah menghadapi problem modernitas khususnya faktor hubungan antara agama dengan gerakan modernisasi Barat. Problem ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki. Problem ini pada gilirannya memunculkan tokoh-tokoh semacam Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Tahir al-Jazayri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria.
Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan tanzimat yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus dapat meramu rasionalitas, kemajuan dan modernitas dalam bingkai agama. Perjuangan al-Qasimi diteruskan oleh Tahir al-Jazayri beserta teman-temannya dan gagasannya kali ini lebih mengarah pada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari sinilah terlihat, bahwa iklim intelektual di Syria, setingkat lebih “maju” dibandingkan dengan negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria, lebih nyata dan menjanjikan dari pada di negara-negara Arab lainnya, sehingga karena itu pulalah orang-orang “liberal” seperti Syahrur dapat bernafas lega di Syria untuk menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim lainnya
Perkembangan Syria secara politik, tercatat adanya masa-masa kelam. Sejak berhasil merebut kemerdekaan tahun 1946 dari tangan Perancis, sampai tahun 1970, Syria mengalami masa transisi dan instabilitas politik. Tampuk pemerintahan selalu mengalami pergantian dalam waktu yang relatif singkat melalui kudeta. Konflik-konflik yang bernuansakan kepentingan politis maupun sara (suku, adat, ras dan agama) selalu mewarnai dan melatar belakangi terjadinya berbagai konflik yang ada. Seperti konflik antar partai yang beraliran nasionalis, sosialis dan Islam, juga konflik antar etnik dan aliran keagamaan seperti ‘Alawi (Syi’ah) dan Sunni. Konflik-konflik tersebut tidak saja terbatas pada dataran ideologi. Akan tetapi, sampai menjurus pada konflik berdarah yang memakan banyak korban jiwa. Masa transisi dan instabilitas sosial politik bisa dikatakan “berakhir” pada masa kekuasaan partai Ba’ath di bawah pimpinan jenderal Hafiz al-Asad pada tahun 1970. Partai Ba’ath mendapat sambutan di kalangan masyarakat pelajar. Hal ini dikarenakan pada awalnya memang partai ini berorientasi pada para golongan intelektual. Di samping itu, yang menjadikan partai Ba’ath mendapat sambutan yang begitu besar karena ideologinya, yaitu: Pertama, upaya melakukan reformasi. Kedua, partai Ba’ath adalah partai yang selalu menganjurkan persatuan seluruh bangsa Arab dan Ketiga meskipun Aflaq seorang non-muslim, namun dia meyakini hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Islam dan Arabisme. Sehingga toleransi beragama harus tetap terjaga.
Semenjak berkuasa, ia secara totaliter banyak meredam aksi-aksi pemberontakan dan perlawanan musuh politiknya dengan berbagai macam cara.
Syria di masa Syahrur adalah negara merdeka as a democratic socialist republic, menganut paham demokrasi yang sekuler, berbentuk republik, menganut sistem perekonomian sosialis, dan sistem pemerintahannya presidensil. Undang-undangnya menyebutkan bahwa Islam sebagai agama resmi negara, presiden harus beragama Islam dan hukum Islam menjadi sandarannya. Namun pada prakteknya hukum Islam hanya diterapkan di dataran perdatanya saja seperti pada hukum waris dan nikah, sementara hukum pidana diadopsi dari hukum Perancis, hukum Islam hanya diambil filosofinya saja. Sementara bagi komunitas agama lain disediakan peradilan untuk menangani urusan perkawinan, perceraian, dan waris. Tujuan pemerintah Syria (di bawah Asad saat itu) dalam mencamtumkan hal-hal berbau Islam di atas, ke dalam undang-undang dasar Syria merupakan bentuk siasat kompromi untuk meredam aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin di bawah pimpinan Mustafa al-Siba’i pada 1973. Akan tetapi, hal itu tidak berhasil memupus habis pemberontakan hingga ke akar-akarnya.
Pemerintahan partai Ba’ath dikenal sebagai rezim otoriter. Mereka berkuasa sejak tahun 1963 di bawah kekuasaan Junta militernya hingga sekarang (partai ini mempunyai dua sayap militer dan sipil) Hafiz al-As’ad. Sistem perpolitikan, Syria menganut sistem demokrasi dengan multipartai. Presiden dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan masa jabatan presiden dibatasi selama 7 tahun. Pemilihan umum dilakukan untuk memilih partai-partai yang akan menjadi anggota dewan legislatif (Majlis al-Sha’ab), anggota lembaga ini dipilih setiap 4 tahun sekali melalui proses pemilihan umum. Sistem pembagian kekuasaan juga menganut teori trias politica, di mana kekuasaan dibagi menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun pada prakteknya kekuasaan centralized hanya pada presiden, sebab keputusan diambil atas persetujuan presiden.
Partai politik di Syria kurang lebih ada sembilan, di antaranya adalah: Partai Nasionalis, Partai Rakyat, Partai Ba’ath, Partai Komunis, Partai Sosialis Nasionalis Syria, Ikhwanul Muslimin, Partai Sosialis Kooperatif, Gerakan Kemerdekaan Arab dan Partai Kemerdekaan. Diantara kesembilan partai politik yang ada, Partai Ba’athlah yang terbesar dan selalu mendominasi perolehan suara pemilihan umum dan pemerintahan.
Komposisi pemerintahan Syria adalah koalisi. Dari beberapa unsur partai yang ada, semua kembali pada unsur etnis atau kelompok agama tertentu, seperti: kaum Sunni yang bermarkas di Damaskus, Aleppo, Homs dan Hama, kaum Kristen dan kaum Shi’ah Alawi bermarkas di daerah Lataqia dan kaum Druze bermarkas di daerah-daerah pegunungan terpencil. Secara nominal, kaum Sunni merupakan komunitas terbesar. Akan tetapi, secara politis mereka adalah kelompok minoritas, terutama jika dibandingkan dengan kaum nasionalis pimpinan Partai Ba’ath. Hal ini dikarenakan secara historis, penjajah Perancis memang tidak menghendaki berkuasanya kaum Sunni di Syria. Akan tetapi, mereka juga tidak bisa mengubah realitas masyarakat Sunni yang memang mayoritas. Untuk itu, mereka perlu menerapkan strategi bawah tanah dengan menempatkan blok minoritas pada posisi-posisi strategis di pemerintahan. Kaum Alawi serta kaum Druze yang minoritas oleh penjajah Perancis diberi jabatan di pos militer. Strategi ini kemudian terbukti berhasil dan partai Ba’ath dapat menguasai pemerintahan melalui kudeta militernya pada tahun 1963.
Kebijakan Asad adalah menerapkan sistem pemerintahan sekuler. Ia menekankan agar selalu konsisten menjauhkan agama dari urusan politik. Akan tetapi, hal ini tidak berarti menjauhkan agama dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Syria. Sebagai contoh didirikan Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus dan Fakultas Bahasa Arab yang mengajarkan sejarah dan peradaban Islam. Sekolah-sekolah keagamaan mendapat kebebasan dan subsidi dari pemerintah. Buku-buku keagamaan bebas beredar dari kalangan anak-anak sampai dewasa dengan berbagai topik kajian, televisi dan radio milik pemerintah juga menyiarkan hal-hal yang berbau agamis seperti kajian Islam, da’wah-da’wah keislaman, juga acara-acara yang bertemakan pelestarian budaya masyarakat Syria. Dengan demikian, tujuannya adalah agar masyarakat bebas mengekspresikan diri dalam hal-hal keagamaan dan tidak sampai membawa agama kepada political act yang nantinya dapat membahayakan kekuasaannya.
Berdasarkan keadaan negara seperti di atas, adalah iklim yang memungkinkan Syahrur untuk dapat hidup bebas dan berkembang di Syria. Tidak seperti nasib yang dialami oleh rekan sezamannya, Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir yang mengalami nasib tragis, diperlakukan kasar, dicap murtad, kafir bahkan diusir dari tanah airnya sendiri oleh pemerintah dan kelompok yang tidak setuju dengan gagasan-gagasan dan pemikirannya.

  1. Fase-Fase Pemikiran Syahrur.[13]
Fase Pertama (1970-1980 M). Fase ini diawali ketika Syahrur mengambil jenjang Magister dan Doktor dalam bidang teknik sipil di Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Fase ini adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya serta istilah-istilah dasar dalam al-Qur’an sebagai al-Dzikr. Fase ini belum membuahkan hasil pemikiran terhadap al-Dzikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiran-pemikiran taqlid yang diwariskan dan masih eksis dalam khazanah karya Islam lama dan modern, di samping cenderung pada Islam sebagai ideologi (aqidah) baik dalam bentuk kalam maupun fiqh madhab.
Fase kedua (1980-1986 M). Pada tahun 1980, ia bertemu dengan teman lamanya, Ja’far Dek al-Bab (yang mendalami studi bahasa di Uni Soviet antara 1958-1964). Pada kesempatan itu, ia menyampaikan perhatian besarnya terhadap studi bahasa, dan pemahaman terhadap al-Qur’an. Lewat Ja’far Dek al-Bab, Syahrur belajar banyak tentang linguistik termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan al-Farra’, Abu ‘Ali al-Farisi serta muridnya, al-Jinni, dan al-Jurjani. Sejak saat itu, ia mulai menganalisis ayat-ayat al-Qur’an dengan model baru, pada tahun 1984, ia mulai menulis pokok-pokok pikirannya bersama Ja’far Dek al-Bab yang digali dari al-Kitab.
Fase ketiga (1986-1990 M). Fase ini, ia mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topik-topik tertentu. Pada akhir tahun 1986 dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari al-Kitab wa al-Qur’an, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai tahun 1990.

4.   Metodologi Muhammad Syahur.
Epistimologi[14]
Terdapat satu kata kunci yang dapat menunjukkan epistimilogi yang dianut oleh Syahrur dalam studi keislamannya. Kata kunci tersebut adalah al-haqq (yang benar). Menurut syahrur Al-qur’an sendiri menintroduksi kata al-Haqq dan bahkan sering mengkontraskannya dengan al-bathil (yang salah). Syahrur berpandangan bahwa antara al-haqq dan al-bathil merupakan dua hal yang bertentangan yang menjadi dasar pijak pengetahuan manusia. Oleh karena itu Al-Qur’an memperingatkan para manusia untuk tidak turut campur antara keduanya. Syahrur sangat yakin bahwa teori pengetahuan manusia menurut Al-Qur’an adalah membedakan antara al-haqq dan al-batil, kemudian setelah itu tidak boleh mencampurkan keduanya. Aktivitas perbedaan ini tidak pernah berhenti, karena memang kegiatan ini selalu terkait dengan perkembangan situasi dan problem historis manusia sepanjang zaman.
Akhirnya dapatlah dikatakan bahwa epistimologi Syahrur merupakan epistimologi yang khas. Bila dalam dunia filsafat perpaduan antara rasionalisme dan empirisisme melahirkan metode ilmiyah, maka perpaduan antara wahyu, akal, dan indera seperti yang diusulkan Syahrur akan menghasilkan pengetahuan keislaman yang modern.
Pendekatan  Linguistik-empiris-rasional[15]
Dalam menjalankan pendekatan ini, hal pertama yang dilakukan Syahrur adalah menelusuri arti kata-kata Arab dalam Syair-syair jahiliyah yang pada akhirnya mengantarkanya menemukan interprestasi baru bagi ajaran-ajaran yang telah lama dianggap benar. Analisa kebahasaan ini dipergunakan ketika mengkaji teks-teks al-Qur’an. Setelah itu Syahrur menggunakan premis-premis ilmiyah ilmu-ilmu empiris yang dilanjutkan dengan penalaran rasional yang tajam untuk memperkuat pemahamannya atas wahyu. Bagi Syahrur tak ada pertentangan antara wahyu, alam, dan akal. Alam dan akal akan membantu kita menguak kebenaran wahyu. Namun karena manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dan alam pun mengalami proses yang tak pernah berhenti, maka pemahaman manusia atas wahyu walaupun sudah mengggunakan premis-premis ilmiyah yang paling diyakini kebenarannya pada fase tertentu kesejarahan umat manusia, pada akhirnya harus disadari bahwa pemahaman kita atas wahyu adalah pemahaman yang nisbi, relatif, dan tentatif atas semua pembacaan buku yang dilakukan.
Metode Linguistis-Historis-Ilmiyah[16]
Syahrur menggunakan metode ilmiyah dalam dalam penelitiannya. Penggunaan metode ilmiyah-objektif ini terlihat dalam beberapa tempat. Jadi metode yang ditawarkan dalam pembahasan dalam pembahasan buku-bukunya (termasuk al-Kitab wa al-Qur’an) adalah pembahasan Ilmiyah. Dalam menggunakan metode tersebut Syahrur merujuk pada madzhab metode linguistika Abu Ali al-Farisi.[17]
Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan linguistik-filosofis-humanistik. Menurutnya, ternyata bahasa Arab mempunyai karakter struktur bahasa, di mana setiap kata memiliki arti dan pemahaman yang berbeda satu sama lain yakni tidak ada sinonimitas bahasa.[18]
Metode dan Pendekatan Dalam Membaca Al-Qur’an
Metode dan pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengkaji al-Qur`an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Tentu saja, ini berawal dari pertemuan Syahrur dengan Ja’far Dek al-Bab yang kemudian memperkenalkan formulasi lingusitik Abu Ali al-Farisi.
Dalam formulasi ini, terangkum dua dasar teoretis dari dua soko-guru utama: 1. Teori linguistik Ibn Jinni dalam Khashaish-nya, dan 2. Teori linguistik Imam Jurjani dalam Dala`il al-I`jaz. Linguistik Ibn Jinni didasarkan atas teori-teori: a. Adanya struktur bahasa atau kalimat, termasuk suara sebagai sumber bahasa, b. Bahasa tidak tercipta dalam satu waktu melainkan berkembang secara evolutif, c. Bahasa senantiasa mengikuti sistematika atau aturan strukturnya, dan d. Perpautan antara bahasa, suara, dengan kondisi psikologis penggunanya. Sedang teori-teori linguistik dari Imam Jurjani, antara lain: a. Struktur bahasa dan fungsi transmisinya, dan b. Keterkaitan antara bahasa dengan pemikiran. Bila kedua akumulasi teori ini dikombinasikan, hasilnya adalah: a). Bahasa mempunyai struktur, b). Bahasa merupakan penampakan fenomena sosial, dan c). Keterkaitan antara bahasa dan pemikiran. Tetapi, formulasi linguistik seperti ini semata belum cukup bagi Syahrur untuk menopang pemikirannya dalam mengkaji teks-teks al-Qur`an. Karena itu, sebagaimana juga memperoleh dukungan dari Mu`jam Maqayis al-Lughah-nya al-Farisi, yang notabene adalah teori yang berasal dari al-Farisi sendiri yang diajarkan oleh gurunya Tsa`lab, Syahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif).
Dari situlah kemudian Syahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya, yaitu:
1.   Dalam bahasa tidak ada sinonim, bahkan boleh jadi dalam satu kata memiliki makna yang banyak. Apa yang yang selama ini diyakini sebagai sinonim tidak lebih dari sebuah kepalsuan atau muslihat (khud`ah).
2.   Kata adalah ekspresi dari makna
3.   Yang paling penting dari bahasa adalah makna.
4.   Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif.
Dengan dasar metodologis seperti ini, Syahrur lalu mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks (ayat-ayat) al-Qur`an melalui metode yang disebutnya dengan tartil. Perangkat metode ini menurutnya, memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Muzammil: 4 (Dan bacalah al-Qur`an itu secara tartil). Berbeda dari ulama pada umumnya yang menafsirkan tartil dengan membaca (tilawah), tartil, yang berasal dari akar kata al-ratl yang artinya barisan pada urutan tertentu, ditafsirkan Syahrur dengan mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain Metode ini bagi Syahrur, perlu dilakukan sebab banyak topik tertentu seperti penciptaan alam, penciptaan manusia, dan kisah para Nabi, disebutkan dalam al-Qur`an secara berserakan di berbagai surat. Maka agar memperoleh gambaran komprehensif dan afirmatif tentang suatu topik, ayat-ayat berserakan itu harus dipertemukan.
Selanjutnya, dalam mempertemukan ayat-ayat yang mungkin berserakan itu, dengan didasarkan bahwa kata adalah ekspresi dari makna, dan yang terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, maka Syahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis.
Semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena Makna dalam pengertian yang paling luas dari kata. Sedemikian luas, hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap mempunyai makna dapat dinyatakan sebagai obyek semantik. Makna dalam pengertian ini dilengkapi dengan persoalan-persoalan penting para pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan seperti sosiologi, antropologi, psikologi, logika simbolik, matematik, rekayasa elektronik, dan lain-lain. Di samping itu sebagai studi makna, semantik senantiasa berkembang. Semantik Syahrur, dalam kaitan ini, tentu saja ditopang dan dikembangkan sesuai dengan minat, kecenderungan, dan latar belakang keilmuannya sendiri.
Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Dalam meramu semantik dengan dua model analisanya ini Syahrur kerap kali menggunakan metafora dan analogi yang diambilnya dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains, terutama penggunaan analisa matematik (al-tahlili al-riyadhi) dan fisika.
C.    SYAHRUR DALAM MEMANDANG HUKUM ISLAM
Devinisi hukum Islam menurut syahrur adalah hukum sipil (hukum madani) yang manusiawi, penuh keragaman, dalam cakupan batas (hudud) Allah dan dibangun diatas hudud Allah. Syahrur berbeda dengan ulama’ ushul fiqih sebelumnya yang menyatakan bahwa pembuat hukum hanyalah Allah. Bagi syahrur pembuat hukum adalah manusia. Allah hanya memberi batas. Mayoritas hukum dapat dikatakan hukum Islam selama mengindahkan batas Allah. Dengan kata lain Allah memberi batas halal-haram, sedangkan manusia termasuk Nabi saw melakukan pembolehan, pelarangan, perintah atau pencegahan dalam wilayah halal, karena tuntutan situasi dan kondisi.[19]
Akhlak dan hukum menyatu dengan Negara, sedangkan ritual tidak. Syahrur menulis
“Sesungguhnya agama memiliki tiga aspek : teladan yang luhur yang tidak mungkin dipisahkan dari Negara dan masyarakat, aspek ritual-ritual yang dipisahkan oleh Rasul yang mulia dari Negara sejak masa kenabian, dan aspek tasyri’ dan hukum yang menggambarkan batasan (hudud) Allah dalam kehidupan individu, Negara, dan masyarakat.”

Ritual berupa ibadah mahdloh yang kita belajar kepada Rasul dengan cara praktek, bukan perkataan verbal. Ahlak adalah kode etik dan teladan luhur yang tunduk tahapan historis sejak seperti berbakti kepada orang tua, berbuat adil, dan menempati janji. Sementara ayat-ayat hukum merupakan tempat berijtihad. Bagi syahrur Nabi saw adalah mujtahid yang lapangan ijtihadnya terletak diwilayah ini, bukan wilayah syiar (ritual) atau ahlaq.[20]  
Syahrur memandang fikih Islam belum sepenuhnya disusun dengan memanfaatkan kematangan kemanusiaan. Walaupun berangkat dari teks, namun ia disusun berdasar asumsi bahwa syariat Islam ‘ayni bukan hududi. Syahrur melihat fuqoha’ cenderung memandang syariat sebagai syariat ayni. Fiqih Islam historis disusun derdasarkan pengaruh historis masa lalu. Hiruk pikuk politik kekuasaan umayyah-Abbasiyah dan bani hasyim-bani Thalibiyyah, turut mempengaruhi isi fiqih historis. Sistem pengetahuan masa pembentukan fiqih juga turut mempengaruhi isi fiqih, karena itu manusia membutuhkan fikih baru yang disusun berdasarkan landasan epistemologi pengetahuan dan masalah hidup baru. Selain itu disusunnya madzhab fiqih saperti Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki berdasar pengetahuan saat itu, sehingga mencerminkan proses interaksi Islam dengan lokalitas historis fuqoha’ berupa faktor politik, ekonomi, dan sosial. Ini membuat Syahrur terdorong untuk membuat fiqih baru. Beliau memandang fiqih mereka cocok untuk mereka namun  belum tentu cocok untuk sekarang. Manusia sekarang tak lagi menggunakan fiqih masa lalu, bila ingin melihat Islam cocok untuk semua tempat dan waktu.[21]
Syahrur membagi hukum Islam menjadi dua: Hukum Ibadah (Mahdlah) atau Syiar, dan hukum mu’amalah. Untuk hukum ibadah, manusia tak mungkin ijtihad. Manusia hanya menerima adanya dari Nabi saw. Karena itu tidak ada perkembangan ataupun ijtihad. Untuk hukum mu’amalah manusia melakukan ijtihad supaya hukum mu’amalah berkembang dalam cakupan hudud Allah. Termasuk hukum ma’amalah adalah hukum pidana. Dalam hal ini hukum Islam harus tegas, walaupun lentur. Pembuat hukum Islam harus memberi definisi kejahatan yang dapat dituntut untuk dikenai hudud Allah. Dan membuat karakreristik jelas terhadapnya. Definisi dan karakteristik tersebut akan berbeda-beda sesuai konteks tempat dan waktunya. Inilah cara manusia mengikuti sunnah Nabi dalam hal hudud. Devinisi jarimah (tindak kejahatan) harus berpegang pendapat mayoritas masyarakat. Sangat mungkin dalam seribu peristiwa pencurian, hanya satu orang yang tangannya dipotong, sementara yang lain cukup hukuman lebih ringan atau bahkan dimaafkan. Begitu pula dengan pembunuhan, dalam seribu peristiwa sangat mungkin yang dihukum mati hanya satu pembunuh, sedangkan yang lainnya dipenjara atau bahkan dihukum lebih rendah.[22]
Syahrur memiliki paradigma baru hukum Islam. Bila ulama’ memandang hukum adalah titah ilahi yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, maka syahrur memandang  hukum Islam sebagai hukum sipil buatan manusia yang disatu sisi mengindahkan titah ilahi, dan sisi lain memperhatikan situasi dan kondisi sosial masyarakat.[23] Syahrur ingin realistis terhadap tata politik hukum tapi tetap setia dengan panduan wahyu. Solusi yang ditempuhnya adalah dengan menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang diproduksi legal oleh struktur politik modern. Solusi itu ditempuh Syahrur karena memiliki keyakinan bahwa hukum dan Negara adalah kesatuan yang tak terpisahkan.[24]
Syahrur beranggapan, semua Negara dunia dapat dikatakan mengikuti sunnah Nabi saw bila mengikuti parlemen, melakukan voting, polling, dan amandemen konstitusi. Persis yang dilakukan Nabi saw ketika mendirikan negara Madinah. Nabi melakukan pembatasan yang absolut dan memutlakkan yang muqayyat (terbatas) sesuai tuntutan situasi lokal-historis yang nisbi. Bila suatu usulan hukum, walaupun materinya sangat mencerminkah hudud Allah, tetapi ditolak parlemen, maka usulan hukum tersebut harus dibatalkan dan tidak perlu diundangkan.
D.    PENGERTIAN HUDUD
Teori hudud merupakan teori yang bernaung dalam paradigma historis-ilmiyah. Teori hudud merupakan teori baru dalam hukum Islam yang memandang bahwa syari’at Allah sesungguhnya hanyalah syariat yang berupa batas-batas (hudud) dan bukan syari’at yang kongkrit (ayni). Oleh karena itu, manusia bertugas menemukan hudud Allah dalam ayat-ayat umm kitab, kemudian setelah hudud Allah itu ditemukan, ia harus membentuk hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak diperkenankan menyalahi atau melampaui hudud Allah tersebut. Teori hudud merupakan perangkat ijtihad baru yang dicetuskan Syahrur guna mewujutkan hukum Islam modern yang dinamis, fleksibel, dan relevan dengan tuntutan realitas[25]
Teori hudud Syahrur oleh Wael B Hallaq didefinisikan sebagai ketentuan suci yang dimuat dalam al-Kitab dan sunnah, yang mengumpulkan batas minimal dan maksimal bagi perbuatan manusia. Batas minimal merepresentasikan batas rendah yang diisyaratkan hukum, dan batas maksimal merepresentasikan batas tinggi.[26]
Dalam devinisi lain hudud adalah ketentuan suci yang dimuat dalam al-Kitab, yang mengumpulkan batas minimal dan maksimal semua perbuatan manusia.[27] Teori hudud merupakan teori penyaluran aspirasi menciptakan hukum Islam modern. Brian O’connell menyatakan partisipasi masyarakat luas merupakan karakter Negara madani. Teori hudud meniscayakan tumbuhnya masyarakat yang berpartisipasi dalam persoalan kemasyarakatan, termasuk penciptaan hukum. Masyarakat dituntut aktif merumuskan hukum Allah yang tepat untuk dirinya, menggunakan kebebasan kreasi dan inovasi untuk kemaslahatan dibidang hukum, ekonomi, politik, pemikiran maupun agama, sekaligus menghormati hudud Allah. Teori hudud merupakan upaya syahrur untuk menciptakan hukum Islam dengan  memasukkan unsur modern, yaitu demokrasi. Teori hudud juga merupakan upaya syahrur untuk merekontruksi hukum Islam. Hukum tuhan menjadi sekedar buatan manusia yang dinamis, demokratis, dengan mengindahkan titah tuhan. Titah Allah oleh syahrur diperas sehingga berbentuk hudud. Teori hudud merupakan perpaduan kebebasan manusia dan hukum Allah. Ia merupakan dialektika.[28]
Teori-teori yang dimunculkan Syahrur masih merupakan tawaran yang relevan dengan realitas masyarakat kontemporer. Teori hudud menginginkan terwujudnya hukum yang demokratis dan mencerminkan kebebasan sipil sehingga mampu menciptakan masyarakat madani.[29]
Dengan demikian syahrur memiliki pemikiran khas karena membuat devinisi baru mengenai hukum Islam dalam konteks Indonesia, redifinsi hukum Islam yang dilakukan Syahrur merupakan jalan baru penyelesaian konflik tiga rumpun hukum di Indonesia : Barat, Adat, dan Islam.[30]
Namun, menurut penelitian Muhyar fanani teori hudud ternyata menemui jalan buntu dalam mewujudkan hukum yang demokratis dan mencerminkan kebebasan sipil sehingga mampu mewujudkan masyarakat madani. Oleh karena itu perlu dikembangkan teori lanjutan dari teori hudud ini.[31]

E.     BATAS-BATASAN DALAM PENETAPAN HUKUM
1.      Posisi Batas Minimal
Batas minimal dalam hukum Allah terdapat pada ayat-ayat tentang pihak yang haram dinikahi. Ini terdapat dalam surat an-Nisa’: 22 dan 23.[32] dalam dua ayat ini Allah telah menetapkan batas minimal dalam dalam pengharaman perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi yang terdiri dari keluarga dekat sebagaimana dalam kedua ayat tersebut. Dalam kondisi apapun seseorang dilarang melanggar batasan ini meskipun didasarkan pada ijtihad. Ijtihat hanya diperbolehkan pada usaha memperluas pihak yang diharamkan. Contoh jika seandainya ilmu kedokteran membuktikan bahwa pernikahan dengan kerabat dekat anak perempuan saudara bapak atau ibu akan memberikan pengaruh negatif pada keturunan dan juga pada proses pembagian harta, maka ijtihat diperbolehkan dalam bentuk penetapan peraturan yang melarang pernikahan dengan keluarga dekat tersebut. Namun sebelum hasil ijtihat ini ditetapkan kepada masyarakat, mujtahid harus memiliki data dan bukti yang valid. Seperti hasil analisis labolatorium kedokteran dan hasil survey terhadap sejumlah keluarga yang mendukung ketetapan tersebut.[33]
Batas minimal juga terdapat dalam ayat-ayat tentang jenis makanan yang diharamkan. Seperti dalam surat al-Maidah: 3.[34] dalam ayat ini Allah menetapkan batas minimal terhadap jenis-jenis makanan yang haram untuk dikonsumsi. Kita juga memahami jika binatang-binatang tersebut masih dalam keadaan hidup kemudian disembelih dengan cara yang benar, maka ia termasuk makanan yang halal. Sebaliknya, jika binatang-binatang tersebut ditelantarkan hingga mati, maka ia termasuk dalam kategori ‘bangkai’ sebagaimana dalam surat al-an’am: 145. dan 119. Jika diperhatikan, Allah tidak menutup batas minimal makanan yang diharamkan dengan redaksi; “Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melapaui batas, maka sesungguhnya tuhanmu maha pengampun lagi maha penyayang” (QS. Al-An’am: 145). Berbeda dengan ketagori perempuan yang dilarang dinikahi, Allah menutup rapat-rapat batas minimal tersebut karena Allah tidak mencantumkan redaksi “barang siapa terpaksa”.[35]
Jadi batas minimal ini tidak boleh dilampaui agar menjadi lebih minimal lagi. Batas minimal sudah merupakan batas terendah yang diberikan oleh Allah tentang suatu perbuatan yang boleh dilakukan.[36]
2.      Posisi Batas Maksimal
Batas maksimal terdapat dalam ayat tentang potong tangan-nya pencuri, yaitu QS. Al-Maidah: 38. kata nakal dalam bahasa arab berasal dari bahasa nakala yang berarti melarang, dan juga muncul arti lain yakni mengikat. Dalam ayat ini Allah menjelaskan batasan maksimal hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan. berarti tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman bagi pencuri lebih berat dari potong tangan, tetapi sangat mungkin menjatuhkan hukuman dengan sangat ringan. Para pembaharu Islam berkewajiban menetapkan definisi yang pasti terhadap ‘subyek’ pencuri berdasarkan fakta, dan latar belakang objektif yang melingkupinya. Dalam hal ini ijtihat membuka peluang bagi para penentu hukum untuk menentukan berbagai batasan hukum yang sangat luas bagi penentu hukum untuk menemukan berbagai batasan hukum yang sesuai dalam kelenturan Islam. Para mujtahid berkewajiban untuk mementukan kriteria pencurian yang harus menerima hukuman maksimal, yaitu potong tangan, berdasarkan latar belakang objektif pada ruang dan waktu mereka hidup.[37]
Batas maksimal ini juga terdapat pada ayat tentang hukuman pembunuh. Seperti dalam QS. Al-Isra’: 33, QS. Al-Baqarah: 178, dan QS. An-nisa’: 92.[38] dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa hukuman maksimal bagi pembunuhan yang tidak beralasan adalah hukuman mati, dan larangan hukuman mati yang dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan melibatkan anggota keluarga pelaku. Dalam hal ini mujtahid berkewajiban menetapkan kriteria tindakan pembunuhan yang pantas menerima hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Salah satu tindak pidana yang demikian adalah pembunuhan terencana. Tetapi ada sejumlah kasus pembunuhan yang tidak perlu dijatuhi hukuman mati, seperti pembunuhan yang untuk membela diri atau pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu masih ada kesempatan pemberian maaf dari keluarga korban pembunuhan. Dalam hal pembunuhan tidak sengaja, Islam membuka pintu ijtihat bagi kaum muslim untuk merumuskan berbagai konsep dan teori tentang sanksi hukum tindak pembunuhan.
Dalam batas maksimal, manusia tidak boleh menghukum lebih berat dari apa yang telah ditentukan. Manusia hanya boleh menghukum lebih rendah dari itu.[39]
3.      Posisi Batas Minimal Dan Maksimal Bersamaan
Batasan ini terdapat dalam ayat tentang pembagian harta pusaka atau warisan. Terdapat dalam Qs. An-Nisa’:11-13. Syahrur menyebut 3 batas yang terkandung dalam an-Nisa’ : 11
3.1.      Batas maksimal bagian keluarga laki-laki adalah 66,6% (dua kali lipat bagian perempuan) dan batas minimal bagian minimal anak perempuan adalah 33,3% berdasarkan firman Allah Lidzakari mitslu hazhzh al untsayayn (bagian lelaki sebanding dengan bagian 2 anak perempuan)  Batas ini berlaku dengan syarat perempuan tidak ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Apabila perempuan ikut menanggung maka kesenjanggan bagian itu semakin kecil sesuai dengan tingkat kerjasama dalam menanggung beban ekonomi keluarga itu. Dalam kasus ini mujtahid bertugas menentukan bagian masing-masing pihak sesuai dengan semangat persamaan dan keseimbangan bagian antara pihak laki-laki dan perempuan berdasarkan kondisi sosio-historis yang objektif, yang dikuatkan dengan bukti-bukti material statistik serta mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat.[40]
3.2.      Batas minimal perempuan adalah sebesar 2/3 dari harta peninggalan dengan syarat perempuan tidak ikut menanggung beban ekonomi keluarga berdasarkan fain kunna nisaan fauqo itsna tajni falahunna tsulatsa ma tarok
3.3.      Batas  minimal bagian perempuan sebesar separuh harta jika perempuan itu satu orang.[41]
Selain itu batasan ini juga terdapat dalam ayat tentang poligami. Syahrur berpandangan bahwa ayat poligami (an-Nisa’: 3) berisi batas minimal dan batas maksimal yang hadir secara bersamaan. Menurutnya ayat ini merupakan ayat hududiyah. Ia hadir untuk menggabungkan batas minimal dalam sebuah kuantitas dan kualitas sekaligus. Dari segi kualitasnya batas minimal poligami adalah 1 wanita. Sedangkan batas maksimalnya adalah 4 wanita. Batas maksimal-minimal kualitas itu menurut syahrur telah dipegang oleh umat Islam sejak zaman Nabi saw hingga sekarang. Saat ini konteks sosialnya berubah, maka batas kuantitas harus disertai dengan batas kualitas (dalam hal ini yang dimaksud kualitas adalah janda atau perawan) syahrur berkesimpulan dari segi kualitas istri kedua hingga keempat haruslah seorang janda yang masih memiliki tanggungan anak yatim. Kesimpulan ini dihasilkan syahrur setelah ia menganalisis surat An-Nisa’: 3 dengan menggunakan metode intra-tekstual dan sosiologis. Menurutnya surat an-Nisa’: 3 tidak bisa dilepaskan  Dari surat an-Nisa’ ayat 2 dan 6, yang berbicara mengenai anak-anak yatim.[42] Selain itu Syahrur menyatakan poligami boleh dilakukan dengan syarat Istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. Serta  harus ada rasa hawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Bila kedua syarat itu tidak terpenuhi, maka perintah poligami menjadi gugur.[43]  Demikian Syahrur ingin mengembalikan aspek kemanusiaan dalam kasus poligami, yakni terpeliharanya anak yatim.
Batasan ini hadir untuk menggabungkan batas maksimal dan minimal dalam sebuah kualitas dan kuantitas.[44]
4.      Posisi Batas Minimal Dan Maksimal Bersamaan Pada Satu Titik Atau Posisi Lurus Atau Posisi Penetapan Hukum Partikular (Ainiyah)
Batasan ini berlaku dalam kasus Zina. Yaitu batas hukuman maksimal yang sekaligus berpotensi sebagai batas minimal berupa seratus kali cambukan sebagaimana QS. An- Nur: 2.[45] cara menerapkan batasan hukum ini atau kondisi yang memenuhu syarat pemberlakuan batasan hukum ini telah ditetapkan Allah, yaitu empat saksi. Allah juga menerapkan sanksi hukum bagi pihak yang melemparkan tuduhan tanpa mampu memnuhi syarat dan bukti-buktinya. Keterangan dan semua batasan hukum ini tercantum dalam QS. An-Nur: 3-10.[46]
Hukuman ini sudah merupakan hukuman minimal, jadi tidak kurang dari 100 jilid dan tidak pula lebih dari itu. namun ketika syahrur ditanya mengapa 100 jilid sudah merupakan batas maksimal? Syahrur tidak memberi jawaban. Sehingga Bapak muhyar mengira-ngira mana ada orang yang masih mampu bertahan hidup setelah didera 100 kali.[47]
5.      Posisi Batas Maksimum dengan Satu Titik Mendekati Garis Lurus Tanpa Persentuhan
Batasan ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berbeda jenis, bermula pada batasannya yang paling rendah, berupa tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi berupa tindakan yang menjerumus pada hubungan kelamin yang disebut sebagai zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap ‘melakukan tindakan yang menjurus pada zina’, tetapi ia belum melakukan hubungan kelamin, maka ia belum terjerumus pada batasan maksimal hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Tindakan zina merupakan bagian dari batasan hukum Allah yang seseorang tidak diperbolehkan menyentuh wilayahnya meskipun ia berada dekat pada wilayah zina tersebut. Secara teoritis, batas hukum zina yang merupakan salah satu batas hukum Allah ini berada dalam garis lurus yang seseorang  akan sampai pada titik puncaknaya jika ia semakin mendekatinya. Oleh karenanya, sanksi hukuman bagi pelaku zina disimbulkan dengan garis lurus, yaitu pada posisi batas maksimal sekaligus batas minimal. Sehingga redaksi ayat berbunyi “wala taqrabu al zina” yang artinya dan janganlah kamu mendekati zina.[48]
Dalam batasan ini seseorang tidak boleh mendekati batas maksimal, sebab batas maksimal adalah jangan mendekati itu sendiri. Persoalan ukuran jangan mendekati memang tidak bisa dipositivasi, ini sangat tergantung pada keputusan mujtahid[49]
6.      Posisi Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Bawah “Negatif” Boleh Dilewati
Batasan ini berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar yaitu riba, dan batas minimal berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal itu berupa berbagai macam sedekah. Mengingat dua batas ini berupa satu garis di daerah positif dan satu garis didaerah negatif, titik tengah diantara keduanya berada pada posisi netral atau dilambangkan dengan nol. Batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah. Pangalihan kekayaan manusia memiliki tiga alternatif model distribusi. Riba, zakat, dan sedekah.[50] 
Riba sama sekali tidak boleh dilampaui, sementara zakat boleh boleh dilampaui kearah negatif dengan pembayaran sedekah. Kedua batas itu terdapat posisi nol, yang terwujud dalam transaksi al-qardl al-hasan (pinjaman tanpa bunga sama sekali)[51]
F.     KESIMPULAN
1.      Muhammad Syahrur, seorang cendekiawan asal syiria dilahirkan di  syuriah, Damaskus pada 11 April 1938. latar belakang pendidikannya adalah teknik sipil, namun beliau sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syariat dan dekontruksi tafsir al-Qur’an.
2.      Teori Hudud Syahrur adalah ketentuan yang dimuat dalam al-Kitab dan sunnah, yang mengumpulkan batas minimal dan maksimal bagi perbuatan manusia.
3.      Bagi Syahrur pembuat hukum adalah manusia. Allah hanya memberi batas. Hukum Islam sebagai hukum sipil buatan manusia yang disatu sisi mengindahkan titah ilahi, dan sisi lain memperhatikan situasi dan kondisi sosial masyarakat
4.      Syahrur membagi hukum Islam menjadi dua : Hukum Ibadah (Mahdlah) atau Syiar, dan hukum mu’amalah. Untuk hukum ibadah, manusia tidak mungkin ijtihad. Manusia hanya menerima adanya dari Nabi saw, karena itu tidak ada perkembangan ataupun ijtihad. Untuk hukum mu’amalah manusia melakukan ijtihad supaya hukum mu’amalah berkembang dalam cakupan hudud Allah. Termasuk hukum ma’amalah adalah hukum pidana.
5.      Batasan-batasan dalam penetapan hukum adalah :
5.1.      Batas Minimal
5.2.      Batas maksimal
5.3.      Posisi Batas Minimal Dan Maksimal Bersamaan
5.4.      Batas Minimal Dan Maksimal Bersamaan Pada Satu Titik Atau Posisi Lurus Atau Posisi Penetapan Hukum Partikular (Ainiyah)
5.5.      Batas Maksimum Dengan Satu Titik Mendekati Garis Lurus Tanpa Persentuhan
5.6.      Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Bawah “Negatif” Boleh Dilewati.



[1] Muhyar Fanani, Pudarnya pesona Ilmu agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h ix
[2] Ibid, h x
[3] ibid
[4] Pertama, tirani aqidah. “penyakit” terpenting dalam tirani ini adalah sikap pasrah bahwa pekerjaan dan rizki serta umur itu telah ditetapkan semenjak zaman azali. Sikap atas ketiga hal ini harus diberanguskan dalam nalar pikir umat Islam. Sikap seperti ini menimbulkan ekses negatif yang amat parah dalam kehidupan manusia, dan dari sini pula terjadi tirani besar-besaran dalam seluruh ranah kehidupan. Syahrur berpendapat bahwa Islam itu hanif (elastis), dalam artian bahwa Islam itu relavan dalam setiap ruang dan waktu. Allah tidak menentukan secara saklek atas masalah pekerjaan, rizki, dan umur. Memang benar bahwa Allah menentukan baik dan buruk, hidup dan mati, akan tetapi ia menetapkan hal tersebut sebagai sesuatu yang eksis, universal, dan mujmal. Sehingga kalau melihat dalam struktur computer kita memahami adanya dua komponen inti ; ROM (Read only memory) dan RAM (Random acces memory). Pada kedua istilah komputer ini, yang pertama (ROM) merupakan sesuatu (program) yang sudah paten dan sudah tidak bisa dibuka, dan sudah tidak bisa berubah karena menjadi bagian inti tetap dalam computer. Sedang bagian yang kedua (RAM) merupakan program yang masih bisa dibuka (diakses), yang berfungsi sebagai obyek aplikasi oleh para pengguna komputer. Baik dan buruk, hidup dan mati merupakan bagian dari ROM sedangkan upaya manusia dalam mengatasi, memosisikan dimana ia akan memilih, maka ia termasuk dalam ruang yang bisa diakses sesuka pengguna (RAM). Tawaran Syahrur ini bisa menjadi solusi atas polemik paham jabariyyah dan Mu’tazilah. Sehingga aktifitas manusia yang diidealkan syahrur adalah  “aktifitas dan stagnasi terjadi secara bersamaan dengan formulasi mutlak dan relevan dengan kehendak tuhan”
Sedangkan yang kedua adalah Tirani Pemikiran termanifestasikan pada pola relasi antara guru dan murid yang secara umum semakin mengerucut pada pengklibatan pada khazanah intelektual klasik yang telah terbakukan pada masa-masa Abbasiyah dengan mempergunakan justifikasi-justifikasi hadits. Tirani pemikiran, serta pandangan rendah diri ini telah merasuk dalam seluruh sendi kehidupan. Seorang murid menyerahkan pada gurunya untuk berfikir tentang dirinya. Sehingga metode pengajaran dan pendidikan dilihat dari perspektif edukatif tidak lebih dari sikap taklid buta atas nama “penghormatan”. Sedang dari perspektif pendidikan tidak lebih hanya sebuah pendektean dari seorang guru terhadap muridnya. Ujian-ujian hanya media untuk mengingat dan menghafal, bukan ujian dalam rangka pemahaman atas informasi serta cara menyikapinya, dengan mengesampingkan bahwa sesungguhnya dasar dari pengajaran adalah mengajari manusia tentang bagaimana cara berfikir, metodenya serta pribadi yang mampu berfikir dan membuat hal baru.
Kemudian yang ketiga adalah tirani pengetahuan. tirani pengetahuan lebih menekankan pada aspek kesalalahan berfikir yang dilakukan oleh ulama’ saat ini atas al-qur’an. Para ulama’ lebih terfokus pada pemahaman al-Qur’an dari sisi fenomena-fenomena keagamaan; seperti ibadah, mu’amalah, dan ayat-ayat tentang hukum, namun jarang sekali membahas tentang tema-tema alam, eksistensi dan sejarah. Hal ini seolah memaksakan kita memakan peradaban arab dengan peradaban fiqih, bukan peradaban ilmu.
Selanjutnya yang keempat adalah tirani sosial. Tirani ini menampilkan aspek konflik antar generasi. Asumsi yang ingin dibangun syahrur adalah bahwa sebuah perangkat ataupun metodologi yang dipergunakan masa lalu tidaklah relevan saat ini. Hal ini mengasumsikan dua hal. Yang pertama bahwa nalar zaman yang jauh secara jarak dan waktu, kedua eksistensi perubahan yang selalu menawarkan berbagai hal. Menurut syahrur ashabul kahfi ketika dihidupkan kembali kedunia kemudian meninggal lagi adalah karena mereka termasuk dalam katagori roj’iyun (generasi terbelakang), sehingga walaupun mereka hidup dan berinteraksi dengan masyarakan saat mereka dihidupkan kembali, maka ia akan menjadi seorang yang kerdil dan tidak tau apa-apa. Hal ini sekaligus menjawab dan membantah pengandaian umat islam yang menyatakan seandainya sahabat dihadirkan (dihidupkan) kembali pada saat ini, maka mereka tentu akan dapat menyelesaikan konflik yang dialami umat Islam saat ini. Dengan demikian, jika metode dan perangkat yang dipergunakan saat ini tetap mempergunakan metode abad II H, maka bisa dimaklumi jika metode tersebut mengalami goncangan dan tantangan terhadap modernitas.
Tirani kelima adalah tirani sosial-politik.dalam tirani ini pembahasan terfokus pada kajian tiga tokoh besar, terdahulu, yaitu Fir’aun, Haman, dan Qorun. Syahrur menyatakan ketriganya memiliki speaifikasi kekuasaan masing masing. Fir’aun dengan kekuasaan politik, Haman memegang kekuasaan religi, dan Qorun sebagai pemilik modal. Nah, ini membahayakan karena fir’aun berkoalisi dengan kedua penguasa tersebut dan dapat mengaturnya sesuai dengan keinginanya.
Tirani yang terakhir adalah tirani ekonomi. Gambaran langsung dari tirani ini adalah mengenai fenomena Qorun, yang saat ini dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk korporasi-korporasi ataupun perbankkan.
[5] Ibid
[6] M. Syahrur, Dialektika kosmos dan manusia, dasar-dasar epistimologi Qur’ani, Nuansa, bandung, 2004, h judul
[7] Muhammad faisal Hamdani, Pokok-pokok dan metode pemikiran syahrur, dalam jurnal Analytica Islamica Program pasca sarjana IAIN sum.utara, medan, 2001, 144
[8] ibid
[9] ibid
[10] Muhammad faisal Hamdani, op.cit, h 145
[11] Muhammad syahrur, Prinsip dan dasar Hermautika hukum Islam kontemporer, Sukses offset, yogyakarta, 2007, h 3
[12] Muhyar Fanani, “Pemikiran Syahrur Dalam Ilmu Ushul Fiqih; teori hudud sebagai alternatif pengembangan ilmu ushul fiqih.” Dalam desertasi UIN Yogyakarta, h 52-53
[13] Ibid
[14] Muhyar Fanani, Op.Cit h 73-82
[15] Ibid h 83-84
[16] Ibid h 86-87
[17] Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa Metode yang dipakai Syahrur adalah metode historis-ilmiah di dalam studi kebahasaan. Metode ini berasal dari kritik Syahrur terhadap seluruh warisan pemikiran keislaman yang ada selama ini. Hasilnya adalah: reinterpretasi menyeluruh dan fundamental atas al-Qur’an, melalui pendekatan yang sangat jauh berbeda dari yang pernah ada sebelumnya.
[18] Pendekatan filosofis digunakannya dengan alasan, bahwa hubungan antara kesadaran dan wujud materi adalah masalah dasar filsafat. Islam memerlukan filsafat Islam yang modern yang berpegang pada pengetahuan akal dan bertolak pada panca indra. Pengetahuan manusia menurutnya, berawal dari pemikiran yang terbatas pada panca indra pendengaran dan penglihatan, di mana dalam konteks tersebut, tidak ada pertentangan dalam al-Qur’an maupun filsafat.
Sementara pendekatan humanistik lebih didasarkan pada asumsi dasar bahwa al-Qur’an sesuai dengan segala konteks sosial di bagian bumi manapun, meskipun dengan jarak waktu yang sangat panjang.
[19] Muhyar Fanani, Membumikan hukum langit, op.cit, h 315
[20]Ibid h 317. Muhammad adalah mujtahid yang bertugas membumikan Islam mutlak menjadi Islam nisbi kepada masyarakat arab abad ke 7 M. mengingat Nabi saw telah wafat, maka perguruan tinggi melalui forum ilmiyah menjadi pewaris nubuwah (kenabian), sedangkan majlis penetapan hukum dan perlemen menjadi pewaris risalah. Menurut syahrur saat ini adalh masa kematangan manusia, sehingga bisa berpegang pada diri sendiri dalam membuat hukum, seperti pengakuan nurani manusia atas HAM
[21] Ibid h 319. Syahrur menyatakan terdapat dua poin penting milik fiqih Islam yang memunculkan krisis panjang. Pertama fiqih historis dibentuk berdasar asumsi hudud Allah adalah tasyri’ ‘ayni, kongkrit, dan spesifik. Karena itu, kreativitas manusia dalam hukum diperkecil. Kedua Negara dipisah dari agama. Akibatnya fiqih tidak pernah efektif sebagai hukum Negara yang mengatur warga Negara.  Bagi syahrur pada dasarnya syariat Islam bukan syariat ‘ayni melainkan syari’at hududi, yang perlu kreatifitas dibidang hukum. Ia seharusnya tumbuh sesuai kecenderungan manusia dan perkembangan historis, sosiologi, ekomoni, dan politik. Dengan kata lain ia memiliki sifat hanif (fleksibel) seperti Islam itu sendiri.
[22] Ibid, h 322. hukuman selama ini seperti hukuman mati, potong tangan, penjara dan jild (hukuman dari berat keringan) dijatuhkan setelah hakim mendapat bukti material akurat. Hukum mati dan potong tangan adalah hukuman hadd (‘ayni) dari Allah. Karena itu hukuman hadd hanya boleh dijalankan dengan pertimbangan matang dan bukti meyakinkan. Sementara penjara dipandang sebagai hukuman yang diserahkan Allah kepada manusia untuk menentukannya. Hukuman ini lebih berat dari jild karena menghilangkan aspek kebebasan manusia yang sakral. Sedangkan jild tak memisahkan manusia dari pekerjaan, tidak berakibat pada keluarga, dan sebagainya.
[23] Syahrur ingin hukum Islam menjadi hukum bumi (buatan manusia) dengan mengindahkan rambu-rambu langit. Untuk itu pemikiran syahrur dipengaruhi prinsip dan tata dunia sekarang, seperti konstitusionalisme,Negara-bangsa, masyarakat madani, demokrasi, dan sebagainya. Syahrur ingin mewadahi hukum Islam dengan wadah yang diterima internasional, yaitu demokrasi. Ia menyadari demokrasi adalah bentuk teknis paling mutakhir dan sah menurut dunia internasional.  
[24] Bentuk Negara-bangsa yang diterima dunia sekarang disadari oleh syahrur. Syahrur beranggapan selama masyarakat internasional menerima menerima Negara-bangsa, hukum Islam harus menyatu dengan system Negara bangsa. Inilah fleksibelitas hukum Islam. Ia adalah hukum sipil yang lentur dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia. untuk itu hukum Islam sebagai hukum sipil harus diproduksi secara demokrastis. Ia sebaiknya diproduksi lembaga demokrasi dan melalui cara yang demokratis. 
[25] Muhyar Fanani, Metude studi Islam aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang, pustaka pelajar, yogyakarta, 2008, h 175 
[26] Muhyar Fanani, Membumikan hukum langit, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2008, h 327. 
[27] Ibid h 328. devinisi ini diambil karena syahrur tak mengakui ketentuan suci ada dalam sunnah, karena sunah hanyalah ijtihat Nabi saw membumikan ajaran suci (Islam mutlak) ke realitas nisbi masyarakat arab abad ke 7 M, sunnah tidak menggandung sesuatu yang suci apalagi maksum. Ketentuan suci hanya ada dalam al-Qur’an.
[28]  ibid
[29] Muhyar Fanani, Metode studi Islam aplikasisosiologi pengetahuan sebagai arah pandang, op.cit. h 190. Syahrur ingin ada hukum madani, dan dengannya masyarakat madani terwujud. Masyarakat modern hidup dengan keragaman dan tarik menarik kepentingan. Bila perbedaan dan tarik manarik kepentingan tak dicarikan solusi, struktur masyarakat menjadi rusak bahkan hukum rimba berjalan.
[30]  Muhyar Fanani, Membumikan hukum langit, op.cit, h 330
[31] Muhyar Fanani, Metode studi Islam aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai arah pandang, op.cit. h 191. Teori hudud Syahrur masih belum bisa keluar dari hegemoni positivisme-nomotetik. Akibatnya, teori ini akan menghasilkan ilmu yang monologal dan sulit menumbuhkan mansipasi masyarakat karena masyarakat masih didominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis). Bila tidak diperbaiki, teori ini akan tercerabut dari masyarakat (realitas social). Hal ini dikarenakan tradisi prositivisme mengandung kepentingan teknis yakni mengontrol dan mendominasi. Selain itu teori ini menjadikan elit baik ilmuwan maupun politik sebagai pemain utama, sehingga membuka peluang bagi munculnya dominasi dan distorsi komunikasi. Dari segi keilmuan, teori ini memiliki dampak yang juga paradoks dengan tujuan yang ingin dicapai syahrur. Sebagai bagian ilmu ushul fiqih dan fiqih, teori ini justru menghasilkan ushul fiqih dan fiqih yang cenderung positivistik-hegemonik, bukan ushul fiqih dan fiqih yang madani. Dan demokratis. Ini terutama disebabkan oleh bayng-bayang positivisme yang begitu kuat dan kecilnya pemanfaatan metode hermeneutis yang kritis.
Teori hudud akan menemui jalan buntu, ketika dipergunakan syahrur untuk mewujudkan ilmu ushul fiqih dan fiqih serta masyarakat madani. Hal ini disebabkan karena teori hudud masih berbasis pada logiaka nomotetis-positivistik yang akan berakibat pada kecilnya partisipasi dan emansipasi masyarakat. Disamping itu pemanfaatan metodologi ilmu-ilmu kealaman meniscayakan pemisahan antara subjek dari objeknya. Ini akan mengakibatkan teori hudud tidak memiliki daya untuk terlibat secara intens dengan objek. Dengan demikian teori hudud syahrur bila tidak segera diperbaiki akan menghasilkan ilmu ushul fiqih yang monolitik dan dogmatic yang menutup pintu dialog dan partisipasi, sehingga pada gilirannya akan mempersulit jalan untuk memperoleh horizon baru yang dinamis. Ini bertolak belakang dengan tujuan yang sebenarnya ingin dicapai syahrur.
[32] Yang bermakna dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) [22]. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan yang sepersusuan, ibu-ibu istrimu; Anak-anak istrimu yang yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu sampuri, tetapi jika kaku belum campur dengan istrimu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan atas kamu) istri-istri anak kandungmu; dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang  telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. [23]
[33] Menurut syahur tidak lagi diperlukan rujukan kepada teks-teks klasik, karena hasil ijtihat ulama’ salaf -bisa jadi- telah kehilangan relevansi dangan konteks pengetahuan, ekomoni, dan social kontemporer pada masa kita hidup saat ini.
[34] Terjemah dari ayat ini adalah: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disebut atas nama Allah, yang tercekik, yang dupukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yangdisembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dangan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang kafir  telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah takut kepada mereka dan takutlah kepadaku. Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamanu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu. Dan telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi agamamu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan, tanpa senngaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
[35] Muhammad syahrur, Prinsip dan dasar Hermautika hukum Islam kontemporer, op.cit. h 31-4
[36] Muhyar Fanani, “Pemikiran Syahrur Dalam Ilmu Ushul Fiqih; teori hudud sebagai alternatif pengembangan ilmu ushul fiqih.” Op.cit, h 381
[37] Sebagaian orang berpendapat bahwa dalam sebagian kasus terhadap peristiwa yang tampak dalam sebagai tindakan pencurian, tetapi jika hukuman yang ditimpakan hanya berupa potong tangan, maka hal itu masih terasa sangat ringan. Dalam hal ini Allah menyebutkan dalam QS. Al-maidah: 33 yang mencakup jenis kejahatan tersebut, maka ia dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan. Dengan demikian bentuk hukuman yang lebih berat dari potong tangan adalah hukuman mati, kemudian potong tangan dan kaki secara berkebalikan, pengasingan atau penjara seumur hidup. 
[38] M. Syahrur, Prinsip dan dasar Hemenetika islam kontemporer, Op.cit. h 34-6. Qs. Al-Isra’: 33 berbunyi: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Sedangkan dalam QS al-Baqoroh dijelaskan: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita, maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang diberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmad. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Dan dalam QS. An-Nisa’: 92 dijelaskan: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mu’min (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (siterbunuh) dari kaum kafir, yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan adalah Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana
Dari uraian diatas, maka hukuman bagi pembunuh dapat berupa bertaubat, puasa dua bulan berturut-turut, membayar diat, memerdekakan budak, dan hukuman mati. Namun hukuman dan criteria hendaknya sesuai dengan ijtihat.
[39] Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam ilmu ushul fiqih teori hudud sebagai alternatif pengembangan ilmu ushhul fikih, op.cit. h 384
[40] batasan ini berlaku bila julmlah anak perempuan dua kali lipat jumlah anak laki-laki. Apabila dalam suatu masyarakat berlaku kebiasaan dimana laki-laki seratus persen menanggung beban ekonomi keluarga, sementara wanita sama sekali tidak menanggungnya. Bila dalam suatu masyarakat berlaku kebiasaan dimana wanita juga ikut menanggung beban ekonomi keluarga, maka bagian kelompok wanita tergantung sumbangannya terhadap keluarga atau disesuaikan dengan kondisi social yang berlaku.
Alasan 66.6% merupakan batas maksimal laki-laki dan 33,3% adalah batas minimal perempuan adalah : karena terdapat karakter fitrah manusia, dan karena semangat kearah keseimbangan tercapai, dan jika batas minimal laki-laki 66,6% dan batas maksimal perempuan 33.3%, maka akan menghasilkan sebuah kesenjangnan. Dan ini bertentangan dengan fitrah manusia yang mencintai keseimbangan. Selain itu syahrur juga berpegangan pada ayat yang menyatakan “jika anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan” berarti bagian anak perempuan adalah 1/3 atau 33.3%. ini masih dikuatkan lagi dengan ayat yang berbunyi “.. dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta” ini berarti anak perempuan boleh menerima lebih dari 33,3%
[41] Ibid, h 413-414
[42] bila tidak demikian maka ayat “jika kamu takut untuk berbuat adil, terhadap anak-anak yatim” dengan jawab atas syarat itu yang berbunyi “maka nikahilah wanita-wanita yang kamu anggap baik : dua, tiga, atau empat…” tidak dapat dipahami.  
[43] Ibid, h. 423-426
[44]  Ibid h 384
[45] Dalam ayat ini hukuman yang dijatuhkan adalah berupa batasan hukum maksimal sekaligus minimal, yaitu dengan redaksi “wa-la ta’khudkum bihima ro’fatun fi dinillah” dalam redaksi tersebut, terdapat peringatan agar tidak memperingan hukuman. Karena hukuman tersebut juga berposisi sebagai batas minimal. 
[46] Shahrur, Prinsip dan dasar Hermautika hukum Islam kontemporer, op.cit h 43
[47] Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam ilmu ushul fiqih teori hudud sebagai alternatif pengembangan ilmu ushul fikih, op.cit. h 389
[48] Syahrur, Prinsip dan dasar Hermenetika hukum Islam kontemporer, op.cit.  h 44-45
[49] Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam ilmu ushul fiqih teori hudud sebagai alternatif pengembangan ilmu ushhul fikih, op.cit. h 390
[50] Syahrur, prinsip dan dasar hermenetika hukum islam kontemporer, op.cit. h 45. Mereka berkesempatan untuk bergerak diantara ketiganya sesuai dengan kondisi objektif kehidupan yang disesuaikan dengan kondisi pihak penerima kekayaan.
[51] Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam ilmu ushul fiqih teori hudud sebagai alternatif pengembangan ilmu ushhul fikih, op.cit. h 390-1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar