Senin, 23 Juli 2012

Awal Bulan Ramadhan 1433 H



A.    PENDAHULUAN
Islam mengakui bahwa baik matahari maupun bulan bisa dijadikan alat penentu waktu. Tetapi dalam praktek ibadah, islam menggunakan kalender bulan qamariyah yang ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit purnama) sesaat setelah matahari terbenam. Alasan dipilihnya kalender qamariyyah nampaknya karena alasan kemudahan dalam dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dengan kalender syamsiyah yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
Dalam perkembangan saat ini, dari segi teknis ilmiyah, penentuan awal bulan dapat dikatakan mudah, karena merupakan bagian dari ilmu eksata. Tetapi dalam penetapannya susah, karena menyangkut factor non eksata, seperti peerbedaan madzhab hukum (eg. Wujud al-hilal, ru’yah, dan madzhab lain), perbedaan mathla’ (daerah berlakunya kesaksian hilal) dan kepercayaan kepada pemimpin ummat yang tidak tunggal.

Haid


A.      Latar Belakang Masalah
Ada banyak persoalan atau masalah tentang wanita, baik persoalan yang juga biasa dihadapi oleh laki-laki, persoalan persamaan hak atau gender, maupun persoalan yang hanya dihadapi atau dimiliki oleh kaum hawa seperti hamil, dan permasalahan tentang darah wanita seperti haid, nifas dan istihadhah, serta persoalan yang menyangkut organ reproduksi lainnya.
Masalah haid misalnya, merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi kaum wanita, karena hal tersebut termasuk ajaran yang sangat penting dalam agama Islam karena menyangkut kesucian jiwa dan jasmani serta menyangkut masalah sah atau tidaknya ibadah kaum wanita.
Tema haid menjadi tema penting yang menjadi kajian dalam ilmu fiqih, karena haid seringkali bersentuhan dengan rutinitas ibadah yang notabenenya harus suci dari hadas dan najis. Kurang tepat ungkapan yang menyatakan setiap darah adalah haid, dan setiap putus darah adalah suci. Karena sebagaimana dikaji dalam kitab fiqih bahwa tidak semua darah dapat dihukumi haid atau nifas, dan tidak setiap putus darah dihukumi suci yang hakiki.  
Haid yang merupakan persoalan abadi bagi kaum wanita, adalah peristiwa rutin nan lumrah yang dialami oleh wanita dan memiliki akibat hukum serta memiliki konsekuensi boleh-tidaknya wanita tersebut melakukan ‘sesuatu’, karena sangat terkait dengan ibadah-ibadah fard ‘ayn (mahdah), misalnya salat dan puasa, maupun ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, serta menjadi patokan selesainya iddah bagi seorang wanita.
Karena menyangkut sah dan tidaknya ibadah seorang wanita, maka mempelajarinya merupakan suatu kewajiban mutlak. Ironisnya, sebagai peristiwa rutin, persoalan ini jarang diperhatikan dan seringkali diremehkan atau diabaikan oleh banyak kalangan, terkadang oleh kaum wanita itu sendiri. Padahal ketidaktahuan terhadap persoalan ini bisa mengakibatkan rusaknya ibadah, dengan tidak mengetahui kapan saatnya harus bersuci, apakah yang terjadi itu adalah haid atau istihadhah, bagaimana cara menghitung atau mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang terkait dengan masalah ini.
Permasalahan ini sebenarnya termasuk rangking atas tingkat kerumitan dan kesulitannya, mengingat begitu beragamnya peristiwa yang terkait dengannya, terutama pada masa ahir-ahir ini banyak sekali wanita yang haidnya tidak teratur (tidak normal).
Permasalahan haid sebenarnya telah banyak dibicarakan oleh para ulama’, terutama ulama’ pada masa fuqaha’ dahulu. Bahkan seluruh madzhab-pun telah meneliti permasalahan haid tersebut secara tepat, teliti dan akurat serta tidak diragukan lagi kredibilasnya yang kemudian mengeluarkan pendapat hukumnya mengenai persoalan tersebut.
Persoalan haid menjadi lebih rumit karena sebagian wanita terutama wanita masa kini lebih banyak yang mengalami haid yang kurang normal (tidak teratur), baik dari segi siklus, maupun lama haid dan jarak suci. Hal tersebut konon disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya dari segi makanan, obat, alat kontrasepsi, bahkan kesehatan dan masalah atau psikologis perempuan. Yang mana hal-hal tersebut pada masa fuqaha’ tidak banyak terjadi, sehingga mengesankan problematika haid-nya wanita masa kini lebih banyak dari pada haid-nya wanita pada masa fuqaha’ (dahulu).
Pada dasarnya lama haid, siklus haid yang masih dalam batas wajar ataupun wanita yang tidak haid sama sekali, sebenarnya tidak terlalu menjadi persoalan. namun bagi yang siklusnya kacau, akan menjadi masalah tersendiri karena kerumitan dan kesulitan (dalam menghitung kapan yang dikatakan suci, kapan istihadhah, dan kapan suci lagi) akan muncul.
Fenomena tentang banyaknya ketimpangan yang menyelimuti terhadap masalah darah wanita terutama haid beserta hukumnya secara utuh tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti permasalahan haid, termasuk landasan atau kitab yang menjadi pedoman baik dari Al-Qur’an, Sunnah, hasil ijtihat dan istiqra’ para ulama’, maupun sumber dari ilmu kedokteran modern dan dengan melihat kondisi nyata mengenai haid-nya wanita. Dengan tujuan agar dapat dipelajari dan diamalkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas keabsahan seorang wanita dalam beribadah kepada Allah.

Gender



The differences in men and women nothing discussed biologically. But we need discussed non biological. Gender is discussed not biologically. Gender is an attempt for understand the interpretation culture for differences sex (or gender).

Senin, 23 April 2012

Membaca Yuk..


“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Ayat di atas merupakan ayat yang pertama kali turun dan  menunjukkan betapa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membaca. Kata Iqra’ (membaca) merupakan kalam ilahi pertama yang turun telah mengisyaratkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, yang dapat diperoleh salah satunya melalui membaca.
Sebagai seorang muslim, sebagai seorang santri, maka menuntut ilmu adalah suatu kewajiban. Salah satu jalan untuk menuntut ilmu tersebut adalah melalui buku. Buku bacaan yang baik dan berbobot bisa menjadi sumber ilmu bagi yang membutuhkannya.
Begitu agungnya ilmu pengetahuan hingga ia terulang penekanannya beberapa kali dalam al-Qur’an, hadis Nabi saw maupun anjuran ulama’. Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Islam sangat menempatkan ilmu pengetahuan pada tempat yang sangat tinggi. Seperti dalam Qs. Al mujaadilah: 11 yang berbunyi
يَرْفَعِ الله الدينَ امَنُوا مِنْكُمْ وَالديْنَ اوتُواالعِلْمَ دَرَجَات
Artinya               : “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat”
Dalam hadis Nabi saw disebutkan
مَنْ أراد الدنْيَا فَعَلَيْهِ بِاالعِلمِ وَمَنْ أَرَادَ الأخِرَاةَ فَعَلَيْهِ بِاالعِلْمِ وَمَنْ أَراد هُماَ فَعَلَيْه بِاالْعِلمِ
 Artinya              : “Barang siapa yang menginginkan dunia, maka gapailah dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan akhirat maka gapailah dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya maka gapailah dengan ilmu”

Sabtu, 24 Maret 2012

'Sesuatu' dari Koran Diva


1.       Jumlah perceraian guru PNS meningkat. Bagaimana komentar Ibu?
Prihatin. Perceraian meskipun halal namun merupakan sesuatu yang dibenci Allah. Perceraian merupakan tolak ukur symbol keharmonisan dalam membina suatu hubungan, (artinya jika hubungan dalam lingkup terkecil bermasalah sehingga tidak dapat dipertahankan, maka hubungan dalam lingkup besar akan dipertanyakan). PNS adalah pegawai negeri yang digaji oleh Negara, seharusnya dapat menjadi cermin bagi masyarakat lainnya. Guru merupakan panutan yang selalu dilihat anak didiknya dan secara tidak langsung mempengaruhi cara pandang mereka, diakui atau tidak perceraian mereka dapat mempengaruhi pola pikir anak didiknya menjadi negatif. Sebaiknya pengaruhi mereka dengan cara pandang yang luhur.
 
2.       Resep apa yang bisa digunakan untuk mempertahankan rumah tangga?
a.       Bina hubungan rumah tangga dengan sikap saling toleransi, ikhlas, dan menghormati kekurangan.
b.      Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka ingatlah selalu kelebihan pasangan.
c.       Membangun hubungan rumah tangga bukan hanya bermodalkan cinta, tetapi juga pengabdian.
Ketika cinta dirasa sudah mulai luntur, maka ingatlah modal yang satunya, yaitu pengabdian. Pengabdian istri kepada suami, pengabdian suami kepada istri, maupun pengabdian suami-istri kepada anak-anak mereka.
Pengabdian antara suami istri disini adalah selalu berusaha untuk tidak menyakiti pasangan dan berusaha melakukan hal yang disukai pasangan serta selalu ikhlas dan tidak menuntut pasangan untuk menjadi yang kita mau.

3.       Adakah tips untuk menghindari orang ketiga?
a.      Selalu meyakinkan pasangan, baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa kita layak untuk dicintai, yang jika disia-siakan maka dia akan merugi.
b.      Untuk yang terlanjur punya orang ketiga, Sadari bahwa kita hidup tidaklah sendiri. Perceraian dan kebahagiaan kita bukanlah segala-galanya yang layak untuk menjadi prioritas utama. Ada keluarga terutama anak-anak kita yang pasti akan menjadi korban dengan adanya orang ketiga. Kebahagiaan, kepentingan, dan masa depan keluarga terutama anak merupakan prioritas yang harus dipertimbangkan. Ingat-lah pula bahwa kita memiliki harga diri yang harus dijunjung tinggi.
c.   Untuk orang yang menjadi orang ketiga, Cintai dia dengan sebenar-benarnya cinta, yang tidak merusak masa depannya dan masa depan orang-orang disekelilingnya, yang turut merasakan apa yang ‘seharusnya’ ia rasa, termasuk menyayangi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ingatlah hakekat cinta bukan untuk saling memiliki tetapi untuk saling membahagiakan dan mendorong agar orang yang kita cintai memiliki masa depan yang lebih baik.

4.       Adakah saran bagi guru PNS yang sekarang dalam proses gugat cerai?
Perjalanan rumah tangga tidaklah selalu menyenangkan. Ketika rumah tangga berubah bagaikan dalam neraka, maka ingatlah bahwa dunia bukanlah sesuatu yang kekal, begitu pula dengan manusia yang tidak hidup selamanya. Tanpa perceraian kita akan dipisahkan oleh maut. (mungkin ada baiknya) ketika kita sedang berada dalam titik keputus asa-an, maka anggap saja kita sedang menunggu maut dari salah satu diantara kita. Jadi jangan ahiri pernikahan dengan perceraian, biarkan maut yang memisahkan. Karena perpisahan dengan maut itu lebih indah dan mengurangi resiko. Sekali lagi, ingatlah bahwa kita hidup tidaklah sendiri. Ada keluarga besar, anak-anak dan anak didik. Mereka adalah para penerus bangsa yang terinspirasi oleh setiap apa yang dilakukan kita terutama oleh guru PNS. Maka mencegah perceraian dikalangan guru PNS secara tidak langsung turut mencerdaskan dan membina moral bangsa.
16.03.2012 Jam 09.08

Senin, 12 Maret 2012

CEPU


Cepu yang menawan, bagaimana mungkin aku tak mencintaimu...? betapa aku bangga padamu.. betapa aku marasa tersanjung menjadi bagian dari dirimu, betapa aku  merasa berharga ketika aku mengatakan bahwa aku terlahir di Cepu, dengan bangga aku mengatakan bahwa rumahku adalah Cepu, ketika ada orang bertanya dari mana aku, dengan mantap aku katakan Cepu.

Bagaimana mungkin aku tak bangga padamu... beberapa tahun yang lalu, semua hal ada padamu.. Kata orang kau adalah miniatur Jakarta. Sampai-sampai ada orang berkata “Kalau ingin tahu Jakarta, ga usah jauh-jauh pergi ke sana, cukup lihat Cepu.”  Banyak orang dari luar daerah yang datang dan kemudian menetap padamu.

Begitu dahsyatnya engkau, sampai-sampai hampir semua orang mengenalmu. Engkau lebih dikenal dari pada Blora sebagai Ibukota, maupun Bojonegoro sebagai kabupaten yang berbatasan langsung denganmu.

Aku akui, sebagai kota kecil, rahmat Allah ada pada dirimu.. sumber daya alam, setidaknya hasil minyak bumi dan kayu jati terbaik ada dalam pengelolaanmu.. bengawan solo-pun mengalir dan melintasimu.. bisa dibayangkan dampak dari hal itu seharusnya luar biasa, baik dari segi ekonomi dan devisa, peradaban dan gaya hidup, maupun pendidikan.

Rabu, 28 Desember 2011

Kepemimpinan Wanita dalam Tinjauan Hukum Islam


Abstrak
Islam dalam al-Qur’an dan hadits mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini juga berdampak menimbulkan kesan bahwa Islam melarang adanya pemimpin perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ seperti dalam QS. An-Nisa’: 1, dan 34, QS Ali imran: 195, dan sebagainya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki.
Maka dari itu perempuan berhak beraktivitas termasuk menjadi pemimpin. Sebab syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta, demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, ijtihad, politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki dalam ranah publik, termasuk menjadi pemimpin. Sebab kepemimpinan bukan sesuatu yang given namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Keyword  : Kepemimpinan, Wanita, Hukum Islam

A.           PENDAHULUAN
Islam dalam al-Qur’an dan Hadits mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Di beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara.
أَنِّى لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beriman diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan” (QS. Ali Imran :195)
Namun pada ayat lainnya al-Qur’an memberi kesan adanya subordinasi terhadap kaum perempuan misalnya ayat mengenai warisan, kepemimpinan lelaki atas perempuan, kesaksian, poligami, dan lain-lainnya. Ayat-ayat tipe kedua ini pula yang sering diangkat oleh kitab-kitab fiqih ataupun teks-teks keagamaan ketika pembicaraan tentang hubungan laki-laki dan perempuan diangkat ke permukaan. Akibatnya steteotype perempuan Islam secara sociokultural adalah apa yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih dan teks-teks keagamaan tersebut, yakni sebagai mahluk kelas dua yang mempunyai peran dan status yang berbeda dari laki-laki. Hal ini juga berdampak menimbulkan kesan bahwa Islam melarang adanya pemimpin perempuan.
Hal ini didasarkan pula pada cerita ketika Rasulullah saw mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran,[1] beliau bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i.[2]
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran[3] : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, bahwa Allah SWT telah berfirman kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT  QS. Al-A’raaf: 158 dan QS. An-Nisa’: 1. Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Kaidah Ushul Fiqih menetapkan : Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.yang artinya Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.[4] Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana  laki-laki, termasuk menjadi pemimpin diantara mereka. Sebab syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.