A. PENDAHULUAN
Rasulullah bersabda: “Shalat itu adalah tiangnya agama, barang siapa yang mendirikannya maka berarti ia telah mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia telah meruntuhkan agama” (Al-Hadits).
Hal ini dipertegas oleh firman Allah swt
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوتِ وَالصَّلوةِ الْوُسْطَ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَنِتِيْنَ.
Artinya: “Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah [2]: 238).
Dengan hujjah di atas, dapat dipahami betapa pentingnya melaksanakan dan memelihara shalat (shalat fardhu). Karena melaksanakan shalat merupakan salah satu ciri bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah swt dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Allah berfirman
وَاَقِمِ الصَّلَاةَ لِلذِّكْرِيْ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha [20]: 14)
Jelas sekali, bahwa dengan shalat kita dituntut untuk bisa mengingat-Nya, mengingat kebesaran-Nya dan mengakui kerendahan diri di hadapan-Nya. Namun, ada sebagian orang yang salah mengartikan makna ayat ini, mereka beranggapan tidak wajib shalat kalau kita bisa mengingat-Nya tanpa melakukan gerakan shalat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka hanya melihat esensi shalat semata, tidak melihatnya sebagai syari’at yang harus dilaksanakan oleh orang yang beriman.
Para ulama’ mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib dilaksanakan pada tiap-tiap waktunya.
Shalat itu dibagi pada yang wajib dan yang sunnah. Shalat yang paling penting adalah shalat lima waktu yang wajib dilakukan setiap hari. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban ini atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun islam. Kewajiban menegakkan shalat pada waktunya berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula taqlid.
Karena begitu berartinya shalat dilaksanakan pada waktunya, kiranya hal itu bisa dijadikan salah satu alasan dan latar belakang dibuatnya makalah ini dengan tema “SHALAT”
B. DESKRIPSI TENTANG SHALAT
1. Definisi Shalat
Shalat merupakan ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan memberi salam.[1] Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam islam. Dalam deretan rukun Islam Rasulullah saw menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain). Rasulullah bersabda, “Islam di bangun atas lima pilar : bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berhajji ke ka’bah baitulnjadilah dan puasa di bulan Ramadhan. (H.R. Bukhari, No 8 dan HR Muslim No.16).
Ketika ditanya malaikat jibril mengenai islam, Rasullah saw lagi-lagi menyebut shalat pada deretan yang kedua setelah syahadatain (HR. Muslim,No.8). Abu Bakar Ash Sidiq ra. Ketika menjabat sebagai khalifah setelah Rasulullah saw wafat pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang menolak zakat. Bagi Abu Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para sahabat bergerak memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan murtaddin. Ini baru menolak zakat, apalagi menolak shalat.
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa pada awal surah Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa menegakkan ibadah shalat adalah ciri kedua setelah beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah: 3). Dari proses bagaimana ibadah shalat ini disyariatkan lewat kejadian yang sangat agung yang dikenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah saw, tidak menerima melalui perantara Malaikat Jibril melainkan Allah swt yang langsung mengajarkannya. Dari sini tampak dengan jelas keagungan ibadah shalat, bahwa shalat bukan masalah ijtihadi (hasil karangan otak manusia yang bisa ditambahi dan dikurangi) melainkan masalah ta’abudi (harus diterima apa adanya dengan penuh keta’atan). Sekecil apapun yang akan dilakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang diajarkan Allah langsung kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita.
Bila dalam ibadah haji Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku cara melaksanakan manasik hajimu”, maka dalam shalat Rasulullah saw bersabda, “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.
2. Syarat Shalat
- Syarat Sah Shalat
Syarat sah adalah Syarat-syarat yang mendahului shalat dan wajib dipenuhi oleh orang yang hendak mengerjakannya, dengan ketentuan bila ketinggalan salah satunya, maka shalatnya batal, syarat sah shalat ialah:
a. Mengetahui tentang waktunya shalat
Baik hal itu diperolehnya dari pemberitaan orang-orang yang dipercaya maupun seruan adzan dari mu’adzin yang jujur. Disinilah peran ilmu falak sangat dibutuhkan
b. Bersuci dari hadast kecil dan hadast besar
Thaharah atau bersuci adalah menghilangkan halangan yang berupa hadast atau najis yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadast secara ma’nawi berlaku bagi manusia, mereka yang terkena hadast ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, atau tayamum. Seperti halnya hadist Ibnu Umar r.a :
لايقبل الله صلاة بغيرطهير, ولاصدقةمن غلول (رواه الجماعة الاالبخارى)
Artinya : Bahwa Nabi SAW bersabda :”Allah tiada menerima sholat tanpa bersuci, dan tak hendak menerima sedekah dari harta rampasan yang belum dibagi.” (HR Jama’ah keculi Bukhari)[2]
c. Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis yang kelihatan, bila itu mungkin.
Jika tak dapat dihilangkan, boleh shalat dengannya, dan tidak wajib mengulang.
d. Menutup Aurat
‘Aurat di tutup dengan suatu yang menghalangi kelihatan warna kulit. ‘Aurat laki-laki antara pusar dengan lutut. ‘aurat perempuan seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan.
e. Menghadap ke kiblat
Selama dalam shslat wajib menghadap kiblat. Kalau shalat berdiri atau shslat duduk menghadapkan dada. Kalau shalat berbaring, menghadap dengan dada dan muka. Kalau shalat menelentang, hendaklah dua tapak kakinya dan mukanya menghadap ke kiblat kalau mungkin, kepalanya diangkatkan bantal atau sesuatu lain.[3] Disini ilmu falak juga menjadi penting guna menerjemahkan makna atau arah kiblat.
- Syarat wajib shalat
a. Islam
Adapun orang yang tidak islam tidak wajib shalat, berarti tidak dituntut di dunia, karena meskipun dikerjakannya, tidak juga sah. Orang kafir apabila ia masuk islam tidakalah wajib ia mengqadha shalatnya sewaktu ia belum islam, begitu juga puasa dan ibadat lain-lainnya, tetapi amal kebaikannya sebelum islam tetap akan mendapat ganjaran yang baik.
b. Suci dari hadast kecil dan besar
c. Berakal
d. Baligh
Dapat diketahui seseorang itu sudah mencapai baligh dengan salah satu tanda :
- Bagi seorang laki-laki cukup berumur lima belas tahun, atau keluar mani
- Bagi seorang perempuan mulai keluar darah haidh.
e. Telah sampai da’wah kepadanya (perintah Rasulullah saw kepadanya)
Orang yang belum menerima perintah tidak di tuntut dengan hukum.
f. Melihat atau mendengar
Orang yang buta dan tuli sejak lahir tidak diwajibkan shalat karena jika sejak lahir sudah buta dan tuli, berarti dakwah belum sampai kepadanya dan ia tidak mengetahui apa-apa.
g. Jaga ( tidak tidur)
Maka orang yang tidur tidak wajib shalat begitu juga dengan orang yang lupa. Ia wajib shalat ketika telah bangun atau baru teringat, jika waktu shalatnya telah lewat, maka ia dapat mengqadha’
3. Rukun Shalat
a. Niat
Niat menurut syara’ adalah menyengaja suatu perbuatan, karena mengikut perintah Allah supaya diridhaiNya
b. Berdiri bagi orang yang mampu
c. Takbiratul ihram
d. Membaca surat Al Fatihah
e. Ruku’ serta Tuma’ninah
f. I’tidal serta tuma’ninah
g. Sujud dua kali serta tuma’ninah
h. Duduk diantara dua sujud, dan tuma’ninah di antaranya.
i. Duduk tasyahud akhir
j. Membaca tasyahud akhir
k. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw
l. Memberi salam yang pertama (ke kanan)
m. Menertibkan rukun[4]
C. DESKRIPSI TENTANG WAKTU SHaLAT MENURUT FIQIH
Secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terdefinisi sebagai ibadah munaqqat). Walaupun tidak dijelaskan secara gamblang waktu-waktunya, namun Al Qur’an telah menentukannya. Sedangkan penjelasan waktu-waktu shalat yang terperinci diterangkan dalam hadist-hadist Nabi saw. Dari hadist-hadist waktu shalat itulah, para ulama fiqih memberikan batasan-batasan waktu shalat dengan berbagai cara atau metode yang mereka asumsikan untuk menentuakan waktu-waktu shalat tersebut, kemudian ilmu falak menerjemahkannya
Seperti halnya ditegaskan dalam Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa’ ayat 103 :
إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Selain dijelaskan dalam Al-Qur’an juga diperjelas dalam hadist yaitu :
عن جابربن عببدالله عنه قال ان النبي صلعم جاءه جبريل عليه السلام فقال له قم فصله فصلي الظهر حتى زالت الشمس ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصرحين صارظل كل شيء مثله ثم جاءه المغرب فقال قم فصله فصلى المغرب حين وجبت الشمس ثم جاءه العشاء فقال قم فصله فصلى العشاء حين غاب الشفق ثم جاءه الفجر فقال قم فصله فصلى الفجر حين برق الفجروقال سطع البحر ثم جاءه بعدالغد للضهر فقال قم فصله فصلى الظهر حين صار ظل كل شيىء مثله ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيىء مثله ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه ثم جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل اوقال ثلث الليل فصلى العشاء حين جاءه حين اسفر جدا فقال قم فصله فصلى الفجر ثم قال ما بين هذين الوقتين وقت(رواه احمد وانساىء والترمدي ينحوه)
Artinya : Dari Jabir bin Abdullah ra berkata : telah datang kepada Nabi saw, Malaikat Jibril as lalu berkata kepadanya; bangunlah! Lalu bersembahyanglah, kemudian nabi shalat dhuhur di kala Matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata : bangunlah lalu sembahyanglah! Kemudian nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata : bangunlah lalu Shalatlah, kemudian Nabi Shalat Maghrib dikala Matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ lalu berkata : bangunlah dan Shalatlah Kemudian Nabi Shalat Isya’ dikala mega merah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi Sholat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata : di waktu fajar bersinar kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur, kemudian berkata kepadanya : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Dhuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi Shalat Ashar di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama., tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah lalu separo malam, atau ia berkata : telah hilang sepertiga malam, Kemudian Nabi shalat Isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata : bangunlah lalu shalatlah, Kemudian Nabi shalat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah waktu shalat.” (HR Imam Ahmad dan Nasai dan Tirmidhi)[5]
a. Waktu shalat dhuhur
waktu dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu asar.[7]
Para Ulama mazhab sepakat bahwa shalat itu tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya, dan juga sepakat bahwa apabila matahari telah tergelincir berarti masuk waktu dhuhur.
b. Waktu Shalat Ashar
Pada saat panjang bayang-bayang sepanjang dirinya, dan juga disebutkan saat bayang-bayang dua kali panjang dirinya. Adapun menurut ulama’ madzhab adalah sebagai berikut
- Menurut Imamiyah Ukuran panjangnya bayang-bayang sesuatu sampai sama dengan panjang benda tersebut merupakan waktu Dzuhur yang paling utama. Dan kalau ukuran bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut merupakan waktu Ashar yang utama.
- Menurut Hanafi dan Syafi’i: Waktu Ashar dimulai dari lebihnya bayang-bayang sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya matahari.
- Menurut Maliki: Ashar mempunyai dua waktu. Yang pertama disebut waktu ikhtiari, yaitu dimulai dari lebihnya bayang-bayang suatu benda dari benda tersebut, sampai matahari tampak menguning. Sedangkan yang kedua disebut waktu idhthirari, yaitu dimulai dari matahari yang tampak menguning sampai terbenamnya matahari.
- Menurut Hambali: Yang termasuk paling akhirnya waktu shalat Ashar adalah sampai bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut, dan pada saat itu boleh mendirikan shalat Ashar sampai terbenamnya matahari, tetapi orang yang shalat pada saat itu berdosa, dan diharamkan sampai mengakhirkannya pada waktu tersebut.
c. Waktu Shalat maghrib
dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu shalat isya’. Adapun menurut ulama’ sebagai berikut
- Syafi’i dan Hambali (berdasarkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambali): Waktu Maghrib dimulai dari hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya merah di arah Barat. Maliki: Sesungguhnya waktu Maghrib itu sempit. Waktunya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang mana termasuk di dalamnya cukup untuk bersuci dan adzan serta tidak boleh mengakhirkannya (mengundurkannya) dari waktu ini dengan sesuka hati (sengaja).
- Menurut Imamiyah waktu shalat Maghrib hanya khusus dari awal waktu terbenamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya.
d. Waktu Shalat ‘Isya
waktu isya’ dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam. Ada juga yang menyatakan sepertiga, dan ada juga yang menyatakan sampai terbitnya fajar.[8]
e. Waktu Shalat Shubuh
Waktu shalat Shubuh yaitu terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari, menurut kesepakatan semua ulama’ mazhab kecuali Maliki.
Menurut Imam Maliki waktu shubuh ada dua: pertama adalah ikhtar (memilih) yaitu dari terbitnya fajar sampai terlihatnya wajah orang yang kita pandang, sedangkan kedua adalah Idhthirari (terpaksa) yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbitnya matahari
f. Waktu Syuruq
Syuruq adalah terbitnya matahari. Waktu syuruq menandakan berakhirnya waktu Shubuh.
g. Waktu Imsak
Ketika menjalankan ibadah puasa, waktu Shubuh menandakan dimulainya ibadah puasa. Untuk faktor "keamanan", ditetapkan waktu Imsak, yang umumnya 5-10 menit menjelang waktu Shubuh. Hal itu karena salah satu hadits menyatakan bahwa jarak antara imsak dan subuh adalah seperti membaca 50 ayat Al-Qur’an
D. PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT DALAM ILMU FALAK
Penentuan awal waktu shalat merupakan bagian dari ilmu falak yang perhitungannya berdasarkan garis edar matahari atau penelitian posisi matahari terhadap bumi. Oleh karena itu, menghisab waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung kapan matahari akan menempati posisi tertentu yang sekaligus petunjuk waktu shalat. Fiqih telah menjelaskan awal waktu shalat berupa fenomena alam yang dapat dikatakan bahwa awal waktu shalat didasarkan pada peredaran semu matahari mengelilingi bumi (sebagaimana telah diterangkan diatas), dengan demikian maka waktu-waktu shalat dapat dihitung (diterjemahkan) berdasarkan kaidah ilmu falak. Untuk itu menghitung waktu shalat diperlukan data data akurat untuk menunjukkan posisi matahari yang menunjukkan waktu shalat.
1. Data Yang Diperlukan Dalam Perhitungan
a. Equation Of Time
Equation of time atau Ta’dilul waqti atau Ta’diluz zaman yang diterjemahkan dengan peranata waktu, adalah selisih waktu antara matahari hakiki dengan waktu matahari rata-rata (pertengahan). Dalam Ilmu Falak biasa dilambangkan huruf e (kecil). Waktu matahari hakiki adalah waktu yang berdasarkan pada perputaran bumi pada sumbunya yang sehari semalam tidak tentu 24 jam, melainkan kadang kurang kadang lebih dari 24 jam, hal itu disebabkan oleh peredaran bumi mengelilingi matahari berbentuk ellips. Sehingga dalam peredarannya suatu saat bumi dekat dengan matahari (perihelion) yang menjadikan gaya gravitasi menjadi kuat, dan suatu saat bumi jauh dari matahari (aphelion) yang menyebabkan gaya gravitasi menjadi lemah. Sedangkan waktu pertengahan atau waktu wasatiy adalah waktu yang tetap (konstan) yakni sehari semalam 24 jam. Waktu ini didasarkan pada peredaran matahari hayalan serta peredaran bumi mengelilingi matahari berbentuk lingkaran (bukan ellips). Dengan demikian nilai equation of time mengalami perubahan dari waktu ke waktu selama satu tahun.[9]
Adapun rumus equation of time adalah waktu hakiki dikurangi waktu pertengahan. Dalam referensi lain disebutkan bahwa rumus equation of time adalah[10]
b. Deklinasi Matahari
Deklinasi (al-Mayl) suatu benda langit adalah jarak sudut dari benda langit tersebut kelingkaran ekuator diukur melalui lingkaran waktu yang melalui benda langit tersebut dimulai dari titik perpotongan antara lingkaran waktu itu dengan ekuator hingga titik pusat benda langit itu.[11] Deklinasi sebelah utara ekuator dinyatakan positif dan diberi tanda (+), sedangkan deklinasi sebelah selatan ekuator dinyatakan negative dan diberi tanda (-).
Harga deklinasi selalu berubah-ubah. deklinasi dapat dilihat dalam tabel pada Almanac Nautika atau ephemeris untuk markaz yang akan dihitung sesuai dengan perkiraan waktu yang telah ditetapkan. Pada daftar ephemeris untuk data matahari disusun daftar deklinasi untuk setiap tanggal dan setiap jam pada kolom Apperent Declinatioan pada data matahari. Kolom yang tersedia hanya mencantumkan satuan jam tidak dilengkapi satuan menit, jika waktu yang telah diperkirakan mengandung satuan menit, maka harus dilakukan perhitungan perhitungan dengan cara interpolasi (penjumlahan). Yaitu Jam ke 2 + (menit yang dicari) / 60 x (selisih detik dari jam pertama dan jam kedua)
Misalnya pada daftar ephimeris, kita akan mencari deklinasi pada tanggal, bulan dan tahun tertentu pada jam 10.52. pada almanac tidak akan ditemukan data menit, yang ada hanya data jam, maka deklinasi untuk jam 10 misalnya -2302' 21" sedangkan jam 11 adalah -23 02' 09" dengan selisih satu jam sebesar 12 detik. Dengan demikian, maka deklinasi pada jam 10.52 adalah -23 02' 21" + (52/60 x 12d) = -2302' 10,6" [12]
Dalam keterangan lain untuk mencari deklinasi juga dapat dilakukan dengan kalkulator dengan cara[13]
Shif Sin [Tanggal + 9 (jika antara bulan februari-Juli) atau 8 (jika antara bulan Agustus – Januari) X Sin Kemiringan] = Shift Derajat |
Dalam keterangan yang lain[14] untuk mencari deklinasi dapat menggunakan rumus
Perubahan deklinasi matahari mengakibatkan perubahan dalam perbandingan panjangnya busur siang dan malam, ini akan mengakibatkan lamanya siang dan malam disuatu tempat tidak sama panjang.[15]
c. Lintang Markaz (P) dan Bujur Markaz
Lintang markaz/tempat atau ‘Urdhul balad dapat dilihat pada daftar lintang daerah yang tersedia pada tabel tertentu yang berguna untuk dijadikan data awal penerapan rumus, sebab meskipun beberapa daerah memiliki bujur yang sama namun jika lintangnya berbeda tentu akan menghasilkan waktu yang berbeda. Lintang tempat bagi kota yang berada di utara equator disebut lintang utara (LU) dan bertanda positif (+), sedangkan lintang tempat bagi kota yang berada di selatan equator disebut lintang selatan (LS) dan bertanda negatif (-).[16] Begitu pula dengan bujur markaz/tempat atau thulul balad dapat dilihat pada daftar bujur daerah yang tersedia pada tabel tertentu yang berguna untuk diladikan rujukan penentuan penaksiran awal waktu shalat. Bujur tempat yang berada ditimur Greenwich disebut bujur timur (BT) dan bertanda positif (+), sedangkan bujur tempat bagi yang berada dibarat Greenwich disebut bujur barat (BB) dan bertanda negatif (-).
Jadi data lintang dan bujur tempat itu mesti diambil dari almanac atau data lain yang terpercaya.
d. Tinggi Matahari
atau Irtifa’us syams adalah jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuk sampai ke matahari. Tinggi matahari yang dimaksud disini adalah ketinggian posisi “matahari yang terlihat” (posisi matahari mar’i, bukan matahari hakiki) pada awal atau akhir waktu shalat yang diukur dari ufuk. Tinggi matahari ini biasanya diberi tanda “h” sebagai singkatan dari high yang berarti ketinggian.
Berdasarkan posisi matahari pada waktu shalat maka titik pusat matahari pada awal waktu shalat menurut data yang agak berbeda adalah sebagai berikut
Sumber | Maghrib | Isya’ | Subuh | Syuruq | Dhuha | Dhuhur | Asar |
Buku[17] | -1 | -18 | -20 | -1 | | Hm = 90 – (p-d) | Cotg ha = tg (p-d)+1 |
Kitab[18] | -1 13' | -18 | -20 | -1 13' | 4 30' | | Cotan h =tan (p-d) +1 |
Depag | | -18 | -20 | | 4 5' | | 1(tombak) |
Ummul Qura | | -19 | -19 | | 4 5' | | 1(tombak) |
Isna | | -15 | -15 | | 4 5' | | 2(tombak) |
User | | -18 | -18 | | 4 5' | | 1(tombak) |
e. Menghitung Tafawud
dalam beberapa referensi, tafawud juga digunakan dengan rumus e + (BD-BT) / 15
e. Menghitung Waktu Shalat
Hasil perhitungan dari rumus akan diketahui bahwa sudut waktu matahari dalam satuan derajat, sementara yang dicari adalah waktu shalat yang menggunakan satuan waktu. Oleh karena itu satuan derajat itu dirubah ke satuan waktu dengan perhitungan sudut waktu di bagi 15.
Waktu shalat yang telah diketahui atau telah jadi dari hasil perhitungan merupakan waktu shalat dalam wilayah waktu lokal, maka jika ingin menggunakannya di daerah lain maka akan dikurangi jika berada disebelah timur waktu daerah, dan akan di tambah jika berada disebelah barat waktu daerah dengan penambahan/pengurangan sebesar selisih waktu lokal dengan waktu daerah. Hal ini disebabkan waktu timur lebih dahulu menerima sinar matahari dari pada daerah sebelah baratnya. Sehingga waktu maghrib di Cepu (yang ada disebelah timurnya) lebih dahulu dari pada di Semarang (yang berada disebelah baratnya).
f. Ikhtiyat
Ikhtiyat atau ikhtiyati merupakan langkah pengamanan dengan cara menambah waktu yang telah dihitung agar waktu shalat tidak mendahului awal waktu atau melampaui akhir waktu. Nilai ikhtiyat berfariasi antara 2-4 menit. ikhtiyat dikarenakan
1) data lintang ataupun bujur daerah yang disediakan pada tabel pada suatu titik pusat kota, sehingga daerah-daerah yang berada di pinggiran kota pada dasarnya tidak sama dengan pusat kota.
2) data-data yang disediakan telah dilakukan pembulatan, jika data hanya dihitung sampai menit, berarti satuan menit telah dibulatkan kedetik[19]
2. Urutan Dalam Perhitungan Waktu Shalat
a. Menghitung Tinggi Matahari (h)
Tinggi matahari untuk waktu dhuhur tidak diperlukkan, sedangkan untuk waktu asar harus dihitung dulu dengan menggunakan rumus
Cotan h = tan [lintang – deklinasi] + 1
Adapun untuk selain waktu asar dan dzuhur tinggi matahari telah ditentukan namun ada terjadi perbedaan opsi, contoh untuk waktu subuh, dalam opsi Depag -20° namun dalam opsi User 18° dan Isna 15°. Hal ini sebagaimana telah dicantumkan dalam keterangan diatas
Dalam keterangan hisab kontemporer, rumus mencari tinggi matahari dimulai dari mencari cos h, rumus itu adalah
Keterangan
Sin a = sin (radians (tinggi matahari yang ditentukan x jumlah menit {60}) / jumlah menit {60})
Contoh subuh = sin (radians (-20 x 60)/60)
= Sin (radians (-1200/60))
Sin Deklinasi = Sin (Deklinasi dalam bentuk radians) ►jumlah dalam rumus diatas
Sin Lintang = sin (radians (lintang))
Cos deklinasi = Cos (deklinasi dalam bentuk radians) ►jumlah dalam rumus diatas
Cos Lintang = cos (radians (lintang))
Dari cos h dirubah menjadi h dengan cara acos h x 12/PI(). Dengan demikian maka nilai h akan diketahui.
b. Menghitung Sudut Waktu
untuk menentukan sudut waktu rumusnya dibagi dua, yaitu waktu setelah siang hari (Asar, Maghrib, dan Isya’), dan waktu setelah malam hari (Subuh, Matahari terbit, dan Dhuha). Adapun untuk Dzuhur tidak diperlukan sudut waktu. Rumus sudut waktu setelah siang hari adalah
-cos t =-tan p x tan d – sec p x sec d x sin h
Adapun rumus sudut waktu sebelum siang hari adalah
Cos t = tan p x tan d – sec p x sec d x sin h
c. Menghitung Waktu Shalat
untuk menentukan waktu shalat rumusnya juga dibagi dua, yaitu waktu setelah siang hari (dzuhur, asar, maghrib, dan isya’), dan waktu setelah malam hari (subuh, matahari terbit, dan dhuha). Rumus waktu shalat setelah siang hari adalah
12 + t + tafawud + ikhtiyat
Adapun rumus waktu shalat setelah siang hari adalah
t + tafawud + ikhtiyat
Penggecualian untuk waktu dhuhur, karena tidak menggunakan tafawud, maka rumus menjadi
12+ tafawud + Ikhtiyat
Penggecualian lagi untuk waktu matahari terbit, terdapat khilafiyah. Pendapat pertama menyatakan tetap diberi iktiyat, namun pendapat yang kuat menyatakan tidak diberi ikhtiyat dengan alasan waktu matahari adalah waktu berakhirnya waktu subuh dan merupakan waktu di haramkannya melakukan shalat apapun. Sehingga jika diberi ikhtiyat dihawatirkan ada seseorang yang melakukan shalat pada waktu ikhtiyat itu, padahal waktu itu telah terlarang. Maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan tetap memberikan ikhtiyat namun ikhtiyatnya adalah dikurangi dari dari waktu sebenarnya, bukan ditambah dari waktu sebenarnya. Rumusnya adalah
t + tafawud
Adapun untuk waktu imsak juga tidak menggunakan rumus diatas, melainkan waktu subuh dikurangi beberapa menit, beberapa menit juga terjadi khilafiyah, hal itu dikarenakan ada hadits yang menggungkapkan bahwa jeda antara waktu imsak dan waktu subuh adalah membaca 50 ayat al-qur’an. 50 ayat al-qur’an ini kemudian diterjemahkan oleh ahli falak, ada yang 15 menit, 13, 12, 10 menit bahkan lebih rendah dari itu. Jika yang kita gunakan adalah selisih 13 menit, maka rumus menjadi
Waktu subuh – 13m
Keterangan
12 = Rumus
t = dari rumus tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
Tafawud = dari rumus e + (Bujur Daerah –Bujur Tempat) / 15
Ikhtiyat = 3m
Sedangkan waktu shalat dalam hisab kontemporer, rumus untuk awal waktu shalat subuh, syuruq, dan dhuha adalah
12 – e – h + kwd + i
Untuk waktu asar, maghrib, dan isya’ adalah
12 – e + h + kwd + i
Untuk waktu dzuhur adalah
12 – e + kwd + i
Keterangan
12 = Rumus
e (Equation) = Penjumlahan dari rumus equation diatas yang telah dirubah dalam bentuk jam.
Kwd (tafawud) = Zona waktu (Tz) x 15 – bujur tempat / 15
i (ikhtiyat) = 2 / 60
3. Contoh Perhitungan
Untuk tanggal 26 april 2010 di semarang
Ø DATA
§ Lintang (p) : -7
§ Bujur Tempat (BT) : 110° 24'
§ Bujur daerah (BD) : 13° 20'
§ Equation (e) : -2m.
§ Tafawud
e + (BD-BT) / 15
-2m + (105 - 110 24') / 15
-0j 23m 36d
Ø Maghrib
§ Tinggi matahari (h) = -1° 13'
§ Sudut waktu (t)
-cos t = tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
= tg -7° x tg 13° 20' – sec -7° x sec 13° 20' x sin -1° 13'
= 89° 35' 32,38"
= 5° 58' 22,16"
t = WH 5. 58. 22 wis
§ Waktu Maghrib
12 + t + tafawud +ihtiyat
12 + 5. 58. 22 + (-0° 23' 36") + 0° 3'
17° 37' 46"
17. 37
Ø Isya’
§ Tinggi Matahari (h) = -18
§ Sudut waktu
-cos t = tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
= tg -7° x tg 13° 20' – sec -7° x sec 13° 20' x sin -18°
= 106° 54' 34,4"
= 7° 07' 38,29"
t = WH 07. 07. 38 wis
§ Waktu Isya’
12 + t + tafawud +ihtiyat
12 + 7. 07. 38 + (-0° 23' 36") + 0° 3'
18°. 47'. 02"
18. 47
Ø Subuh
§ Tinggi Matahari (h) = -20°
§ Sudut Waktu
cos t = tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
= tg -7° x tg 13° 20' – sec -7° x sec 13° 20' x sin -20°
= 71° 01' 56,53"
= 4° 44' 7,77"
t = WH 4. 44. 08 wis
§ Waktu Subuh
t + tafawud +ihtiyat
=4. 44. 08 + (-0° 23' 36") + 0° 3'
=4°. 23'. 32"
=4. 23
Ø Imsak
Waktu Subuh - 13'
4° 23' 32" – 0° 13"
4°. 10'. 32"
4. 10
Ø Matahari Terbit
§ Tinggi Matahari (h) = -1° 13'
§ Sudut Waktu
cos t = tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
= tg -7° x tg 13° 20' – sec -7° x sec 13° 20' x sin -1° 13'
= 90° 24' 27,62"
t = 6° 01' 37,84"
= WH 6. 01. 38 wis
§ Waktu Matahari Terbit
t + tafawud
6. 01. 38 + (-0° 23' 36")
5°. 37'. 02"
5. 37
Ø Dhuha
§ Tinggi Matahari (h) = -4° 30'
§ Sudut Waktu
cos t = tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
= tg -7° x tg 13° 20' – sec -7° x sec 13° 20' x sin -4° 30'
= 96° 20' 5,4"
t = 6° 25' 20,36"
= WH 6. 25. 20 wis
§ Waktu Dhuha
t + tafawud +ihtiyat
= 6. 25. 20 + (-0° 23' 36") + 0° 3'
= 6°. 04'. 44"
= 6. 04
Ø Dhuhur
§ Waktu Dhuhur
12 + tafawud +ihtiyat
12 + (-0 23' 36") + 0° 3'
11° 39' 24"
11. 39
Ø Ashar
§ Tinggi matahari (h)
Cotan h = tan [lintang – deklinasi] + 1
= tan [-7° -13° 20'] + 1
= tan [-20° 20'] + 1
Cotan h = tan 20° 20' +1
h = cotan (tan 20° 20'+1)
= 36° 06' 55,12"
§ Sudut waktu (t)
-cos t = tg p x tg d – sec p x sec d x sin h
= tg -7° x tg 13° 20' – sec -7° x sec 13° 20' x sin 36° 06' 55,12"
= 50° 15' 13,27"
t = 3° 21' 0,88"
= WH 3. 21. 1 wis
§ Waktu Ashar
12 + t + tafawud +ihtiyat
12 + 3. 21. 01 + (-0° 23' 36") + 0° 3'
15° 0' 18"
15. 37
Untuk tanggal 26 april 2010 di semarang
Ø DATA
§ Lintang (p) : -7,00
§ Bujur Tempat (BT) : 110,40
Ø A
§ Subuh = -20,00 derajat = -1200
§ Syuruq = -50,00 menit = - 50,00
§ Dhuha = 4,50 derajat = 270
§ Dzuhur = 1,22495781
§ Asar = 36,32 = 2179
§ Maghrib = -50,00 menit = -50,00
§ Isya’ = -18,00 derajat = -1080
Ø Data 2
§ Sin p = -0,12186934
§ Cos p = 0,99254615
§ Sin d = 0,22180527
§ Cos d = 0,97509098
§ Tan a asar = 0,73512134
Ø Sin a
§ Subuh = -0,3420201433
§ Syuruq = -0,0145438977
§ Dhuha = 0,0784590957
§ Dzuhur = 0,94079154
§ Asar = 0,5923000914
§ Maghrib = -0,014543388977
§ Isya’ = 0,3090169944
Ø Cos h
§ Subuh = -0,32546131
§ Syuruq = 0,01290290253
§ Dhuha = 0,10899760
§ Dzuhur = 0
§ Asar = 0,63992226
§ Maghrib = 0,01290253
§ Isya’ = -0,29136091
Ø H
§ Subuh = 7,26623506
§ Syuruq = 5,95071459
§ Dhuha = 5,58283103
§ Dzuhur = 0
§ Asar = 3,34759848
§ Maghrib = 5,95071459
§ Isya’ = 7,12929662
Ø Waktu Shalat
§ Subuh = 4,37166424
§ Syuruq = 5,72261874
§ Dhuha = 6,09050231
§ Dzuhur = 11,63789930
§ Asar = 15,02093181
§ Maghrib = 17.62404792
§ Isya’ = 18,80262995
Ø Waktu Shalat dalam Bentuk Jam
§ Subuh = 04. 22
§ Syuruq = 05. 43
§ Dhuha = 06. 05
§ Dzuhur = 11. 38
§ Asar = 15. 01
§ Maghrib = 17. 37
§ Isya’ = 18. 48
E. KESIMPULAN
1. Shalat merupakan ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang di mulai dengan takbir bagi Allah ta’ala dan di sudahi dengan memberi salam. Dengan syarat dan rukun tertentu. Ia merupakan kewajiban umat Islam setelah syahadat
2. Waktu shalat telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, dan di jabarkan dalam hadits Nabi saw, lalu di jelaskan dalam fikih, dan diterjemahkan serta dihitung dalam Ilmu Falak.
3. Data yang diperlukan dalam menghitung awal waktu shalat adalah Equation of time, deklinasi, lintang markaz dan bujur markaz, Tinggi matahari, tafawud, dan ikhtiyat
4. Urutan dalam menentukan waktu shalat adalah mencari tinggi matahari (h), menghitung sudut waktu, dan menghitung waktu shalat
5. Koreksi dalam penentuan waktu shalat adalah reflaksi, procession/ prosesi, bujur matahari, koordinat geosentrik, dan epsilon.
[1] Sayyid SabiQ, Fikih Sunnah 1, PT. Al-Ma’arif, Bandung, cet I, 1973,h 205
[2] Ibid
[3] H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta (PT : Attahiriyh), hlm 76-79
[4] Ibid, hlm 74-75
[5] Ahmad Izzuddin, Ilmu falak, CV. Ipa Abong, Jakarta, 2006, h 58
[6] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih lima Mazhab, Jakarta, P.T: Lentera Basritama,halm 73 - 76
[7] Ahmad Izzuddin, ilmu … op.cit h 60
[8] ibid
[9] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2008, h 67-68
[11] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan khazanah Islam dan sains modern, Suara Muhammadiyyah, Yogyakarta, 2007, h. 23. Sedangkan menurut Maskufa deklinasi benda langit adalah jarak busur pada lingkaran deklinasi atau lingkaran waktu yang melalui benda langit tersebut dihitung dari equator bola langit 0-90 kearah utara (positive) dan ke selatan (negative)
Dalam buku satuthi Ali deklinasi adalah jarak suatu benda langit ke Equator langit diukur diukur melalui lingkaran waktu dan dihitung dengan derajat, menit, dan sekon. Berhubungan dengan itu lingkaran waktu disebut juga lingkaran deklinasi.
[12] Encup Supriatna, Hisab Rukyat & Aplikasinya, PT Rafika aditama, Bandung, 2007, h 23
[13] Keterangan Slamet Hambali pada tanggal 19 april 2010
[14] Keterangan Dr. Ing H Hafidz
[15] Maskufa, Ilmu Falaq, Gaung persada, Jakarta, 2009, h 65
[16] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak ….. Op.Cit, h 40
[17] Encup Supriatna, Hisab rukyat …. Op cit, h 24
[18] Kitab Syariqul anwar
[19] Encup Supriatna, Hisab rukyat …. Op cit, h 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar