Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Hal ini bisa dilihat dari beberapa dalil syar’i baik dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Telah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa orang yang dapat melihat ka’bah diwajibkan menghadap tepat ke bangunan ka’bah tersebut dengan yakin (menghadap ain ka’bah). Sementara itu, jika tidak melihat Baitullah, maka dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kekurangtepatan arah kiblat tersebut tidak mengurangi keabsahan shalat. Namun Islam sendiri menganjurkan kita untuk mencari cara yang paling baik dan benar kemudian mengamalkannya dalam rangka mendapatkan kesempurnaan ibadah.
Terlepas dari perbedaan ulama’, menghadap kiblat adalah merupakan bentuk ketaatan umat Islam kepada Tuhan-Nya. Kemanapun umat Islam menghadap, sesungguhnya yang dinilai dalam hal menghadap Allah adalah hati serta mengikuti perintah-Nya, sehingga dalam berkiblat bagi orang yang tidak melihat ka’bah yang perlu dilakukan adalah ketepatan dalam ijtihat mencari arah kiblat, sehingga umat Islam dalam beribadah berusaha agar arah yang dipergunakan mendekati arah yang sebenarnya, menjadi hal yang perlu untuk dilakukan, agar mendapat keutamaan dalam beribadah.
Untuk itu, mari kita melakukan penyempurnaan arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlunya penyempurnan atau pemeriksaan ulang karena sebagian besar masjid atau mushalla arah kiblatnya ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar arah kiblat masjid yang sudah ada, maupun persoalan teksis yang lain.
Pengukuran arah kiblat dianggap seolah sesuatu yang sulit, yang memberatkan ummat. Padahal di era informasi saat ini ummat semakin cerdas dan mempunyai akses informasi yang lebih luas. Penentuan arah kiblat bukan hanya masalah di Indonesia, tetapi masalah global ummat Islam yang ingin menerapkan syariat secara benar dalam shalat. namun ini diwarnai kesimpangsiuran informasi yang berimbas pada kebingungan masyarakat. Ada beberapa persepsi keliru di masyarakat yang perlu diluruskan terkait arah kiblat.
Pertama, persepsi seolah arah kiblat berubah. Tidak ada mekanisme di bumi yang menyebabkan perubahan atau pergeseran arah kiblat. Gempa bumi yang dikaitkan dengan pergeseran lempeng bumi tidak menyebabkan perubahan atau pergeseran arah kiblat. Banyaknya masjid yang arahnya tidak tepat mengarah ke Masjidil Haram di Makkah bukan disebabkan oleh perubahan arah kiblat, tetapi dikarenakan ketidakakuratan pengukuran saat awal pembangunannya. Pengetahuan tentang saat-saat posisi matahari di atas Mekkah dan penggunaan internet berbasis data satelit sangat membantu masyarakat dalam penyempurnaan arah kiblat.
Kedua, persepsi seolah MUI menganjurkan masjid-masjid mengubah arah kiblatnya dari arah barat ke barat laut. Hal ini mengesankan seolah semua masjid arah kiblatnya ke barat dan disarankan diubah ke barat laut, sehingga menimbulkan penolakan. Sebenarnya fatwa MUI nomor 3/2010 tentang kiblat tanggal 1 Februari 2010 hanya disempurnakan redaksionalnya dengan fatwa MUI nomor 5/2010 tentang kiblat tanggal 1 Agustus 2010.
Penentuan arah kiblat adalah wilayahnya ilmu falak yang menginterpretasikan dalil fikih dalam formulasi astronomi untuk kemudahan ummat, tanpa meninggalkan ketentuan syar’i. Perbedaan persepsi seringkali muncul ketika menganggap persoalan arah kiblat sekadar persoalan fikih, tanpa pemahaman aspek fisik di alam. Kita tidak bisa lagi kembali pada cara pandang lama ketika kompas, komputer, GPS, dan internet belum ada. Kecanggihan teknologi yang memudahkan ummat tersebut perlu disertai dengan pemahaman ilmu falak agar ummat lebih tentram dalam melaksanakan ibadah sesuai dalil syar’i yang dibantu teknologi.
Kenyataannya masyarakat kita semakin cerdas dan semakin terbuka dengan informasi dengan adanya internet. Terlebih informasi di media massa tentang posisi matahari yang bisa digunakan untuk menyempurnakan arah kiblat semakin memperluas wawasan banyak orang. hal itu membuat mereka kemudian sadar ternyata arah kiblat selama ini yang mereka gunakan kurang tepat. Keresahan yang timbul umumnya ditanggapi positif oleh mereka sendiri dengan upaya meluruskan arah kiblat dengan mengubah arah shafnya tanpa harus membongkar bangunannya.
Sains membantu memberikan keyakinan dalam menerapkan dalil syar’i. Demikian juga ilmu falak telah membantu merumuskan penentuan arah kiblat sehingga bisa menjadi pedoman dalam menentukan arah kiblat. Dalil yang digunakan dalam ibadah adalah dalil syar’i. Kita tidak bisa berdalil di luar dalil syar’i. Walau pun dalam masalah ijtihadiyah nalar manusia berperan besar, tetapi tetap harus dalam kerangka syar’i. Dalam banyak kasus, implementasi dalil syar’i memerlukan sains untuk memudahkan manusia melaksanakannya dan memberikan keyakinan. Di saat kita menggunakan sains, kita tidak mengatakan berdalil dengan sains. Tetap berdalil syar’i dengan penjelasan dari kajian sains.
Awalnya cara menghitung arah kiblat dianggap rumit. Tetapi kini, dengan berkembangnya komputer dan bahasa pemograman, hitungan tersebut mudah dibuat dalam bentuk program aplikasi atau sofware sehingga setiap orang dapat menghitung arah kiblat. Tinggal diajarkan cara menentukan arah sekian derajat itu menggunakan kompas atau bayangan matahari. Adanya GPS untuk menentukan koordinat tempat dan berfungsi pula sebagai kompas semakin memberikan kemudahan.
Ahli falak memberikan alternatif lain yang lebih mudah. Kalau di Masjidil Haram ada menara sangat tinggi dengan lampu sangat terang di puncaknya sehingga semua orang di banyak negara bisa melihatnya, maka kita akan sangat mudah menentukan arah kiblat dengan melihat lampu di atas Masjidil Haram itu. Nah, ahli falak mengetahui ada lampu alami yang sangat terang yang pada saat-saat tertentu tepat berada di atas Makkah (sekitar Masjidil Haram). Itulah matahari, inilah yang kemudian dinamakan rasydul kiblat.
Rashdul kiblat adalah ketentuan waktu di mana bayangan benda yang terkena sinar matahari menunjuk arah kiblat. Penentuan kiblat dengan bayangan matahari ini ada 2, yakni Rashdul kiblat global dan Rashdul kiblat lokal.
1) Rashdul Kiblat Global.
Yakni rashdul kiblat yang dapat dilakukan serentak di seluruh dunia, atau yang disebut dengan fenomena astronomis yang terjadi pada hari yang disebut sebagai yaumu ar-rasydi al-qiblah atau hari meluruskan arah kiblat. Karena pada saat ini matahari mer pass tepat di titik zenith (berada di atas atau sekitar ka’bah). Fenomena ini dikenal juga dengan istilah transit utama atau Istiwa A’dhom.
Rashdul kiblat global terjadi dua kali dalam satu tahun, yaitu pada tanggal 27 Mei (tahun kabisat) dan 28 Mei (tahun basithah), pada pukul 11.57 LMT (Local Mean Time) dan pada tanggal 15 Juli (tahun kabisat) atau 16 Juli (tahun basithah) pada pukul 12.06 LMT. Bila waktu Makkah (LMT) dikonversi menjadi waktu Indonesia bagian barat (WIB) maka harus ditambah 4 jam 21 menit. Dengan demikian setiap tanggal 27 mei jam 16.18 WIB dan tanggal 16 juli jam 16.27 WIB kita dapat mengecek arah kiblat dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas ka’bah.
Untuk mengecek arah kiblat dengan memanfaatkan rashdul kiblat global ini kita bisa melakukan mulai 2 hari sebelum dan 2 hari sesudah rashdul kiblat global, yaitu mulai tanggal: 26 – 30 Mei, jam 16:18 WIB (09:18 UT/GMT), dan tanggal 14 – 18 Juli, jam 16:27 WIB (09:27 UT/GMT). Rentang waktu plus atau minus 5 menit masih cukup akurat untuk mengecek arah kiblat.
2) Rashdul Kiblat Lokal.
Yakni rashdul kiblat yang dapat dilakukan setiap saat pada lokasi masing-masing. Rashdul kiblat tiap hari ini mengalami perubahan karena terpengaruh oleh deklinasi matahari.
Setelah mengetahui waktu rasydul kiblat langkah yang dilakukan untuk menentukan arah kiblat dengan rashdul kiblat selanjutnya adalah:
1) Meletakkan satu tegakan (tongkat dan sejenisnya) di tempat yang terkena cahaya matahari.
2) Mengamati jatuhnya bayangan tersebut yang terbentuk oleh cahaya matahari.
3) Menentukan arah jatuhnya bayangan itu sebagai arah kiblat.
4) Menarik benang, itulah arah kiblat untuk daerah yang bersangkutan.
Ketika rasydul kiblat, seluruh bayang-bayang benda yang tegak di muka bumi, pada saat itu berposisi membelakangi kiblat. Kondisi ini dapat digunakan untuk mengecek kebenaran arah kiblat secara manual dalam demonstrasi massal. Apakah arah kiblat sebuah Masjid, langgar, mushalla atau tempat-tempat shalat lainnya sudah lurus dengan kiblat atau belum. Otomatis, dengan penetapan arah kiblat massal ini masyarakat awam pun dapat mengetahui kebenaran arah tempat-tempat ibadah mereka.
Kalau kita ingin melaksanakan dalil syari’i, inilah saat yang paling tepat. Tak perlu rumus perhitungan segitiga bola, tak perlu komputer, tak perlu kompas. Cukup melihat matahari. Kalau pun pada hari tersebut terganggu awan, plus minus 2 hari dari tanggal tersebut dan plus minus 5 menit dari waktu tersebut masih cukup akurat untuk menentukan arah kiblat karena perubahan posisi matahari relatif lambat.
Ketika implementasi dalil syar’i dapat dilaksanakan secara tepat dan mudah dengan bantuan sains (ilmu falak) dan teknologi, haruskah kita mundur ke belakang sekadar ”menghadap ke arah barat”? Mestinya tidak. Ketika kita diberi kenikmatan berupa pengetahuan, ada baiknya jika hal itu dipergunakan. Hal itu karena dengan menghadap pada kiblat dengan lebih tepat, dapat memberikan keyakinan dalam beribadah secara ‘ainul yakin’ atau paling tidak mendekati atau bahkan sampai haqqul yakin, bahwa kita telah menghadap kiblat secara tepat (yakni ka’bah) dengan berusaha mendekati pada arah sebenarnya.
Untuk itu, marilah kita berusaha mengecek arah kiblat kita, sehingga ketika shalat, kita yakin benar telah mustaqbilal qiblah. Selamat mencoba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar