Sabtu, 06 Agustus 2011

QS. An-Nisa': 34-35


A.    PENDAHULUAN
Manusia lahir kedunia tanpa dibekali ilmu pengetahuan, baik untuk kepentingan dirinya maupun pihak lain seperti masyarakat dan alam sekitarnya. Namun Allah yang maha bijaksana tidak menyia-nyiakan manusia dan mahluk lain yang telah diciptakannya. Dari itu diturunkannya Al-qur’an untuk menuntun mereka kejalan yang benar sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah : 185 yang berbunyi
شهر رمصان انزل فيه القران هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان
Artinya :  (beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”

Jadi fungsi Al-Qur’an sangatlah penting bagi manusia di dunia ini untuk menuntun kehidupan mereka kejalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan yang benar demi memperoleh kebahagiaan yang abadi kelak di akhirat. Barang siapa yang berpegang teguh kepadanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya sebagaimana disabdakan Nabi saw yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ...
Artinya :    Saya telah meninggalkan dua pusaka kepadamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan sunnahku”

Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman diperlukan pemahaman yang benar. Padahal memahami Al-Qur’an tidaklah mudah. Sejarah mencatat ada kosakat Al-Qur’an yang tidak difahami sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab. Padahal sahabat langsung menerima al-Qur’an dari Nabi saw dan menyaksikan situasi dan kondisi yang melatar belakangi turunnya Al-Qur’an. Apalagi sahabat Umar telah diakui kemampuan dan keluasan pengetahuannya
Ada dua hal yang dapat dipetik dari peristiwa Umar ini, antara lain: pertama, menolak pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa semua bangsa arab dapat memahami dan mengetahui makna kosakata  dan susunan kalimat Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab dan sesuai dengan gaya sastra mereka. Kedua tidak mudah memahami ayat-ayat Al-Qur’an, karenanya diperlukan penafsiran. Untuk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup dengan menguasai Bahasa Arab secara baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang konfrehensif tentang kaedah-kaedah yang berhubungan dengan Ilmu Tafsir. Selain itu musafir harus membebaskan dirinya dari segala bentuk keyakinan dan sifat-sifat tercela.
Salah satu yang disinggung dalam Al-Qur’an adalah mengenai hubungan rumah tangga, yakni surat An-Nisa’ ayat 34-35. yang mana dipaparkan tentang pemimpin, istri yang nusyuz dan cara menyelesaikan masalah rumah tangga. Nah, lalu bagaimana dengan tafsir nya? Bagaimana tafsir menurut tafsir klasik dalam hal ini tafsir Ibnu Katsir, dan bagaimana tafsir modern dalam hal ini Tafsir al-Misbah? Apakah ada perbedaan? Untuk itu mari kita pelajari bersama.


B.     PENGERTIAN
Al-Qur’an menurut pandangan teologis adalah Kalam Allah yang qadim, tidak mahluk. Sedangkan menurut kaum filosof dan al-Shabi’at Al-Qur’an adalah makna yang melimpah kepada jiwa. Kemudian ahli bahasa arab, para fuqoha’ dan ahki ushul fiqih menitik beratkan pengertian al-Qu’an pada teks (lafadz) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat an-Naas.[1]
Al-Qur’an terdiri atas 114 surat, 6251 ayat. Ayat-ayat yang turun sebelum Nabi saw hijrah disebut ayat makiyyah yang meliputi sekitar dua pertiga dari keseluruhan surat Al-Qur’an, dan ayat-ayat yang turun setelah Nabi saw hijrah disebut ayat madaniyyah yang meliputi sekitar sepertiga dari keseluruhan surat Al-Qur’an.
Tafsir menurut Ibn Manzur adalah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz. Menurut kamus bahasa Indonesia tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya tafsir terbagi atas tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-ra’y.
Sedangkan metode tafsir. Kata ‘metode’ berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dan bangsa arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung makna “cara yang teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu peengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan” dalam kaitan studi tafsir Al-Qur’an, metode bararti “suatu cara yang teratur dan terfikir baik-baik untuk menggapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw”

C.  TAFSIR KLASIK DAN TAFSIR MODERN
Pendekatan modern dalam kajian Al-Qur’an muncul, salah satu faktornya adalah, karena adanya pemahaman yang berbeda mengenai Al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan selaras dengan setiap zaman dan tempat. Para ulama kita (dalam bahasa Yusuf Rahman para ulama klasik/dahulu) memahami kata-kata/istilah tadi dengan keuniversalitasan Al-Qur’an. Al qur’an itu relevan bagi setiap zaman dan tempat, melampaui batas ruang dan waktu. Sedangkan dalam pandangan muslim kontemporer perlu ada reinterpretasi agar relevan dengan tuntutan/semangat zaman dan selaras dengan tantangan modernitas sehingga shalihun li kulli zaman wa makan itu akan terus berproses dan berinteraksi dengan kekinian.
Istilah para ulama dahulu/klasik yang selalu disandarkan dengan ulama tekstualis dengan ulama kontemporer yang diidentikan dengan ulama kontekstualis sebenarnya kurang pas karena dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ada yang menggunakan salah satunya (cenderung tekstualis atau kontekstualis) dan ada juga yang mencampuradukan keduanya.
Perbedaan tekstualis dengan kontekstualis adalah kalau tekstualis menghukumi kekinian itu dengan mengembalikan sepenuhnya kepada teks Al-Qur’an dan pendekatannya lebih menekankan pada sisi kebahasaannya atau linguistiknya saja sedangkan kontekstualis beranggapan kalau penekanannya pada sisi bahasa saja akan terjadi pembacaan yang berulang-ulang (al-Qiraah al-Mukarrarah) sehingga bagi para kontekstualis hal tersebut akan berimplikasi pada penafsiran yang zumud dan tidak cocok dengan apa yang dibutuhkan masyarakat sekarang, maka timbullah pembacaan kritis (al-Qiraah al-Muntijah) dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
Menurut Mustaqim, munculnya berbagai macam corak dan karakteristik penafsiran yang kemudian disebut dengan istilah madzahibut tafsir disebabkan  oleh banyak faktor,  antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis dimana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk penafsirannya. Statemen ini agaknya semakin menguatkan tesa Micheil Fucoult bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu tafsir  tidak bisa dipisahkan dari adanya relasi kekuasaan (baca: politik). Selain itu,  perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir. Faktor-faktor tersebut dikategorikan sebagai faktor ekternal  atau al-‘awa mil ad-da khiliyyah. Sedangkan secara internal munculnya madzab-madzab tafsir antara lain berupa cakupan makna yang dikandung oleh al-Qu’ran. Al-Qur’an itu memang multiple understanding, mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga pluralitas penafsiran al-Qur’an dipandang sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral. sejarah  periodesasi madzahibut tafsir menjadi tiga yaitu,
  Pertama, periode klasik. Periode ini dapat  dikakatakan sebagai periode formatif, di mana penafsiran Al-Qur’an masih mencoba mencari bentuk. Wajar jika  Al-Qur’an pada waktu itu begitu terbuka untuk ditafsirkan. Era formatif ini dimulai sejak masa Nabi saw,  mengingat bahwa awal mula munculnya tafsir memang sejak Al-Qur’an itu diturunkan.  Sebab begitu Al-Qur’an diturunkan Nabi Saw lalu menafsirkan dan mengkomunikasikannya kepada para sahabat. Hanya saja model penafsiran Nabi masih merupakan bentuk tafsir  oral dan pragmatis. Artinya ketika itu belum ada rumusan metodologi tafsir yang sistemtis. Tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an seringkali dilakukan dalam rangka untuk memahami ayat  tertentu yang bisa langsung dipraktikkan, atau karena ada pertanyaan yang muncul dari sebagian para sahabat yang kesulitan memahami suatu ayat. Jadi, tafsir bukan untuk kepentingan academic exegesis.
Kedua, periode pertengahan. Era ini dapat dikatakan sebagai era afirmatif, dimana umat Islam mulai mengalami kemunduran. Tafsir seringkali hanya menjadi afirmasi terhadap kebijakan politik, sekte,  madzab  atau penguasa tertentu. Dengan kata lain sektarianisme dalam tafsir begitu kental mewarnai produk-produk tafsir mereka. Kegiatan penafsiran Al-Qur’an seolah tidak dilandasi oleh kepentingan bagaimana menjadikan al-Qur’an sebagai hidayah bagi manusia, tapi justru menjadikan penafsiran al-Qur’an sebagai alat kekuasan dan mendukung madzab tertentu.
Ketiga, periode Modern-Kontemporer atau era reformatif. Adapun karaketeristik yang menonjol pada tafsir perieode meodern-kontemporer antara lain adalah menjadikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk.
Dalam upaya mengembalikan Al-Quran sebagai kitab petunjuk ini,  oleh para mufassir kontemporer kitab suci ini tidak lagi dipahami sebagai wahyu yang “mati” sebagaimana dipahami oleh para ulama tradisional selama ini, melainkan sebagai sesuatu yang “hidup”. Al-Quran dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak lepas dari konteks kesejarahan umat manusia. Al-Quran tidak diwahyukan dalam ruang yang hampa-budaya, melainkan  justru hadir dalam zaman dan ruang yang sarat budaya.  Nasr Hamid Abu Zayd bahkan menilai Al-Quran sebagai “produk budaya”, yakni sebagai teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ketujuh selama lebih duapuluh tahun dan ditulis  dengan berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut.
Sebagai konsekuensi atas pemahaman Al-Quran yang seperti ini, untuk memahaminya pun tidak cukup dengan mengandalkan perangkat keilmuan seperti yang digunakan para mufassir selama ini semisal usul fiqh, asbab al-nuzul, nahwu-sharaf,  balaghah dan sebagainya. Metode (pendekatan) hermeneutik akhirnya menjadi “menu alternatif” yang menggantikan perangkat keilmuan selama ini yang dianggap   bukan hanya tidak memadai namun juga tidak “tahan banting” terhadap tantangan zaman.
Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa karakter yang menonjol lainnya di era kontemporer adalah kecenderungannya menggunakan pendekatan  hermenetis. Paradigma tafsir kontemporer cenderung pada paradigma hermenetis yang lebih menekankan pada aspek epistemologis-metodologis dalam mengkaji Al-Qur’an untuk menghasilkan pembacaan yang produktif (al-Qira’ah al-Muntijah), katimbang pembacaan yang repetitif (al-qira’ah al-tikrariyyah)  atau pembacaan yang ideologis-tendensius  (al-Qira’ah al-mugridah). Hal ini senada dengan pernyataan Roger Trigg seperti dikutip oleh  Komarudin Hidayat dalam buku Memahami Bahasa Agama bahwa: The Paradigm for hermeneutics is interpretation of the traditional text, where the problem must always be how we can come to understand  in our own context something which was written  in radically different situation.  Artinya paradigma hermeneutik adalah suatu penafsiran terhadap teks tradisional/klasik dimana suatu permasalahan harus selalu diarahkan bagaimana supaya  teks  tersebut selalu kita dapat pahami  dalam konteks kekinian yang situasinya amat berbeda.

D.  SEKILAS TENTANG TAFSIR IBNU KATSIR DAN TAFSIR AL-MISBAH
1.   Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir ibnu katsir dikarang oleh Al-Hafidz ‘Imaduddin Abul Fida Ismail bin Umar bin katsir bin Dhau bin Katsir bin Zara’ Al-Qaisi Al-Basri Al-Dimsiqi Asy-Syafi’i, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir sekitar tahun 701 H, hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa beliau berusia 3 tahun ketika ayahnya wafat paada tahun 703 H. Ibnu Katsir wafat tahun 774 H Ibnu katsir dilahirkan di desa Mujidal, dan mulai menimba ilmu di Damaskus. Ibnu Katsir adalah seorang imam besar dan seorang hafizh. Dia belajar kepada Ibnu Taimiyyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama’ mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits dan sejarah. Kitab sejarahnya adalah Al Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama dalam sejarah Islam. Dan kitab tafsirnya, Tafsirul Qur’anil Adzim, merupakan tafsir paling terkenal diantara sekian banyak kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur yang pernah ditulis, dan menduduki peringkat kedua setelah tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari.
Keahlian dan kepribadian Ibnu Katsir banyak diungkap oleh para ahli. Diantaranya diungkapkan oleh Al-Daawi, Ia menyatakan: “Ibnu Katsir banyak menyimak pelajaran, semangat dalam menghafal matan hadits, menguasai ilmu sanad, rijal hadits dan sejarahnya, sehingga ia menjadi orang yang sangat menguasai ilmu-ilmu tersebut disaat usianya masih muda. Beliau adalah panutan para ulama’ dan hufadz hadits serta rujukan para ahli semantic” Sedangkan Az-Zahabi berkata: “Ibnu Katsir pandai memberikan fatwa, juga dalam berdebat, menguasai fiqih, tafsir, nahwu, dan sangat menguasai ilmu rijal hadits. Ibnu Katsir adalah seorang ahli fiqih yang sangat teliti, ahli Hadits yang cermat, dan ahli tafsir yang sangat kritis” Ibnu Hijji menyatakan: “Ibnu katsir adalah orang yang paling hafal matan-matan hadits, paling tahu tahrij hadits, semua orang dari guru hingga muridnya tau realita ini, sering pula dalam tulisannya beliau menyertakan pengetahuannya tentang fikih dan sejarah, jarang sekali lupa, seorang ahli fiqih yang yang sangat baik pemahamannya, pemikirannya sangat cerdas, beliau hafal kitab ‘tanbih’ hingga meninggal, memahami ilmu Bahasa Arab secara luar biasa, juga pembuat syair yang indah. Tidak pernah aku merasa sering bertemu dengannya kecuali aku selalu mendapat manfaat darinya.” Dan masih banyak ungkapan-ungkapan lain tentang ibnu katsir.
Kitab tafsirAl-Qur’an al-Azim karya ibnu katsir merupakan salah satu kitab tafsir dengan corak bi al-matsur karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai rieayat atau hadits, pendapat sahabat dan tabi’in. namun terkadang ibnu Katsir pun menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat. Adapun manhaj yang ditempuh oleh ibnu katsir dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikatagorikan sebagai manhaj tahlili (metode analisis) dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analistis menurut urutan mushaf Al-Qur’an. Meski demikian, metode penafsiran kitab ini juga dapat dikatakan semi tematik (Maudhu’i), karena ketika menafsirkan ayat, ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan kedalam suatu tempat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ia tefsirkan. Secara lebih rinci tahap yang ditempuh oleh Ibnu Katsir adalah: Menafsirkan dengan Al-Qur’an (ayat-ayat lain), Menafsirkan dengan hadits, Menafsirkan dengan pendapat para sahabat dan tabiin, menafsirkan dengan pendapat para ulama’, dan menafsirkan dengan pendapatnya sendiri.

2.   Tafsir Al-Misbah
Tafsir al-misbah dikarang oleh Quraish Shihab. Beliau lahir di Rappang, sulawesi selatan pada tanggal 16 Februari 1944. beliau adalah putra dari Prof. KH. Abdurrahman Shihab, seorang ulama’ dan guru besar dibidang tafsir. Quraish mendapat motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajakknya duduk bersama. Dari sini lah hingga kemudian beliau mampu menerjemahkan dan menyampaikan al-Qur’an dalam konteks masa kini dan modern.
Pendidikan formal quraish Syihab dimulai dari sekolah dasar di Makasar. Setelah itu melanjutkan disekolah lanjutan tinggi opertama di Malang, sekaligus menjadi santri di Pondok-pesantren Darul Hadits al-Falaqiyah. Kemudian beliau melanjutkan di al-Azhar Kairo pada tahun 1958 dan diterima dikelas dua tsanawiyyah. Pada tahun 1967 beliau mendapat gelar Lc, dua tahun kemudian, yakni tahun 1969 beliau mendapat gelar MA, dan pada tahun 1980 beliau memulai pendidikan S3nya dan mendapat gelar doctor dua tahun kemudian.
Adapun corak tafsir atau aliran tafsir yang diikuti oleh Muhammad Quraish shihab dalam tafsir al-Misbahnya adalah Tafsir Adabi al-Ijtima’I, yaitu corak penafsiran al-Qur’an yang tekanannya bukan hanya ke tafsir Lughawi, tafsir Fiqih, tafsir ilmi dan tafsir al-Isy’ari akan tetapi arah penafsirannya ditekankan pada kebutuhan masyarakat dan sosial masyarakat, yang kemudian disebut corak tafsir Adabi al-Ijtima’i.

D.  AYAT DAN ARTINYA
الرجَالُ قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله والتى تخافون نشوزهن فعظوهن وهجروهن فى المضاجع واضربوهن فان اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان علياً كبيراً[٤٣] وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحاً يوقف الله بينهما إن الله كان عليماً خبيراً [٥٣]

Artinya :    Kaum Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memlihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu hawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur meraka, dan pukullah mereka. Memudian jika mereka menaaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha tinggi dan maha Besar. (34). Dan jika kamu hawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (35).

E.  TAFSIR MENURUT TAFSIR IBNU KATSIR[2]
Allah SWT berfirman bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepada dan guru pendidik bagi kaum wanita, karena kaum lelaki memiliki kelebihan diatas kaum wanita yang dibuktikan dengan dikhususkannya tugas kenabian dan kerasulan hanya bagi kaum lelaki, demikian pula pimpinan Negara dan bangsa dianjurkan oleh Rasulullah agar berada ditangan pihak laki-laki. Beliau bersabda
لن يفلح قومٌ ولوا امرهم امرأةً
Artinya : “tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan pimpinanya kepada seorang perempuan” (HR. Bukhari)

Selain kelebihan jasmani dan mental fihak laki-laki diatas wanita yang menjadi pembawaan fitrah, juga karena pihak lelaki berkewajiban menafkahkan hartanya untuk kepentingan hidup pihak wanita serta untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti mas kawin dan beban-beban keuangan lainnya yang diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut Al-Qur’an dan sunnah Nabinya. Maka dengan kelebihan-kelebihan itu patutlah kalau pihak pria menjadi pemimpin dan wali diatas pihak wanita, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
وللرجال عليهن درجة
Artinya : “dan bagi pihak laki-laki ada kelebihan satu tingkat di atas pihak wanita”
Diriwayatkan oleh Muqatil, Assuddi dan Adhdhahhak dari al-Hasan al-basri, bahwa ayat ini diturunkan dalam peristiwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw mengadukan suaminya yang telah menamparnya dan oleh Rasulullah saw diperintahkannya membalas tamparan itu (Qishas), tetapi dengan turunnya ayat ini, pembalasan tidak jadi dilakukan dan kembalilah perempuan itu sia-sia.
Dan menurut riwayat ibnu Mardawaih dari ja’far bin Muhammad bahwa Ali bin Abi Thalib bercerita: Seorang pria dari sahabat ansar datang kepada Rasulullah saw. Bersama istrinya yang mengadukan bahwa suaminya fulan bin fulan dari golongan Ansor telah memukulnya dibagian wajahnya sampai berbekas. Rasulullah saw bersabda kepadanya
ليس له ذلك
Artinya : “Dia tidak berhak berbuat demikian”
Lalu turunlah ayat ini kepada Beliau dan bersabdalah:
اردت أمرا واراد الله غيره
Artinya : “Aku menghendaki sesuatu namun Allah menghendaki yang lain”

Allah berfirman selanjutnya bahwa wanita-wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah dan taat kepada suami-suaminya, memelihara dirinya dan harta suaminya dibalik pembelakangan sang suami, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Rasulullah saw bersabda menurut riwayat Ibnu Jarir dari Abu Hurairah
خير النساء امراة إذا نظرت اليها سر تك وإذا امرتها اطاعتك وإذا غبت عنها حفظتك فى نفسها ومالك
Artinya : “Sebaik-baik wanita ialah perempuan yang apabila engkau melihatnya menyenangkan, apabila engkau perintah menaati perintahmu, dan apabila engkau berada dibelakangnya (tidak hadir) ia menjaga dirinya dan harta bendamu.”

Kemudian dibacalah oleh beliau ayat ini. Diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abdurrahman bin Auf, bahwa Rasulullah saw bersabda
إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحفظت فرجها واطاعت زوجها قيل لها ادخلى الجنة من اي الابواب شئت
 Artinya : “Jika seorang wanita telah sembahyang lima waktunya, berpuasa pada bulannya (Ramadhan), menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya, dikataknlah kepadanya (dihari kiamat) masuklah kesurga dari pintu mana  saja engkau suka.”

Allah Berfirman, jika kamu menghawatirkan nusyuz dari pihak istri-istrimu, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dirimu ditempat tidur mereka jika nasehatmu tidak diacuhkan dan janganlah diajak bicara tanpa memutus pernikahanmu dengan mereka dan jika semua ini tidak mempan, maka hendaklah kamu memukul mereka dengan pukulan yang tidak merusak bagian-bagian tubuhnya terutama wajah dan kepalanya.
Nusyuz artinya meninggalkan kewajiban bersuami-istri dan nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami, bersikap sombong kepada suaminya, melanggar perintahnya, atau membencinya, padahal Allah telah mewajibkan ia taat kepada suami dan diharamkan ia mendurhakainya. Rasulullah saw bersabda:
لوكنت أمر احدا ان يسجد لاحد لامرت المرأة ان تسجد لزوجها من عظم حقه عليها
Artinya : “Andaikan aku memerintahkan seseorang bersujud kepada seseorang, niscaya kuperintahkan orang perempuan bersujud kepada suaminya, dikarenakan besarnya hak sang suami atas sang istri.”

Dan diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
إذا دعا الرجل امرأته الى فراشه فابت عليه لعنتها الملائكة حتى تصبح
Artinya : “Jika seorang pria memanggil istrinya ketempat tidurnya dan ditolak, maka dila’natlah sang istri itu oleh malaikat sepanjang malam sampai pagi”

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Haidah Al-Ousyairi bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw “Ya Rasulullah, apakah hak istri yang menjadi kewajiban suami?” beliau menjawab:
ان تطعمها اذا طعمت وتكسوها اذا اكتسيت ولا تضرب الوجه ولا تقبح ولا تهجر الا فى البيت
Artinya : “Hendaklah ia diberi makan jika engkau makan dan diberi pakaian jika engkau berpakaian dan janganlah memukul wajahnya dan menjelek-jelekkanya dan janganlah menjauhi dia melainkan didalam rumah”

Diriwayatkan oleh Muslim bin Jabir, bahwa Rasulullah saw bersabda dikala melaksanakan haji wada’ (pamitan)
اتقوا الله فى النساء فانهن عند كم عوان ولكم عليهن ان لا يوطئن فراشكم احدا تكرهونهفان فعلن فضربوهن ضربا غير مبرح ولهن رزقهن وكسوتهن بالمعرف

Artinya : “bertaqwalah kepada Allah mengenai pihak wanita. Sesungguhnya mereka itu adalah penolong sejati bagi kamu dan menjadi kewajiban di atas mereka, bahwa mereka tidak membiarkan seorang yang kamu tidak sukai menginjak tempat tidur kamu. Dan jika mereka berbuat yang demikian itu. Pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Dan kewajiban kamu bagi mereka ialah memberi makan dan pakaian kepada mereka dengan cara yang patut dan layak.”

Diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Unainah dari Abdullah bin Abi Dzi’ab bahwa Rasulullah saw bersabda
لاتضربوا اماء الله
Artinya : “Janganlah kamu memukul wanita-wanita hamba Allah”

Lalu datanglah Umar ibnu Khattab kepada Rasulullah mengeluh bahwa wanita-wanita setelah mendengar hadits beliau itu menjadi berani terhadap suami-suaminya, maka diizinkanlah para suami memukul istri-istrinya oleh Rasulullah, sehingga banyak wanita mendatangi keluarga Rasulullah mengadukan suami-suami mereka. Dan akhirnya bersabdalah Rasulullah setelah banyaknya pengaduan itu
لقد اطاف بال محمد نساء كثير يشتكين من ازواجهن ليس اولئك بخياركم

Artinya: “Telah banyak wanita keliling mendatangi keluarga Muhammad mengadukan suami-suami mereka. Mereka itu (suami-suami itu) bukanlah orang-orang baik diantara kamu”

Allah swt berfirman dalam penutup ayat ini: “Dan jika mereka telah mentaati kamu dalam segala apa yang kamu kehendaki dari mereka sepanjang yang diperbolehkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagimu untuk menyusahkan mereka dengan memisahkan diri dari mereka atau memukul mereka. Ketahuilah bahwa Allah maha tinggi lagi maha besar yang akan memberi balasan terhadap pria-pria yang menganiaya para wanita dan berlaku kejam terhadap istri-istri mereka tanpa alasan dan sebab yang benar
Dalam ayat 34 disebut soal nusyuz yang datang dari pihak perempuan, sedang dalam ayat ini diatur bagaimana jika terjadi persengketaan antara keduanya, suami-istri. Menurut pendapat para ahli fikih jika terjadi persengketaan antara suami-istri maka hendaklah penguasa setempat menyerahkan persoalannya kepada orang yang jujur dan dapat dipercaya untuk menyelidiki perkaranya dan mencegah yang salah dan dzalim diantara keduanya agar tidak meneruskan kesalahan dan kedhalimannya itu. Tetapi jika persengketaan itu sudah berkepanjangan dan sudah menjadi makin gawat, maka hendaklah perkaranya diserahkan kepada suatu team juri yang terdiri dari seorang kepercayaan pihak suami dan seorang kepercayaan dari pihak istri. Tim juri atau pendamai ini mempelajari persoalan sengketa secara seksana dan memutuskan apa yang menjadi kebaikan bagi kedua belah pihak, berdamai dan berkumpul kembali atau berpisah dan bercerai
Ibnu Abbas berkata menurut Ali bin Abi Thalhah : Allah memerintahkan mengerus seorang shaleh dari keluarga suami dan serupa dari keluarga istri. Keduanya hendaklah menyelidiki dengan seksama, siapa diantara keduanya (suami-istri) yang salah. Jika suami yang salah maka istrinya dipisahkan dari padanya dengan kewajiban ia tetap memberi nafkah. Sedangkan kalau istri yang salah maka ia dikembalikan pada suaminya dengan dihentikannya pemberian nafkah. Dan jika juru pendamai itu sudah mencapai kata sepakat menceraikan atau mempertemukannya kembali suami-istri tersebut maka keputusan mereka itu berlaku dan diterima oleh kedua belah fihak. Dan andai kata kedua juru damai itu memutuskan mempertemukan suami-istri yang bersengketa itu kembeli, lalu seorang diantara antara keduanya (susmi-istri) itu meninggal dunia maka fihak yang menerima keputusan juru pendamai dapat mewarisi fihak yang menolak keputusan dan tidak sebaliknya.
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ubaidah yang bercerita : Aku melihat Ali bin Abi Thalib ra tatkala didatangi oleh seorang perempuan bersama suaminya, yang masing-masing diantar oleh sekelompok orang dari golongannya. Mereka datang untuk mengajukan sengketa (shiqaq) yang timbul antara suami-istri itu. Kedua golongan menunjuk orang yang mewakili masing-masing untuk menjadi juru pendamai. Kepada kedua hakam yang diajukan itu imam Ali berucap: “Apakah kamu tahu apa yang menjadi kewajiban kamu? Kewajiban kamu ialah menyelidiki persengketaan kedua suami-istri ini, jika menurut pandangan kamu keduanya masih dapat dipertemukan kembali, maka satukanlah mereka. dan sebaliknya kalau kamu berdua berpendapat untuk kemaslahatan mereka berdua lebih baik bercerai, maka perceraikanlah mereka.”
Mendengar perkataan Imam Ali itu, berkatalah sang istri: “Aku tunduk pada kitab Allah dan menerima keputusan apapun yang akan dijatuhkan. Sedang sang suami berkata jika keputusan harus bercerai maka aku tidak mau menerimanya.” Maka khalifah Ali berkata : Engkau berdusta demi Allah engkau tidak akan kubiarkan meninggalkan tempat ini sampai kau tunduk kepada kitab Allah dan menerima keputusan yang kutetapkan bagaimanapun bunyinya”
Para ulama’ sepakat bahwa kedua hakam yang menjadi juru pendamai itu dapat memutuskan mengumpulkan kembali kedua suami-istri yang bersengketa itu atau menceraikannya. Bahkan menurut Ibrahim Annakha’ie, mereka dapat menjatuhkan keputusan menceraikan dengan thalaq satu, dua, maupun tiga. Demikianlah yang diriwayatkan oleh imam Malik
Menurut pendapat Al-Hasan Al-Basri, Qotadah, Zaid bin Aslam, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur dan Dawud, kedua hakam itu hanya berhak memutuskan kembalinya suami-istri yang bersengketa itu, tetapi bukan menceraikannya. Alasan mereka karena dalam ayat itu yang disebut hanya kata ‘Yuwaffiq’ yang berarti mengakurkannya kembali dan tidak ada disebut ‘menceraikannya’
Para ulama’ berselisih tentang siapakah yang menunjuk dan mengangkat kedua hakam itu. Apakah pemerintah (penguasa) atau suami-istri yang bersengketa. Pendapat jumhur ulama’ condong kepada pendapat yang pertama, yang dianggapnya sesuai dengan bunyi “maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga lelaki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” Dan memang dapat dimengerti bahwa tidak selalu keputusan “hakam” juru pendamai itu memenuhi kemauan yang bersengketa.


F.   TAFSIR MENURUT TAFSIR AL-MISBAH[3]
Pada ayat 32 melarang berangan-angan serta iri menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang dianugerahkan Allah itu antara lain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya. Karena itu pula ayat 32 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, dimana terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini fungsi dan kewajiban masing-masing jemis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung ayat ini dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qowwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan atau bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Disamping itu ia juga memelihara diri, hak-hak suami dan rumah tangga ketika suaminya tidak ditempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah, terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suaminya, ketika suami tidak ditempat, cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.
Karena tidak semua istri taat pada Allah -demikian pula suami- maka ayat ini memberi tuntunan kepada suami, bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga menyebabkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.
Petunjuk Allah itu adalah : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan, yakni sebelum terjadi nusyuz mereka , yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu wahai para suami maka nasihatilah mereka, pada saat yang tepatdan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan dan bila nasihat belum mengakhiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah tetapi ditempat pembaringan kamu berdua dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhan kamu kepada mereka –jika sikap mereka berlanjut- dan kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu maka pukullah mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencederainya namun menunujukkan sikap tegas. Lalu jika mereka telah mentaati kamu, baik sejak awal nasihat atau setelah meninggalkannya ditempat tidur, atau saat memukulnya, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka, dengan menyebut dan mengecam lagi pembangkangannya yang lalu. Tetapi tutuplah lembaran lama itu dan buka lembaran baru dengan bermusyawarah dalam segala persoalan rumah tangga, bahkan kehidupan bersama. Sesungguhnya Allah sejak dahulu hingga kini Maha Tinggi dan Maha Besar. Karena itu, merendahlah kepada Allah dengan menaati perintahNya dan jangan merasa angkuh apalagi membangkang bila perintah itu datang dari Allah swt.
Kata (الرجال ) ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata (رجل) rajul yang biasa diterjemahkan lelaki, walaupun Al Qur’an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata ar-rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. Qutaish shihab pada awalnya ikut mendukung pendapat itu. Dalam buku wawasan Al Qur’an, beliau kemukakan bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘ala an nisa’, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan diatas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah “karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka”, Yakni untuk istri-istri mereka.
Seandainya yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, maka tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Demikian yang beliau tulis beberapa tahun yang lalu.
Tetapi kemudian Quraish Shihab menemukan Muhammad Thahir Ibnu ‘asyir dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang sangat perlu dipertimbangkan. Yaitu, bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh Bahasa Arab, bahkan bahasa Al Qur’an dalam arti suami. Berbeda dengan  kata (النساء) an-nisa’ atau (امراْة) imra’ah yang digunakan untuk makna istri.
Menurutnya, penggalan ayat diatas berbicara secara umum tentang pria dan wanita, dan berfungsi sebagi pendahuluan, bagi penggalan ayat ini, yaitu tentang sikap dan sifat istri-istri yang shalihah.
Kata (قوامون) qawwamun adalah bentuk jamak dari kata (قوام) qawwam, yang terambil dari kata (قام) qama. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat -misalnya- juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakan dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seseorang yang melaksanakan tugas dan atau yang diharapkan darinya dinamai (قائم) qaim. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai qawwam. Ayat diatas menggunakan bentuk jamak, yaakni qawwamun sejalan dengan makna kata ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi seperti terbaca dari maknanya diatas agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimipinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam kecerian wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat mucul seketika, tapi boleh jadi sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat dengan perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Nah, siapakah yang harus memimpin? Allah SWT. Menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu :
Pertama, (بما فضل الله بعضهم على بعض)  bima fadhdhala-llahu ba’dhahum ‘ala ba’dh / karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimilili lelaki, lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimilki perempuan. Di sisi lain keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa fungsi menciptakan bentuk atau bentuk disesuaikan dengan fungsi . Mengapa pisau diciptakan lancip dan tajam, mengapa bibir gelas tebal dan halus, mengapa tidak sebaliknya? Jawabannya adalah ungkapan diatas. Yakni pisau diciptakan demikian, karena ia berfungsi untuk memotong, sedang gelas untuk minum. Kalau bentuk gelas sama dengan pisau, maka ia berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Kalau pisau dibentuk seperti gelas, maka sia-saialah kehadirannya dan gagal pula ia dalam fungsinya.
Sejak dahulu, orang menyadari adanya perbedaan, bahkan kini, para pakar pun mengakuinya. Cendikiawan Rusia pun saat Komunisme berkuasa disana mengakuinya. Amton Nemiliov dalam bukunya yang diterjemahkan ke bahasa inggris dengan judul The Biological Tragedy of Women menguraikan secara panjang lebar perbedaan-perbedaan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan kenyataan-kenyataan yang ada.
Murthadha Muthahhari seorang ulama termuka di Iran dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Abu az-Zahra an–Nafi ke dalam bahasa Arab dengan judul Nizham Huquq al-mar’ah menulis lebih kurang sebagai berikut :
“Lelaki secara umum lebih besar dari dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangannya perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampun paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/lebih banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.
Sampai disini, sebelum kita larut dalam uraian perbedaan, mari kita ingat ungkapan yang lalu, “Keperluan menciptakan bentuk, dan bentuk disesuaikan dengan fungsi.
Selanjutnya mari kita perhatikan perbedaan pria dan wanita dari segi psikis. Secara umum lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tentram.
Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau orang selain, karena itu jumlah wanita yang bunuh diri lebih sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang lebih keras  –pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian–  sementara wanita menggunakan obat tidur, racun dan semacamnya.
Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentiment dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki, yang biasanya lebih berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya menghias diri, kecantikan dan mode yang beraneka ragam serta berbeda bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten dibanding dengan lelaki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas nampak sejak kanak-kanak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari lelaki.
Prof. Reek, pakar psikologi Amerika, yang telah bertahun-tahun melakukan penelitian tentang pria dan wanita menguraikan keistimewaan pria dan wanita dari segi kejiwaannya antara lain sebagai berikut :
1.      Lelaki biasanya merasa jemu untuk tinggal berlama-lama di samping kekasihnya. Berbeda dengan wanita, ia merasa nikmat berada sepanjang saat bersama kekasihnya.
2.      Pria senang tampil dalam wajah yang sama setiap hari. Berbeda dengan wanita yang setiap hari ingin bangkit dari pembaringannya dengan wajah yang baru. Itu sebabnya mode rambut dan pakaian wanita sering berubah, berbeda dengan lelaki.
3.      Sukses di mata pria adalah kedudukan social terhormat, serta penghormatan dari lapisan masyarakat, sedangkan bagi wanita adalah menguasai jiwa raga kekasihnya dan memilikinya sepanjang hayat. Karena itu pria  –disaat tuanya-merasa sedih, karena sumber kekuatan mereka telah tiada, yakni kemampuan untuk bekerja, sedang perempuan merasa senang dan rela karena kesenangannya adalah dirumah bersama suami dan anak cucu.
4.      Kalimat yang paling indah didengar oleh wanita dari pria, menurut prof. Reek adalah, “kekasihku, sungguh aku cinta padamusedang kalimat yang indah diucapkan oleh wanita kepada pria yang dicintainya adalah, “Aku bangga padamu.”
Psikolog wanita, Cleo Dalon, menemukan dua hal penting pada wanita sebagaimana dikutip oleh Murthadha Muthahhari dalam bukunya Nizham Huquq al ia
1.      Wanita lebih suka bekerja di bawah pengawasan orang lain.
2.      Wanita ingin merasakan bahwa ekspresi mereka mempunyai pengaruh terhadap  orang lain serta menjadi kebutuhan orang lain.
Psikologi  wanita itu kemudian merumuskan “menurut hematkukedua kebutuhan psikis ini bersumber dari kenyataan bahwa permpuan berjalan di bawah pimpinan persaan sedang lelaki dibawah pertimbangan akal. Walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki dalam hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Kelemahan wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Lelaki berfikir secara praktis, menetapkan, mengatur, dan merasakan. Wanita harus menerima kenyataan bahwa mereka memmbutuhkan kepemimpinan lelaki atasnya.
         Perlu di catat bahwa walaupun secara umum pendapat di atas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang di tafsirkan ini, Namun adalah sewajarnya untuk tidak menilai perasan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah salah satu keistimewaan yang tidak kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan itu sangat di butuhkkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anak.
Kembali ke persoalan semula, ada perbedaan tertentu baik fisik maupun psikis antara lelaki dan perempuan. Mempersamakannya dalam segala hal berarti melahirkan jenis ke tiga, bukan jenis lelaki dan bukan jenis perempuan, seperti yang di lukiskan oleh sejarawan Perancis, Maurice Bardeche, dalam bukunya Histoire De Femmes.
         Kedua, (بما انفقوا من اموالهم) bima anfaqu min amwalihi disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Bentuk kata kerja past tense / masa lampau yang digunakan ayat ini  telah “menafkahkan’’, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung di gambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasan lama itu masih berlaku hingga kini.
Dalam   konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan ke dua agaknya cukup logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi pada hakikatnya ketetapan ini bukan hanya di atas perkembangan materi.
Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami bahkan kekasihnya, disisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu agama islam yang tuntunan-tuntunannnya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya. Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggaan istri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami, sebagai tanda cinta kepadanya.
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan istri secara ekstrim dan berlebihan, pakar Islam, Ibnu Hazm, berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dalam hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan untuk istri dan anak-anaknya pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan.
Nah, dari kedua factor yang disebut di atas –keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan dan anak-anak– lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Bukan kewajiban taat secara mutlak. Jangankan terhadap suami, kebaktian kepada ibu bapak pun kebaktian kepada mereka tidak boleh mencabut hak-hak pribadi seorang anak. Pakar tafsir Rosyid Ridha menulis makna bakti kepada orang tua bahwa “tidak termasuk sedikitpun dalam kewajiban berbuat baik / berbakti kepada keduanya sesuatu yang mencabut kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkut paut dengan pribadi anak, agama atau negaranya”.
Perlu digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang di anugerahkan Allah kepada suami, tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah “musyawarah” merupakan anjuran Al-Qur’an dalam menyelesaikan setiap persoalan termasuk persoalan  yang dihadapi keluarga?”
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan “ derajat/tingkat yang lebih tinggi dari perempuan”. Bahkan ada ayat ayang menegaskan “derajat “ tersebut yaitu firman-Nya : “ para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut makna yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)”. (Q.S. Al Baqarah [2]: 228).
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri, karena itu tulis Guru Besar para pakar tafsir, yaitu imam Ath-Thabri “walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnnya adalah perintah kepada para suami untuk memperlakukan istrinya secara terpuji, agar suami dapat memperoleh derajat itu.”
Imam Ghazali menulis, “Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar terhadap gangguan/kesalahan serta menperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahan.
Keberhasilan pernikahan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hak tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah/penggembala dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentinagan rakyatnya (istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi. Demikian lebih kurang tulis Al imam Fakhruddin Ar-Razi.
Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan Nusyuz, keangkuhandan pembangkangan, maka ada tiga langkah yang dianjurkan di atas untuk ditempuh suami mempertahankan mahligai peernikahan.
Ketiga langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf (و ( wawu yang biasa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan sehinggga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang ke dua didahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian penyusunan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh.
Firman-Nya: (واهجروهن ) wahjuruhunna yang diterjemahkan dengan tinggalkanlah mereka adalah perintah kepada suami untuk meninggalkan istri didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Ini dipahami dari kata hajjar, yang berarti meninggalkan tempat atau keadaan yang tidak baik atau tidak disenangi menuju ketempat dan atau keadaan yang baik atau lebih baik. Jelasnya, kata ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi disamping itu ia juga mengandung dua hal lain. Yang pertama bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, dan yang kedua ia ditinggalkan untuk menuju ketempat dalam keadaan yang lebih baik.
Jika demikian, melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan oleh istrinya, dalam hal ini adalah nusyuz., dan kedua, suami harus berusaha untuk meraih dibalik pelaksanaan perintah itu sesuatu yang baik atau lebih baik dari keadaan semula.
Kata (فى المضاجع) fi al-madhiji’ yang ditirjemahkan dengan ditempat pembaringan, disamping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka dirumah, bahkan tidak juga dikamar tetapi di tempat tidur. Ini karena ayat tersebut menggunakan kata ((فى fi yang bererti di tempat tidur bukan kata min yang berarti dari tempat tidur yang berarti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami istri biasanya tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalah pahaman dapat memperlebar jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui orang lain, bahkan anak-anak dan anggota keluarga di rumah. Karena semakain banyak yang mengetahui, semakin sulit memperbaiki, kalaupun kemudian ada keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi harga diri dihadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang.
Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan arena keberadaan dalam kamar adalah untuk menunjukkan ketidaksenangan suami atas kelakuan istrinya, maka yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidak senangan itu. Kalau seorang suami berada didalam kamar dan tidur bersama, tetapi tidak ada cumbu, tidak ada kata-kata manis, tidak ada hubungan sex, maka itu telah menunjukkan bahwa istri tidak lagi berkenan dihati suami. Ketika itu wanita akan merasakan bahwa senjata ampuh yang dimilikinya        -daya tarik kecantikannya-  tidak lagi mempan untuk membangkitkan gairah suami. Nah, ketika itulah diharapkan istri dapat menyadari kesalahannya. Ketika itulah diharapkan keadaan yang lebih baik yang merupakan tujuan hajr dapat dicapai.
Kata (  (واضربوهنwadhribuhunna yang diterjemahkan dengan pukullah mereka terambil dari kata dhoroba yang mempunyai banyak arti. Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar. Orang yang berjalan kaki atau musafir dinamai oleh bahasa dan oleh al-Qur’an Yadhribuna fi al-ardh yang secara harfiyah berarti memukul dibumi. Karena itu, perintah diatas, dipahami oleh ulama’ berdasarkan penjelasan Rasul saw bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan
Perlu dicatat bahwa ini adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah tangganya. Sekali lagi jangan pahami kata “memukul” dalam arti “menyakiti”, jangan juga diartikan sebagai sesuatu yang terpuji. Rasulullah Muhammad saw mengingatkan agar “jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti” Di waktu lain Nabi saw bersabda, “Tidaklah kalian malu memukul istri kalian, seperti memukul keladai?” malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan nasehat dan cara lain.
Perlu juga disadari bahwa dalam kehidupan rumah tangga pasti ada saja –sedikit atau banyak- yang tidak mempan baginya nasehat atau sindiran. Nah, apakah ketika itu, pemeimpin rumah tangga bermasa bodoh, membiarkan rumah tangganya dalam suasana tidak harmonis ataukah dia harus mengundang orang luar atau yang berwajib untuk memutuskan yang menyimpang diantara anggota keluarganya? Di sisi lain harus disadari bahwa pendidikan dalam bentuk hukuman tidak ditunjukan kepada anda –wahai kaum hawa- yang menjalin cinta kasih dengan suami, tidak juga kepada yang tidak membangkang perintah suaminya, perintah yang wajib diikuti. Tetapi ia ditujukan kepada yang membangkang. Anda jangan berkata jumlah meraka tidak banyak, karena kalaupun yang membangkang dan tidak mempan baginya alternative yang pertama dan kedua diatas, jumlahnya banyak. Apakah salah satu tidak bijaksana bila agama menyediakan tuntunan pemecahan, bagi yang jumlahnya sedikit itu? Jangan pula berkata bahwa memukul tidak relevan lagi dewasa ini, karena pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya –untuk kasus-kasus tertentu- bahkan dikalangan militer pun masih dikenal bagi yang melanggar disiplin, dan sekali lagi harus diingat bahwa pemukulan yang diperintahkan di sini adalah yang tidak mencederai atau menyakitkan. Nah, jika demikian adakah pemecahan lain yang dapat dikemukakan demi mempertahankan keharmonisan rumah tangga lebih baik dari memukul –yang tidak mencederai- setelah nasehat dan meninggalkannya dari tempat tidur tidak berhasil?
Kalau ketiga langkah ini belum berhasil, maka langkah selanjutnya adalah apa yang diperintahkan ayat berikut.
Sementara ulama’ memahami perintah menempuh langkah pertama dan kedua diatas ditujukan kepada suami, sedang langkah ketiga –yakni memukul- ditujukan kepada penguasa. Memang tidak jarang ditemukan dua pihak yang diperintah dalam satu ayat (seperti dalam surat Al-Baqarah: 229). Atas dasar ini ulama’ besar Atha’ berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibnu Al-Arabi mengomentari pendapat Ahta’ itu dengan berkata, pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi saw kepada suami yang memukul istrinya seperti sabda beliau: “Orang-orang terhormat tidak memukul istrinya.” Sejumlah ulama’ sependapat dengan Atha’ dan menolak atau memahami cara metafora hadits-hadits yang membolehkan suami memukul istrinya. Betapapun –kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri bagi suami, maka harus dikaitkan dengan hadits Rasul saw di atas, yang mensyaratkan tidak mencederainya, tidak juga pukulan ini ditunjukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat. Agaknya untuk masa kini dan di kalangan keluarga terpelajar, pemukulan bukan lagi satu cara yang tepat, kerena itu tulis Muhammad Thahir ibn asyur, “pemerintah jika mengetahui bahwa suami tidak dapat menempatkan  sanksi-sanksi agama ini ditempatnya yang semestinya, dan tidak mengetahui batas–batas yang wajar, maka di benarkan bagi pemerintah, untuk menghentikan siksakan di atas ini dan mengumumkan bahwa siapa yang memukul istrinya maka ia akan di jatuhi hukuman. Ini agar tidak berkembang luas tindakan–tindakan yang merugikan istri, khususnya di kalangan mereka yang tidak memiliki moral.
Kalau ketiga langkah yang di ajarkan di atas, belum juga berhasil, maka habis sudah upaya yang dapat di lakukan suami, ketika itu sudah sangat sulit membatasi perselisihan mereka terbatas dalam kamaratau rumah. Pastilah ketika itu asap api pertengkaran telah mengepul ke udara. Kepada yang melihat atau mencium atau mengetahuiadanya hal itu baik keluarga, atau penguasa, atau orang–orang yang di percaya mengurus kepercayaan  rumah tangga  hendaknya  mengindahkan tuntunan ayat berikut yaitu
Jika kamu wahai orang-orang yang bijak dan bertaqwa, khususnya penguasa, hawatir akan terjadinya persengketaan antara keduanya, yakni menjadikan suami dan istri masing-masing mengambil arah yang berbeda dengan arah pasangannya sehingga terjadi perceraian, maka utuslah kepada keduanya seorang hakam juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan kemelut mereka dengan baik. Juru damai itu sebaiknya dari keluarga laki-laki, yakni keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga perempuan, yakni keluarga istri masing-masing mendengar keluhan dan harapan anggota keluarganya. Jika keduanya, yakni suami dan istri atau kedua hakam itu bermaksud mengadakan kebaikan niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya, yakni suami istri itu. Ini karena ketulusan niat untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga merupakan modal utama menyelesaikan semua problema keluarga. Sesungguhnya Allah sejak dulu hingga kini dan yang akan datang maha mengetahui segala sesuatu lagi maha mengenal sekecil apapun termasuk detak-detik kalbu suami istri dan para hakam itu.
Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal, apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami istri yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan, dengan alasan Allah menamai mereka hakam, dan dengan demikian mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupuin tidak. Pendapat ini dianut oleh sejumlah sahabat Nabi saw juga kedua imam madzhab Maliki dan Ahmad ibn Hanbal. Sedang imam Abu Hanifah dan juga imam Syafi’I –menurut satu riwayat- tidak memberi wewenang kepada hakam itu. Untuk menceraikan hanya berada ditangan suami, dan tugas mereka hanya mendamaikan, tidak lebih dan tidak kurang.


G.  ANALISIS
 Dalam surat an-Nisa’ ayat 34-35 ini memang ada perbedaan antara tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al-Misbah. Namun lebih banyak mengandung persamaan. Menurut Quraisy Shihab kaitannya dengan surat an-Nisa’ ayat 34-35 ini apa yang ada dalam hadits dan pendapat ulama’ terdahulu masih banyak yang relevan dengan zaman sekarang. Hanya saja dalam tafsir ibnu katsir terdapat banyak hadits-hadits, contoh kelakuan sahabat serta pendapat ulama’ dalam memperkuat argumennya dalam menafsirkan hadits, sedangkan dalam tafsir Al-Misbah, Quraisy Shihab mencantumkan hadits dan pendapat ulama’, tetapi tidak banyak, dalam tafsirnya beliau juga mencantumkan pendapat-pendapat ilmuan dan hasil penelitian dari berbagai sumber (bahkan penelitian maupun sumber dari orang non islam sekalipun) semuanya itu untuk memperkuat argument tafsir, sehingga penulis merasa pendapat dalam tafsir al-Misbah lebih cocok untuk masa sekarang.
Dalam ayat (الرجال قومون على النساء) dalam tafsir ibnu kasir disebutkan (mutlak) menyatakan bahwa lelaki adalah pemimpin kaum wanita. Dan dalam tafsir tersebut juga disertakan dalil yang menyatakan bahwa tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan. (dan ini merupakan dalil yang terkadang digunakan secara politis untuk melemahkan lawan perempuannya). Sedangkan dalam tafsir Al-Misbah, tadinya Quraish Syihab menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ar-rijal dalam ayat ini adalah seorang pemimpin rumah tangga (bukan yang lain) sedangkan kata Qowwamuna adalah bermakna pemimpin ketika shalat. Namun kemudian Quraisy syihab menyatakan bahwa ayat ini mengandung makna bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, kepemimpinan dalam setiap unit adalah sesuatu yang mutlak, dan Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan pertimbangan-pertimbangan.
Ayat selanjutnya adalah (بما فضل الله بعضهم على بعض) dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa lelaki memiliki kelebihan di atas kaum wanita yang dibuktikan dengan dikhususkannya tugas kenabian dan kerasulan bagi kaum laki-laki. Selain kelebihan jasmani dan mental, juga karena pembawaan fitrah. Sedangkan dalam tafsir Al-Misbah dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu masing-masing memiliki keistiwewaan. Namun keistiwewaan laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan perempuan. Dan keistimewaan perempuan lebih memberi rasa damai dan tenang kepada lelaki dan dalam mendidik serta membesarkan anak. Dalam tafsir ini juga banyak dikupas baik pendapat pakar maupun dari penelitian yang menyatakan perbedaan laki-laki dan perempuan. Wanita bukan sebagai pemimpin bukan berarti wanita lemah, tetapi justru merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki kaum lelaki, dan keistimewaan itu sangatlah diperluhkan.
Dalam ayat selanjutnya adalah (بما أنفقوا من أموالهم) dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan karena pihak lelaki berkewajiban menafkahkan hartanya untuk kepentinganhidup pihak wanita serta untuk memenuhi kebutuhan lain seperti mas kawin dan beban-beban keuangan yang diwajibkan oleh Allah swt kepadanya menurut al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Sedangkan menurut tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat dari dahulu hingga sekarang. Namun pada hakikatnya ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi. Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, disisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu kewajiban menafkahi istri dan keluarga diterima dan menjadi kebanggan suami, sekaligus menjadi kebanggan istri yang dipenihhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami. Maka istri yang shalihah adalah yang taat kepada Allah dan memelihara dirinya.
Selanjutnya adalah mengenai nuzyuznya seorang istri. Ada tiga langkah yang tawarkan dalam al-Qur’an, yakni menasehati, mengingat wanita itu bisasanya perasaannya halus, maka perlu dengan cara yang halus pula, namun  jika ternyata dengan nasehat belum mempan juga, maka hindarilah sex (jauhi tempat tidurnya) agar istri tersebut berfikir kesalahannya. Namun jika ternyata tidak mempan juga maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tetapi untuk menyatakan ketegasan seorang suami.
Kata (واهجروهن فى المضاجع) diterjemahkan dengan tinggalkan mereka adalah perintah suami untuk meninggalkan istri didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Namun meninggalkannya itu bukan di rumah atau kamar, melainkan meninggalkan di tempat tidur. Karena berjauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalah pahaman dapat memperlebar jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain bahkan anak-anak dan anggota keluarga dirumah. Karena semakin banyak yang mengetahui semakin sulit memperbaiki. Dengan demikian ada pula yang menyatakan bahwa menghidari hunbungan sex dan megacuhkannya ditempat tidur. Hal ini agar sang istri mulai berfikir apakah dia sudah tidak menarik dan memiliki daya pikat lagi dihadapan suami?
Kemudian kata (واضربواهن) dalam tafsir ibnu katsir bermakna memukul dalam arti yang sesungguhnya namun tidak sampai melukai. Perintah memukul ini sesuai dengan beberapa hadits nabi dan asbabun nuzul ayat ini turun. Demikian pula dalam tafsir al-misbah disebutkan bahwa maksud kata ini adalah memukul yang tidak menyakitkan, dan ini merupakan langkah terakhir bagi pemimpin (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah tangga. Jadi kata “memukul” bukan berarti “menyakiti.” Nabi pernah bersabda “jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti.” Perlu disadari bahwa dalam kehidupan rumah tangga terkadang ada nasehat yang tidak mempan. Nah, ketika itu dengan tujuan menjaga keluarga agar tidak ruwet maka diperbolehkan memukul. Perlu disadari bahwa memukul ini masih relevan dengan zaman sekarang. Karena dalam penelitian pendidikan menyatakan bahwa itu masih merupakan cara yang ampuh untuk mendidik, dan dalam dunia militer memukul itu masih diangggap wajar. Namun ulama’ dan pakar lain menyatakan bahwa memukul itu sudah tidak relevan dengan zaman sekarang.
 Sedangkan dalam ayat 35 dijelaskan mengenai jika terjadi persengketaan terhadap suami-istri. Atau jika ketiga cara di atas tidak berhasil dan bahkan menjadi masalah. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa jika terjadi persengketaan antara suami istri maka hendaklah penguasa setempat menyerahkan menyerahkan persoalannya kepada seorang yang jujur dan dapat dipercaya untuk menyelidiki perkaranya dan mencegah yang salah dan yang dzalim agar tidak meneruskan kesalahan dan kedzalimannya itu. Tetapi jika persengketaan itu semakit runcing, maka hendaklah perkaranya diserahkan kepada team juri yang terdiri dari seorang kepercayaan dari pihak suami dan seorang kepercayaan dari pihak istri. Team juri atau juru damai ini akan mempelajari persoalan dan kemudian memutuskan apa yang menjadi kebaikan bagi kedua belah pihak. Berdamai dan berkumpul atau berpisah dan bercerai. Para ulama’ telah sepakat bahwa kedua hakam itu dapat memutuskan mengumpulkan kembali suami-istri itu atau menceraikannya, mereka dapat menjatuhkan talak satu, atau talak dua, bahkan talak tiga. Namun menurut sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa kedua hakam itu hanya berhak memutuskan kembalinya suami-istri tersebut dan bukan menceraikannya. Para ulama’ juga berselisih tentang siapa yang menunjuk dan mengangkat kedua hakam itu, apakah pemerintah (penguasa) ataukan suami istri tersebut
Sedangkan dalam tafsir Al-Misbah dinyatakan bahwa ketika api pertengkaran itu telah mengepul ke udara maka kepada yang melihat, atau mencium, atau mengetahui hal itu maka utuslah seorang hakam yang bilaksana untuk menyelesaikan kemelut mereka. Juru damai itu adalah keluarga dari pihak suami dan keluarga dari pihak istri. Jika suami-istri atau kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepadanya, karena ketulusan niat untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga merupakan modal utama untuk menyelesaikan semua problem rumah tangga. Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tapi jika mereka gagal ada ulama’ (seperti sejumlah sahabat Nabi saw, madzhab Malik, dan Ahmad) menyatakan mereka dapat membuat hukum sesuai kemaslahatan baik disetujui maupun tidak. Namun imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i (dalam suatu riwayat) menyatakan tidak memberi wewenang kepada hakam itu. Untuk menceraikan hanya berada ditangan suami. Dan tugas hakam hanyalah mendamaikan.
Sesungguhnya dalam hidup berumah tangga telah diajarkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Allah menyukai suami-istri yang saling menghormati. Allah berfirman
.. وعاشروهن باالمعروف ...
Artinya : “… dan bergaullah dengan mereka secara patut …”

Hal ini menjelaskan bahwa suami-istri bergaul dengan jalan yang disukai oleh meraka. Jangan memperketat nafkah mereka dan jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun perbuatan dan jangan menyambut mereka dengan wajah muram, dan jangan mengerutkan dahi.[4] Kata ma’ruf diartikan sepatutnya (yang patut) yaitu pergaulan yang diakui patut oleh masyarakat umum, tidak menjadi buah bibir orang karena buruknya.[5] Dalam hadits Nabi saw dijelaskan tentang kewajiban suami dan anjuran menghormati istri
.. ولا تضرب الوجه ولا نقبح ولا تهجر الا فى البيت
Artinya : “.. dan janganlah kamu memukul muka, janganlah mencela, dan janganlah kamu tinggalkan kecuali di dalam rumah” (HR. Imam Ahmad, Imam Abu dawud, Imam Nasa’I, dan Imam Ibnu Majjjah)[6]

خيركم لاهله وأنا خيركم لاهلى: ما اكرم النساء الا كريم وما اهاتهن الا لئم
Artinya : “sebaik-baik kamu adalah yang berbuat baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik diantara kalian terhadap keluarganya. Tiada seorang pun yang menghormati wanita kecuali dia orang yang mulia. Dan tiada seorangpun yang menghina wanita kecuali dia adalah orang yang tercela” (HR. Ibnu Asakir Melalui Ali kw)[7]

Muhammad Asad, penafsir modern menerjemahkan an-Nisa’ ayat 34 sebagai berikut “Dan adapun perempuan yang memiliki kehendak buruk sehingga anda beralasan menghawatirkannya, (pertama-tama) menegurnya, kemudian tinggalkan tempat tidurnya, kemudian pukullah mereka, dan jika setelah itu mereka memperhatikan, jangan coba-coba melukainya.”[8]menurut Ahmad Ali al-Qur’an sama sekali tidak memberi izin untuk memukul perempuan. Tapi kebanyakan penafsir klasik sepakat bisa diberikan pukulan ringan, bukan untuk melukai, tapi untuk menghukum. Tobari juga memperingatkan bahwa kualitas pemukulan yang ditetapkan oleh Allah tersebut tidak melukai istri. Pemukulan itu diperbolehkan bukan untuk menyakiti atau menyebabkan terluka. Sedangkan Zamarkasyi mengatakan pemukulan seharusnya tidak menyakiti dan tidak membuat luka apapun atau mematahkan tulang, dan muka tidak boleh disentuh.[9]
Wajar jika ulama’ zaman dahulu terkesan membolehkan pemukulan terhadap istri. Karena memang dahulu demikianlah yang terjadi dalam masyarakat dunia. Sebenarnya bukan Islam yang pertama kali membolehkan pemukulan itu. Sejarah mencatat bahwa sejarah kekerasan suami terhadap istri pada awalnya berasal dari Commem low Inggris yang memberikan kekuasaan dan hak terhadap suami untuk mendidik atau memberi disiplin kepada istri dengan cara menggunakan alat tongkat yang disebut dengan istilah “rule of thumb” dengan cara suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak lebih besar dari ibu jari.[10] (namun dalam prakteknya kadang para suami itu berlebihan dalam menerapkannya).
Itu pada zaman dahulu. Sedangkan sekarang para wanita sangat maju. Banyak orang yang memperjuangkan nasib wanita hingga muncul undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Yang disahkan pada tanggal 28 september 2004. jika demikian masih layakkah seorang suami memukul istri? Bagaimana jika seorang suami memukul istrinya kemudian dikenai sanksi dalam undang-undang itu, apakah tidak akan memalukan Islam?
Sedangkan perceraian adalah pintu terakhir yang dapat ditempuh suami-istri. Namun perlu diingat bahwa perceraian itu sangat dibenci Allah dan alangkah baiknya jika di hindari. Sebagaimana hadits nabi saw yang berbunyi
ابغض الحلال إلى الله الطلاق
Artinya : “Diantara hal-hal yang halal namun dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu dawud, ibnu majjah, dan dishahihkan al-Hakim)[11]

Namun di Indonesia proses perceraian untuk masyarakat yang beragama Islam dilaksanakan dipengadilan agama. Dengan prosedur-prosedurnya. Sedangkan keluarga kedua belah pihak adalah diposisikan sebagai saksi.
H.  PENUTUP
Pada dasarnya surat an-Nisa’ ayat 34-35 ini menjelaskan tentang kepemimpinan (seorang lelaki). Kemudian menerangkan tentang istri yang nusyuz dan rumah tangga yang terancam goyah. Untuk istri yang nusyuz mula-mula dinasehati terlebih dahulu, jika tidak mempan tinggalkan dia ditempat tidurnya, jika masih tidak mempan maka pukallah dia. Jika ketiga cara tersebut telah dicapai, namun badai percecokan rumah tangga semakin berkobar, maka panggillah hakam untuk menengahi urusan itu. Lalu apakah rumah tangga itu masih akan tetap dipertahankan ataukah bercerai adalah jalan yang ditempuh.
Demikianlah uraian yang dapat penulis sampaikan. Besar harapan penulis agar dikemudian hari tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi rujukan. Dalam penulisan ini tentu banyak sekali kekurangan danbahkan mungkin kesalahan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun tentu akan penulis terima dengan senang hati dan tangan terbuka.
Wallahu A’lam




[1] Nasruddin Baidan, Metode penafsiran Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet I, 2002, h 29-30
[2] Terjemahan singkat Tafsier Ibnu Katsir jilid 2, Bina Ilmu, Surabaya, cet 4, 2004 h 388- …
[3] M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah, pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an Jilid 2, Lentera hati, tanggerang, cet VII, 2006, h 422-434
[4] Ahmad musthofa al-maroghi, tafsir al-maroghi juz 4, Toha putra, semarang, cet 2, 1993, h 348
[5] Hamka, Tafsir al-Azhar juz 4, pustaka panjimas, Jakarta, adisi revisi, h 348
[6] Al-Hafidz ibnu Hajjar al-asqolani, Bulughul marom, Toha putra, semarang, h 518
[7] Sayyid ahmad al-hasyimi, Syarakh muhtarul Aahadits, Sinar baru el-gesindo, Bandung 2003, h 455
[8] Asgar Ali Engineer, Matinya Perempuan, IRCISoD, Yogyakarta, 2003, h 88                     
[9] Ibid h 84-90
[10] Aroma Elmina Martha, Perempuan, kekerasan dan hukum, UII press, Yogyakarta, 2003, h 37
[11] A. Zainuddin, Al-Islam 2 Mu’amalah dan akhlaq, Pustaka setia, bandung, 1999, h 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar