Rabu, 28 Desember 2011

Kepemimpinan Wanita dalam Tinjauan Hukum Islam


Abstrak
Islam dalam al-Qur’an dan hadits mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini juga berdampak menimbulkan kesan bahwa Islam melarang adanya pemimpin perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ seperti dalam QS. An-Nisa’: 1, dan 34, QS Ali imran: 195, dan sebagainya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki.
Maka dari itu perempuan berhak beraktivitas termasuk menjadi pemimpin. Sebab syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta, demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, ijtihad, politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki dalam ranah publik, termasuk menjadi pemimpin. Sebab kepemimpinan bukan sesuatu yang given namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Keyword  : Kepemimpinan, Wanita, Hukum Islam

A.           PENDAHULUAN
Islam dalam al-Qur’an dan Hadits mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Di beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara.
أَنِّى لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beriman diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan” (QS. Ali Imran :195)
Namun pada ayat lainnya al-Qur’an memberi kesan adanya subordinasi terhadap kaum perempuan misalnya ayat mengenai warisan, kepemimpinan lelaki atas perempuan, kesaksian, poligami, dan lain-lainnya. Ayat-ayat tipe kedua ini pula yang sering diangkat oleh kitab-kitab fiqih ataupun teks-teks keagamaan ketika pembicaraan tentang hubungan laki-laki dan perempuan diangkat ke permukaan. Akibatnya steteotype perempuan Islam secara sociokultural adalah apa yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih dan teks-teks keagamaan tersebut, yakni sebagai mahluk kelas dua yang mempunyai peran dan status yang berbeda dari laki-laki. Hal ini juga berdampak menimbulkan kesan bahwa Islam melarang adanya pemimpin perempuan.
Hal ini didasarkan pula pada cerita ketika Rasulullah saw mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran,[1] beliau bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i.[2]
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran[3] : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, bahwa Allah SWT telah berfirman kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT  QS. Al-A’raaf: 158 dan QS. An-Nisa’: 1. Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Kaidah Ushul Fiqih menetapkan : Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.yang artinya Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.[4] Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana  laki-laki, termasuk menjadi pemimpin diantara mereka. Sebab syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Minggu, 25 Desember 2011

Suamiku adalah Rajaku


Suamiku adalah raja bagiku, tetapi aku bukanlah pembantunya, melainkan partnernya. Partner dalam menjalani kehidupan dunia dan menggapai akhirat. Partner dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, partner dalam berbagi rasa baik suka maupun duka, partner dalam segala hal, semuanya..
Sebagai seorang raja, engkau berhak atas diriku sepenuhnya. Engkau berhak untuk memberikan ‘perintah’ kepadaku apapun bentuknya selama itu bukan kemaksiatan dan tidak melanggar hak-hakku.
Sebagai seorang hamba yang juga –pertner-, aku berkewajiban untuk tunduk dan menuruti kata-katamu, aku berkewajiban untuk membuat engkau memberi keputusan-keputusan domestik yang lebih membawa maslahah untuk ‘kerajaan’ kita.
Hal yang harus engkau pahami adalah engkau harus bermusyawarah denganku sebelum engkau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan ‘kerajaan’ kita. Untuk itu aku memohon kepadamu agar engkau selalu mengatakan apapun meskipun itu berat, aku memohon kepadamu untuk selalu mengajakku berbicara meskipun itu menyangkut hal yang tidak aku sukai, aku memohon kepadamu jadikan aku menjadi lebih berharga karena menjadi orang yang selalu kau tunggu pendapatnya.
Hal yang harus aku pahami adalah bahwa setinggi apa cita-citaku, sebesar apa obsesiku, dan semacam apa keinginanku, aku harus selalu sadar bahwa rumah tanggaku adalah  karirku yang paling utama. Ia adalah karir yang tak dapat digeser kedudukannya dengan apapun juga.
Hal yang harus kita pahami bersama adalah bahwa kita harus saling menguatkan dan mendukung, saling memberi dan menerima, saling menutupi dan melengkapi kekurangan kita. Ketika aku menjadi api karena amarah, maka engkau akan menyediakan air yang mendamaikan, begitupun sebaliknya, sehingga ‘kerajaan’ kita tidak terbakar, tidak kebanjiran, dan bebas bencana.

Selasa, 27 September 2011

DINAMIKA PONDOK-PESANTREN MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN

A.           PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Pesantren lahir bersamaan pada proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia pada abad ke-delapan dan sembilan Masehi dan terus berkembang hingga saat ini, ketahanan yang dilakukan oleh Pesantren sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan sebagai suatu sistem pendidikan, pesantren menjadi lembaga pendidikan alternatif masa kini dan masa depan. 
Sejak berdirinya, Pesantren memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat, kebanyakan Pesantren memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh fid din) namun kemudian Pesantren mengalami pergeseran paradigma ketika Pesantren mereposisi dalam upaya merespon perkembangan kehidupan masyarakat. Pergeseran paradigma ini berimplikasi pada terjadinya perubahan perspektif dan orientasi, Pondok Pesantren hendaknya diarahkan pada dua fungsi :
Pertama    : Sebagai pusat pengkaderan dan pencetak pemikir agama/ulama (center of      excellence).
Kedua      : Sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
Pesantren ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula ikut serta memberikan sembangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. 
Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, mubaligh, guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Dalam praktiknya pesantren khususnya ketika dihadapkan pada tradisinya secara kategoris dibedakan menjadi dua :
a. Pesantren Salafi, dan
b. Pesantren Khalafi.
Pesantren, merupakan sistem pendidikan tertua selama ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indidenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang di mulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara sekitar abad 13.
Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang berstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khsusunya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dan pada masa-masa mendatang, diharapkan pondok pesantren dapat tetap dinamis, menyeseaikan zaman, tetap memberi materi dan melestarikan identitas keislaman secara kaffah.

Selasa, 09 Agustus 2011

Argumentasi Al-Biruni bahwa Bumi Berbentuk Bulat (Ellips)


 
A.      PENDAHULUAN
Orang barat menyebut filsafat sebagai induk dari segala ilmu.  Hal ini karena filsafat dianggap kajian yang sangat mendasar menyangkut eksistensi, pengetahuan, kebenaran, keelokan, keadilan, kepatutan, pikiran dan bahasa.  Filsafat berasal dari Bahasa Yunani kuno yakni philosophía, yang berarti "kecintakan pada kebijaksanaan."
Namun, tidak semua ilmuwan dan orang bijak sepakat dengan itu.  Ketika filsafat semakin sering lepas dari dunia empiris, serta disinyalir justru digunakan untuk mengacau keimanan, orang mencoba mencari “induk” yang baru.  Dan salah satu induk baru itu ternyata adalah geografi.
Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hidup mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.  Dan yang lebih penting geografi termasuk ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita.
Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama. Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Dia menemukan gnomon, alat sederhana untuk menentukan posisi lintang.  Ada perdebatan tentang siapa penggagas mula bentuk bulat bumi: Parmenides atau Phytagoras.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun, dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu. Pada awal milenia, penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.
Selama zaman pertengahan dan kejatuhan Romawi, terjadi evolusi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan penjelajahan demi penjalajahan (QS Ar Ruum [30]: 9).  Para geografer muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al-Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406),  menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.[1]
Sedangkan dari segi keilmuan, salah satunya adalah pendapat orang zaman dahulu yang menyatakan bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar besar yang memiliki permukaan datar. Di tempat yang sangat jauh, yaitu di ujung bumi yang merupakan tempat matahari terbit dan tenggelam, terdapat jurang yang sangat dalam. Pandangan tersebut mungkin timbul karena permukaan bumi yang kita amati sehari-hari memang terlihat datar.
Bagaimanakah sebenarnya bentuk bumi itu? Berdasarkan peristiwa dan gejala alam yang dialami manusia, dapat dibuktikan bahwa bentuk bumi adalah bulat.

Tawaran Syahrur tentang Teori Hudud


A.    PENDAHULUAN
Saat ini banyak cendekiawan mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Pertama, problem modernitas. Poin ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya yang mau-tidak mau meniscayakan sebuah rekontruksi, bahkan disaat-saat tertentu dekontruksi, atas pemahaman yang telah dibawa sejak abad VII masehi dan mengalami taqdis al-ahkam (pensakralan hukum). Kedua, Kesadaran internal muslim akan adanya anamoli dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks Al-Qur’an, entah itu mengarah pada ranah hukum, (fiqih), aqidah, ataupun masalah-masalah yang terkait dengan IPTEK.[1]
Disamping hal diatas, dalam dunia Islam telah terjadi pengkiblatan secara penuh akan kesadaran keislaman pada arab, tradisi yang dipakai saat ini lebih banyak terwarnai oleh arab.[2]
Berbicara mengenai hudud, (terutama mengenai syahrur) biasanya terdapat kajian tentang tirani. Tirani dalam kamus bahasa Indonesia adalah kekuasaan yang dipergunakan sewenang-wenang. Atau didefinisan Suatu Negara yang diperintah seorang raja atau penguasa yang suka bertindak sesuka hatinya.[3]
 Lalu Menurut syahrur manusia sebenarnya mempunyai hak penuh atas dirinya (baca: tanpa intervensi Allah). Apa yang telah ada saat ini merupakan suatu bentukan dari masa lalu yang penuh dengan hiruk-pikuk polemik politik.  Dengan kata lain gagasan ini muncul karena melihat narasi-narasi besar mengenai dasar-dasar ilmu keagamaan ternyata dibentuk dan dibakukan di bawah rezim yang terkemal tiranik. Misalnya masa-masa tadwin yang terjadi pada masa-masa daulah umayyah dan abbasiyah dalam wilayah teologi dan fiqih. Syahrur melihat tirani terjadi dalam enam ranah.[4]
Disini syahrur berpendapat perlunya sebuah konstruksi atas pemahaman Islam yang ada pada saat ini. Pertama ia meniscayakan pemahaman bahwa Islam itu hanif (dalam pandangannya kata ini dimaknai dengan elastisitas Islam sesuai dengan ruang dan waktu). Kedua, syahrur membayangkan bahwa jika Al-Qur’an itu diturunkan saat ini. Ketiga bahwa kontruksi konsep Negara Islam perlu dibenahi, bahkan ia sendiri tidak setuju dengan adanya Negara Islam. Keempat, Perlunya pengganti dari institusi tiran yang telah menggurita pada hampir seluruh Negara Islam.[5]

Senin, 08 Agustus 2011

Menentukan Arah Kiblat dengan Bayangan Matahari


Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Hal ini bisa dilihat dari beberapa dalil syar’i baik dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Telah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa orang yang dapat melihat ka’bah diwajibkan menghadap tepat ke bangunan ka’bah tersebut dengan yakin (menghadap ain ka’bah). Sementara itu, jika tidak melihat Baitullah, maka dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kekurangtepatan arah kiblat tersebut tidak mengurangi keabsahan shalat. Namun Islam sendiri menganjurkan kita untuk mencari cara yang paling baik dan benar kemudian mengamalkannya dalam rangka mendapatkan kesempurnaan ibadah.
Terlepas dari perbedaan ulama’, menghadap kiblat adalah merupakan bentuk ketaatan umat Islam kepada Tuhan-Nya. Kemanapun umat Islam menghadap, sesungguhnya yang dinilai dalam hal menghadap Allah adalah hati serta mengikuti perintah-Nya, sehingga dalam berkiblat bagi orang yang tidak melihat ka’bah yang perlu dilakukan adalah ketepatan dalam ijtihat mencari arah kiblat, sehingga umat Islam dalam beribadah berusaha agar arah yang dipergunakan mendekati arah yang sebenarnya, menjadi hal yang perlu untuk dilakukan, agar mendapat keutamaan dalam beribadah.
Untuk itu, mari kita melakukan penyempurnaan arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlunya penyempurnan atau pemeriksaan ulang karena sebagian besar masjid atau mushalla arah kiblatnya ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar arah kiblat masjid yang sudah ada, maupun persoalan teksis yang lain.

Waktu Shalat


A.           PENDAHULUAN

Rasulullah bersabda: “Shalat itu adalah tiangnya agama, barang siapa yang mendirikannya maka berarti ia telah mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia telah meruntuhkan agama” (Al-Hadits).
Hal ini dipertegas oleh firman Allah swt
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوتِ وَالصَّلوةِ الْوُسْطَ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَنِتِيْنَ.
Artinya: “Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah [2]: 238).
Dengan hujjah di atas, dapat dipahami betapa pentingnya melaksanakan dan memelihara shalat (shalat fardhu). Karena melaksanakan shalat merupakan salah satu ciri bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah swt dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Allah berfirman
وَاَقِمِ الصَّلَاةَ لِلذِّكْرِيْ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha [20]: 14)
Jelas sekali, bahwa dengan shalat kita dituntut untuk bisa mengingat-Nya, mengingat kebesaran-Nya dan mengakui kerendahan diri di hadapan-Nya. Namun, ada sebagian orang yang salah mengartikan makna ayat ini, mereka beranggapan tidak wajib shalat kalau kita bisa mengingat-Nya tanpa melakukan gerakan shalat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka hanya melihat esensi shalat semata, tidak melihatnya sebagai syari’at yang harus dilaksanakan oleh orang yang beriman.
Para ulama’ mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib dilaksanakan pada tiap-tiap waktunya.
Shalat itu dibagi pada yang wajib dan yang sunnah. Shalat yang paling penting adalah shalat lima waktu yang wajib dilakukan setiap hari. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban ini atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun islam. Kewajiban menegakkan shalat pada waktunya berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula taqlid.
Karena begitu berartinya shalat dilaksanakan pada waktunya, kiranya hal itu bisa dijadikan salah satu alasan dan latar belakang dibuatnya makalah ini dengan tema “SHALAT”